Sekolah
Berbasis Korupsi
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Harian Analisa, 11 Oktober 2012
Dimuat dalam Harian Analisa, 11 Oktober 2012
Rasanya sangat mustahil korupsi bisa diberantas di negeri
ini. Mengapa? Lihatlah kenyataan sehari-hari. Sejak dini anak-anak bangsa ini telah
dipaksa mempelajari dan mempraktikkan korupsi, baik oleh orang tua, guru dan
lingkungannya.
Sekolah menjadi basis pencetak koruptor di masa depan bukanlah ilusi. "Korupsi secara masif telah terjadi di semua
tingkatan dari Kemendiknas, Dinas Pendidikan, hingga sekolah-sekolah. Dinas
pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi institusi
penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi
lainnya." (ICW: Analisis 5 Tahun Pemberantasan Korupsi Pendidikan
2004-2009).
Sekolah yang selama ini dianggap institusi “suci” yang
steril dari praktik korupsi, justru menjadi institusi pencetak calon-calon
koruptor yang andal di masa depan. Penerimaan siswa baru (PSB) yang
dilaksanakan tiap tahun di sekolah-sekolah negeri bisa menjadi gambaran, bahwa
korupsi, pungli dan manipulasi telah perkenalkan sejak dini oleh anak-anak
Indonesia di semua level pendidikan.
PSB di sekolah-sekolah negeri sejatinya gratis, tapi
dalam kenyataannya untuk formulir pendaftaran saja ada sekolah yang membandrol
antara Rp10 ribu sampai Rp 100 ribu. Jika tidak memberi uang, maka pihak
sekolah selalu menyatakan alasan klise, formulir pendaftaran telah habis atau
belum difotokopi!
Ada saja alasan sekolah (terutama sekolah negeri favorit)
yang menetapkan syarat-syarat tertentu yang memberatkan orang tua murid. Ada
uang pendaftaran, uang seragam, uang buku, dana partisipasi pengembangan
pendidikan, uang ekstra kurikuler, uang sumbangan sukarela dan sebagainya,
sehingga total dananya bisa jutaan bahkan puluhan juta.
Seolah-olah
sekolah tersebut milik guru dan kepala sekolah. Mereka tidak sadar bahwa mereka
digaji oleh negara yang uangnya berasal dari perasan keringat rakyat. Pemerinah
telah memngeluarkan anggaran pendidikan yang sudah teramat besar, memakan porsi
lebih dari 20% APBN, pemerintah telah mengeluarkan dana BOS, Dana Alokasi
Khusus bidang pendidikan, dan lain sebagainya. Tapi mengapa masuk sekolah
negeri harus membayar lebih mahal ketimbang sekolah swasta? Jawabannya, sekolah
saat ini telah berubah menjadi sarang pungli!
Ditemukannya siswa sisipan yang masuk lewat "pintu
belakang" di beberapa SMA negeri favorit di Kota Medan beberapa waktu lalu, sebenarnya
bukanlah hal yang luar biasa. Praktik ini sudah berjalan bertahun-tahun yang
lalu. Jika anggota DPRD Kota Medan bereaksi dan kemudian pers memblow up-nya
sekarang ini merupakan berita basi yang biasa.
Para siswa itu bukanlah masuk lewat
“pintu belakang” (yang berkonotasi ilegal). Mereka justru masuk lewat “pintu
depan” yang dihiasai gapura yang gemerlap. Karena apa? Karena untuk masuk ke
gapura itu mereka telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, puluhan hingga
dua puluhan juta. Mereka datang secara resmi, diketahui oleh kepala sekolah dan
direstui oleh kepala dinas. Jadi tidak ada alasan menyatakan bahwa mereka
datang lewat “pintu belakang”.
Jika selama ini kita mengenal KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi), maka kemudian diplesetkan menjadi “Kurikulum
Berbasis Korupsi”. Karena untuk menjadi siswa baru pun harus menjalankan
praktik-praktik korupsi agar diterima. Istilah
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pun berubah maknanya menjadi
“Korupsi Tingkat Sekolah (lebih) Parah”. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
kemudian berubah menjadi “Manajemen Berbasis Korupsi” karena manajemen sekolah dijalankan
dengan praktik-praktik manipulasi, pungli dan korupsi.
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) kemudian bermetamorfosis
menjadi “Rintisan Sekolah (mental) Bobrok Indonesia”. Dianggap bobrok karena
sekolah ini dianggap sebagai sekolah “kasta tinggi” eksklusif untuk anak-anak
orang kaya. Padahal RSBI kebanyakan adalah sekolah negeri, di mana gaji guru
dan pegawai dibayar oleh negara. Pemerintah setiap tahun rata-rata menggelontorkan
dana Rp 300 juta untuk setiap RSBI. Dana itu murni digunakan untuk pengembangan
kualitas akademis siswa, sehingga menyalahi UUD 1945 jika sekolah ini hanya
untuk orang kaya. Banyak pihak meminta keberadaan RSBI dievaluasi lagi.
Tak
Layak Ditiru
Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah negeri favorit
pun sebagian berubah karakternya menjadi serakah. Menyadari bahwa siswanya
berasal dari keluarga kaya, di antara mereka berubah profesi dari pendidik
menjadi pemeras. Ada pula sebagian guru yang memposisikan dirinya agar “siap
disuap”. Sehingga ketika bagi rapor atau kelulusan tiba, maka berdatanglah
amplop masuk ke dalam kantungnya.
Orang tua murid yang khawatir anaknya tinggal kelas atau
mendapat angka jelek di rapor, biasanya rajin mengirim “uang pulsa”, THR atau
parsel Lebaran kepada guru wali kelas. Sebut sajanya NN, seorang guru PNS yang
mengajar di sebuah SMA favorit di kota Medan. Ketika berkunjung ke rumahnya
Lebaran kemarin, ruang tamunya lebih mirip toko parsel. Ketika ditanya dari mana
parsel-parsel tersebut, NN menjawab dengan bangga bahwa parsel yang jumlahnya
lebih dari 20-an itu berasal dari murid-muridnya di sekolah. Bahkan dengan
bangga pula ia menyebut bahwa ada muridnya yang menyumbang sepeda motor matic,
dan orang tua murid yang akan memberinya hadiah Umrah tahun depan.
Tradisi memberi sesuatu hadiah kepada guru sebagai tanda
terima kasih memanglah baik, tapi hal ini jika terus dilestarikan dengan suatu
maksud tertentu menjadi suatu mata rantai kolusi dalam bidang pendidikan. Pemberian
dari orang tua murid, jelas akan menyebabkan objektivitas guru dalam memberikan
nilai dan perhatian yang adil kepada semua murid-murudnya akan terdistorsi dan
mengalami diskriminasi.
Bahkan yang lebih parah, saat ini menjadi praktik yang
wajar dan biasa, jika menjelang pembagian rapor guru memanggil orang tua murid
dan “mengajak saling pengertian” karena sang murid terancam tinggal kelas. Maka
dengan membayar “uang pengertian” ini sang murid pun tidak jadi tinggal kelas. Mungkin
karena dianggap kurang banyak, maka sang guru pun memanggil lebih banyak lagi
orang tua murid (bisa lewat telepon selular), sambil menjelaskan bahwa anak
yang bersangkutan “begini-begitu” sehingga ujung-ujungnya minta “uang
pengertian”. Bayangkan, untuk kenaikan kelas saja ada kolusi dan korupsi yang
dipraktikkan antara guru dan orang tua murid (juga diketahui kepala sekolah),
konon pula untuk kelulusan siswa.
Koruptor
Recehan
Jika ingin tahu tentang seluk beluk korupsi yang
dipraktikkan oleh guru dan pihak sekolah, tak salahnya membaca buku yang
dilansir oleh ICW (Indonesian Corruption Watch). Buku berjudul “Sekolah
Harapan, Sekolah Bebas Korupsi” ditulis oleh Bambang Wisudo, Ade Irawan, dan
Fasli Djalal (2011).
Keseluruhan buku ini seolah membuka “kotak
pandora”. Mengutarakan praktik-praktik korupsi yang dilakukan orang-orang yang
menyandang label mulia: yaitu guru, figur yang patut digugu dan ditiru.
Kalaupun pelakunya bukan guru, ya tak jauh dari bidang itu. Semisal kepala sekolah,
pengawas, atau mereka yang menempati kursi kepala cabang dinas pendidikan
(kacabdis) atau kepala dinas pendidikan (kadis).
Kenyataan
ini seharusnya mencemaskan kita, meskipun barisan korps “Oemar Bakri” itu
bukanlah aktor korupsi besar (grand
corruptions) dengan motivasi kemaruk akan harta (corruption by greed). Mereka hanya pelaku korupsi kecil (petty corruptions) atau koruptor
recehan, dengan motivasi karena kebutuhan hidup (corruption by need).
Dalam
banyak kasus, seperti ditulis oleh Teten Masduki, dalam Kata Pengantar buku
ini, bahwa para guru ditekan oleh atasan, dan atasan mereka (kepala sekolah),
dipaksa korup oleh kacabdis yang ditekan pula oleh kadis. Begitu pun kepala dinas,
yang harus setor ke pejabat yang berada di atasnya. Inilah hierarki korupsi di
sekolah. Muara hilir, para guru di lapis terbawah, secara kreatif mencari celah
korupsi kecil-kecilan, melalui penjualan buku ke siswa, pungli, ataupun
menyiasati berbagai dana yang tersedia, biasanya Dana BOS atau DAK pendidikan.
Apa
boleh dikata, korupsi tetaplah korupsi. Meski tergolong “penggelapan uang
receh”, namun dari perspektif gerakan anti korupsi, perilaku ini potensial
menghambat. Lantaran menyuburkan budaya culas dan tak jujur. Apalagi pelakunya
adalah guru dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan. Ibarat
pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jika guru menjadi
koruptor kelas teri maka murid-muridnya kelak akan menjadi koruptor kelas
kakap.
Lagipula,
kecil atau besar, tetapi saja korupsi di sekolah adalah merampok dana publik,
menihilkan aneka peluang perubahan pendidikan ke arah lebih baik, menjatuhkan mutu
kualitas layanan publik ke titik terendah, dan pada ujungnya, mengabadikan
praktik dan budaya korup di negeri ini. Di titik paling mengerikan, sebenarnya
fakta-fakta lapangan tentang korupsi pendidikan di Indonesia (di sana para guru
terlibat), itu justru menjadi warning, sejenis sinyal buruk tentang gagalnya pendidikan
di Indonesia dalam membangun karakter bangsa yang jujur, demokratis dan
bertanggung jawab.
Mengapa?
Seperti dinyatakan pengamat pendidikan nasional, Prof. DR. H.A.R. Tilaar, bahwa
akar tunjang demokratisasi sebenarnya teletak pada sukses tidaknya pendidikan
yang dikembangkan. Karena demokrasi membutuhkan masyarakat warga yang terdidik
dengan baik (civilized). Demokrasi, pada akhirnya, adalah proses aksi,
refleksi, dan belajar (inilah saripati ajaran Paolo Freire).
Idealnya
dunia pendidikan dan para pegiat di bidang ini (para guru), menjadi aktor utama
gerakan anti korupsi. Mereka, dibanding komponen masyarakat yang lain, jauh
lebih terdidik, terorganisir, dan paling tidak lebih mapan di bidang ekonomi
(dibanding tani, buruh, atau nelayan). Apalagi sekarang, guru telah disebut sebagai
profesi sehingga pemerintah memberi dana uang sertifikasi, insentif dan
kemudahan lainnya.
Kita
tidak bisa tutup mata, praktik-praktik manipulasi, kolusi, pungli, dan korupsi
di sekolah membuka wacana besar. Bahwa di dunia pendidikan sekalipun, ternyata praktik-praktik
keji itu nyaris menjadi epidemi yang
sulit dibasmi. ***