Menyoal Penghapusan Pelajaran IPA dan IPS di Sekolah Dasar



Menyoal Penghapusan Pelajaran IPA dan IPS di Sekolah Dasar
Oleh : Fadil Abidin
 Diumat di OPINI Harian Analisa Medan, 6 Nopember 2012

            Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 rencananya akan diubah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang memprogramkan kurikulum baru. Secara garis besar, kurikulum baru bersifat menyederhanakan kurikulum yang lama, baik tingkat SD, SMP maupun SMA.

Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Prof Dr Ir H Musliar Kasim MS, penyederhanaan kurikulum ini akan direalisasikan mulai tahun ajaran 2013-2014. Untuk tingkat SD, dua mata pelajaran, yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tak lagi menjadi mata pelajaran tersendiri seperti yang selama ini berlaku.
Pada kurikulum baru nanti, mata pelajaran SD hanya ada enam, yakni mata pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, ujar Wamendikbud (Tribunnews.com, 21/10/2012).
Rencananya, perombakan kurikulum juga nantinya akan diterapkan bagi siswa SMP dan SMA. Untuk SMP, yang wajib tetap enam mata pelajaran seperti tingkat SD tapi kemudian akan ditambah Bahasa Inggris dan ilmu pengetahuan seperti IPA dan IPS. Adapun untuk tingkat SMA, ilmu pengetahuan akan dipecah. Untuk IPA akan ada mata pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia. Untuk IPS akan ada mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi.
Wamen mengatakan, kurikulum baru ini akan mulai disosialisasikan dan diuji publik sebelum Februari 2013. Nantinya kurikulum baru ini akan menitikberatkan pada mata pelajaran yang membentuk sikap untuk siswa SD, mengasah keterampilan untuk siswa SMP dan membangun pengetahuan untuk siswa SMA.
Dasar penyederhanaan ini adalah untuk mengurangi beban kurikulum yang dianggap terlalu berat, terutama oleh siswa SD. Selama ini siswa SD sudah terlalu banyak dicekoki mata pelajaran, misalnya Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya dan Keterampilan (SBK), Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran muatan lokal. Bayangkan ada sebelas mata pelajaran!
Tak jarang kita mendapati anak-anak SD yang pergi dan pulang ke sekolah dengan memanggul tas yang begitu besar. Tak jarang pula tas-tas mereka seperti tas tentara yang mau pergi berperang, atau tas travel bag yang mempunyai roda di bawah (troli) seperti layaknya tas mau berlibur ke luar negeri. Anak-anak kita semakin bungkuk akibat memanggul tas itu setiap hari.  
Tiga Aspek
Mata pelajaran yang begitu banyak ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kognitif (kecerdasan), afektif (perilaku), dan psikomotorik (keterampilan) peserta didik. Ketiga aspek yang harus diraih dalam pendidikan ini justru tidak tammpak. Pada aspek kognitif, kurikulum sekarang hanya menghasilkan lulusan SD yang serba tanggung. Pada aspek afektif, justru semakin parah. Perilaku, sikap, sopan santun, etika, dan moralitas kebanyakan siswa SD sudah banyak yang tidak sesuai dengan umur mereka. Sudah sangat langka kita mendapati anak SD yang bisa bertutur kata secara sopan, sikap menghargai orang tua, guru dan teman. Bayangkan, masih SD saja mereka sudah berani melawan atau berkata kasar kepada orang tua dan guru, apalagi kepada teman.
Maka tidaklah heran jika kemudian di tingkat SMP dan SMA, siswa kemudian terlibat tawuran, pergaulan bebas, geng motor, narkoba, dan tindak kriminal. Pelaku tindakan tersebut sebenarnya adalah korban dari sistem pendidikan kita yang tidak “memerdekakan”. Sistem pendidikan kita dengan kurikulum dan segala macam instrumen lainnya justru bersifat mengerdilkan dan memenjarakan potensi peserta didik.       
            Jadi, penyederhanaan kurikulum tersebut bukanlah obat mujarab untuk menyembuhkan carut marut dunia pendidikan kita. Harus ada langkah komprehensif yang menyeluruh untuk membenahinya, salah satu aspek yang krusial adalah penyelenggaraan UN (Ujian Nasional). Selama UN masih bersifat sentralistik, hanya menguji aspek kognitif, dan soal berbentuk pilihan berganda hanya untuk mata pelajaran tertentu saja. Maka semuanya menjadi omong kosong belaka, hasil pendidikan kita hanya melahirkan robot-robot penghapal tanpa dibarengi perilaku dan skill yang handal.  
Ganti Kurikulum
Adagium “ganti menteri, ganti kurikulum” seolah menjadi keniscyaan dalam sistem pendidikan nasional. Ironisnya, pergantian tersebut bersifat tambal sulam. Terkadang hanya “kemasan” saja yang berganti tapi substansi dan pelaksanaannya tetap sama. Proyek ganti kurikulum seolah menjadi target menteri yang bersangkutan sebelum jabatannya berakhir agar namanya tercatat sebagai menteri yang pernah membawa perubahan.
Penghapusan pelajaran IPA dan IPS di SD patut dipersoalkan, apalagi kemudian pemerintah berkilah dengan eufemisme “tidak dihapuskan”, tapi dilebur menjadi mata pelajaran baru bernama Ilmu Pengetahuan Umum (IPU). Ini agak membingungkan logika. Bagaimana kedua disiplin ilmu tersebut bisa digabungkan? Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan hanya dibagi kepada dua kutub, yaitu natural science (IPA) dan social science (IPS).    
Sebenarnya yang menjadi masalah bukan mata pelajaran IPA dan IPS, tapi beban materi pelajaran yang teramat berat di dalamnya. Untuk IPA misalnya, sudah ada materi reproduksi (sistem perkembangbiakan), sistem rangka, peredaran darah, pencernaan, pernafasan, materi soal gaya, dan sebagainya. Untuk IPS, sudah ada materi sistem demokrasi dan pemerintahan, sistem pemilu, lembaga-lembaga negara, mengenal negara-negara di dunia, dan materi-materi lain yang sebenarnya terlalu berat untuk siswa SD.   
Jadi menurut penulis, yang perlu diubah itu beban materi pelajarannya, bukan malah menghapus atau menggabungkannya menjadi satu pelajaran. Untuk IPA dan IPS tingkat SD, selama ini pelajaran tersebut mempunyai porsi empat dan tiga jam pelajaran per minggu, hal ini bisa dikurangi menjadi dua jam pelajaran per minggu saja. Pengurangan jam pelajaran ini juga harus diikuti dengan pengurangan materi pelajaran. Materi pelajaran atau pokok bahasan yang tidak relevan atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangan siswa SD harus dihapus.
Kebijakan penghapusan dan atau penggabungan IPA-IPS menjadi IPU bukanlah langkah yang bijak. IPA haruslah tetap menjadi pelajaran IPA, IPS tetaplah menjadi pelajaran IPS dengan penekanan kepada penyederhanaan materi dari mata pelajaran tersebut sehingga benar-benar berfokus kepada pondasi yang perlu dibangun di dalam diri anak-anak, sebagaimana amanat yang sesungguhnya dari sebuah pendidikan dasar.
Di dalam pelajaran IPA misalnya, semestinya pelajaran ini difokuskan kepada pembentukan sikap dasar ilmiah dalam diri anak-anak seperti rasa ingin tahu, berpikir logis, peduli lingkungan, cermat, disiplin, bertanggungjawab dan jujur. Sehingga dalam pembelajaran di kelas difokuskan kepada keterampilan dasar ilmiah seperti mengamati, mengukur, melakukan percobaan sederhana, mengelompokkan, menyimpulkan, dan mengolah data secara sederhana.
Pelajaran IPA bisa disajikan dalam bentuk kegiatan anak-anak mengamati lingkungan, hewan, dan tumbuhan yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka. Bahkan dalam IPA, sepotong selokan pun mempunyai banyak pelajaran yang bisa diambil hikmahnya, misalnya tentang perkembangbiakan nyamuk (metamorfosis), rantai makanan, bagaimana mencegah penyakit akibat gigitan nyamuk, cara mencegah banjir, ekosistem dan sebagaianya. Banyak dokter, ilmuwan, peneliti, ahli biologi, ahli fisika, ahli kimia, bahkan ahli nuklir sekalipun tercipta dari ketertarikan mereka terhadap IPA ketika di SD.
Jadi patut dipertanyakan jika pemerintah benar-benar ingin menghapus pelajaran IPA-IPS di SD. Penghapusan ini harus melalui dialog dengan semua elemen yang ada, para ilmuwan, ahli pendidikan, akademisi, perguruan tinggi, sekolah, LSM, masyarakat, guru dan jika perlu melibatkan para siswa. Pemerintah terkesan diam-diam dalam perencanaan kurikulum baru ini dengan tidak melibatkan pihak-pihak di luar pemerintah, sehingga kebijakan tersebut cenderung otoriter atau  sepihak.
            Kurikulum baru ini memang akan menitikberatkan pada mata pelajaran yang membentuk sikap untuk siswa SD. Membentuk sikap bukanlah hal yang sederhana dan mudah. Sikap, perilaku, karakter, etika, moralitas, soft skills, dan sejenisnya, tidaklah bisa diajarkan secara indoktrinasi melalui buku-buku pelajaran. Mengajarkan sikap harus melalui sikap pula, yaitu melalui keteladanan dan pembiasaan.
            Menjadi pertanyaan, sudah siapkah guru-guru menjadi contoh dan teladan bagi siswa-siswanya? Bagaimana guru akan menjadi contoh yang baik jika guru yang bersangkutan tidak mempunyai etika, suka berbicara kasar, menghardik, membentak, dan suka memukul?
            Berdasarkan kondisi realitas yang ada, maka penulis mempunyai hipotesis bahwa kurikulum baru ini akan bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum yang hanya bagus di atas kertas, tapi implementasinya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Maka akhirnya yang terjadi adalah, pembentukan sikap, perilaku, karakter, etika, moralitas, dan sejenisnya, hanya menjadi pelajaran teori yang tidak mempunyai arti. ***