Jika Mantan Narapidana Menjadi
Anggota DPR atau Kepala Daerah
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom
OPINI Harian Analisa Medan, 1 Juni 2012
Indonesia kini memasuki
demokrasi yang sebebas-bebasnya mengalahkan demokrasi liberal yang berlaku di
Amerika Serikat sekalipun. Di Amerika untuk menjadi anggota House of
Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat), Senat (Dewan Perwakilan Daerah),
walikota, gubernur, dan presiden haruslah orang-orang yang benar-benar
mempunyai rekam jejak masa lalu yang bersih dan tidak pernah tersangkut masalah
pidana.
Di Indonesia kini berlaku
aturan baru, yaitu semua warga negara berhak menjadi pejabat publik. Sehingga mantan
narapidana, baik terpidana korupsi, perampok, pengedar narkoba, pembunuh,
pemerkosa, penyeludup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris.
Mereka berhak mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota DPRD, DPD, DPR,
walikota, bupati, gubernur, bahkan presiden.
DPR telah membuka ruang bagi semua mantan narapidana agar
bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun pejabat eksekutif.
Alasannya, mantan napi seharusnya tetap memiliki hak politik yang sama, karena
sudah menjalani masa hukuman. Masa hukuman itu ibarat ‘penebusan’ kesalahan,
sehingga ketika ia telah keluar dari lembaga pemasyarakatan (LP), berarti ia
ibarat ‘bayi yang baru lahir’. Kesalahan dan kejahatan yang pernah dilakukan di
masa lalu tidak seharusnya menjadi beban dosa seumur hidupnya.
Aturan atau klausul bahwa semua mantan narapidana (apapun
kejahatannya dan seberat apapun hukumannya)
bisa mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif dan ikut dalam
pemilukada ini mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
4/PUU/7/2009. Putusan MK ini menganulir UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Legislatif, Pasal 51 huruf g dan Pasal 50 ayat 1 huruf g dan Revisi UU No.12 Tahun
2008 tentang Pemerinatahan Daerah Pasal 58 huruf f.
Pasal tersebut memuat syarat setiap orang yang ingin
mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif baik pusat maupun daerah
serta calon kepala daerah harus bersih dari catatan kriminal. Pasal-pasal itu
menyebutkan seorang caleg atau calon kepala daerah harus memenuhi syarat ‘tidak
pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
MK memutuskan ketiga pasal itu conditionally unconstitutional atau inskonstitusional bersyarat.
Artinya, ketentuan tersebut dinyatakan inkonstitusional bila tak memenuhi empat
syarat yang ditetapkan MK dalam putusannya, yakni, (i) tak berlaku untuk
jabatan publik yang dipilih (elected officials), (ii) berlaku terbatas jangka
waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya,
(iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan
sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Kado Istimewa Buat Narapidana
Keputusan MK ini tentu menjadi kado istimewa bagi para
mantan narapidana. Dengan ketentuan ini, maka dipersilakan saja para mantan narapidana, koruptor, pengedar narkoba, pembunuh,
pemerkosa, penyeludup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris
untuk mendaftar menjadi caleg atau ikut pemilihan kepala daerah. Kita pun
sebagai rakyat, harus siap-siap, suka atau tidak suka, dipimpin oleh mantan koruptor,
pembunuh, pemerkosa atau bandar narkoba jika mereka terpilih nantinya.
Logika hukum diperbolehkannya mantan penjahat untuk
menjadi pejabat adalah bahwa mantan napi mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya. Artinya
seseorang yang sudah menjalani hukuman karena tersangkut tindak pidana sama
saja telah melunasi kesalahannya. Apalagi sekarang kita tak mengenal lagi
penjara. Istilah penjara telah lama dihapus, kemudian diganti dengan lembaga
pemasyarakatan (Lapas), sebuah institusi yang membina para napi ke jalan yang
benar. Ini berarti bahwa mereka yang telah keluar dari Lapas berarti telah
lulus menjalani proses pemasyarakatan. Sehingga kehadirannya di tengah
masyarakat sebagai warga yang sudah bersih, tanpa cacat dan cela sebagaimana
sebelum tersangkut tindak pidana.
Keputusan MK ini kemudian akan diadopsi DPR untuk
mengesahkan UU Pemilu Legislatif, UU Pemilukada, dan UU Pemilihan Presiden.
Jadi nantinya, mantan narapidana juga berhak ikut mencalonkan diri dan ikut
dalam pemilihan Presiden RI. Seandainya presiden terpilih nanti adalah mantan
koruptor, bandar narkoba, pemerkosa atau pembunuh, lalau apa kata dunia?
Kita tidak bisa membayangkan, misalnya jika seorang
koruptor, bandar narkoba, pelaku trafficking, atau penyuludup. Mereka berhasil
mengumpulkan banyak uang haram, lalu kemudian mereka dihukum 2-5 tahun penjara,
tanpa penyitaan aset atau harga mereka. Bukankah uang haram yang mereka
kumpulkan ini bisa menjadi dana kampanye yang potensial mengantarkan mereka
untuk meraih jabatan di legislatif maupun eksekutif?
Bagaimana pula perasaan korban perkosaan atau keluarga
korban pembunuhan, bila mantan pemerkosa dan mantan pembunuh anggota keluarga
mereka, seandainya kemudian terpilih menjadin anggota DPR atau kepala
daerah?
Coba bayangkanlah, jika ada seorang mantan teroris yang
pernah dipenjara di Pulau Nusa Kambangan atau Penjara Guantanamo, Kuba.
Kemudian 20-25 tahun kemudian ia bebas, berhasil meraih simpati rakyat, dan
mencalonkan diri menjadi Presiden RI, terpilih pula. Bagaimana reaksi dunia
internasional?
Aturan yang Merusak
Secara sosial, aturan ini akan merusak tatanan dan norma
yang selama ini ada di masyarakat. Selain norma hukum positif, di tengah
masyarakat kita juga berlaku norma adat, kesusilaan, dan agama, yang sudah
berlaku lama sebelum hukum positif itu ada. Di beberapa bagian masyarakat
misalnya, ada kebiasaan untuk mengusir para pelaku tindak asusila. Tidak
terbayangkan jika yang diusir itu kembali ke daerah tersebut menjadi pejabat
publik.
Secara moral, aturan ini akan melahirkan generasi muda yang
tak memikirkan masa depannya. Mereka akan memakai narkoba, menjadi pengedar,
membunuh dan memperkosa sesukanya tanpa pemikiran yang panjang. Toh, setelah di
penjara, tetap bisa menjadi pejabat atau pemimpin. Kita tidak bisa membayangkan
jika mantan narapidana bisa menjadi tentara, polisi, jaksa, hakim, anggota KPK,
atau hakim konstitusi.
Padahal di Amerika Serikat sekalipun jika seseorang
bercita-cita ingin mejadi pejabat publik (kepala daerah, anggota DPR atau
senat), mereka sejak muda terus berusaha menjaga reputasi dan moralnya. Mereka
akan menjauhi skandal, tindak pidana, perselingkuhan, tidak memakai narkoba,
bahkan kalau bisa tidak pernah ditilang sekalipun. Sekali saja ada cacat,
misalnya pernah ketahuan berselingkuh, maka ia tidak ada peluang untuk menjadi
pejabat publik.
Secara politik, aturan baru ini jelas akan menurunkan rasa
kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga negara. Jika selama ini rakyat
tidak percaya kepada partai politik, maka berikutnyaa akan meluas kepada
lembaga-lembaga negara lainnya, baik DPRD, DPR
pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Aturan baru ini tentu disambut gegap gempita oleh para
narapidana yang tengah dipenjara atau mantan narapidana yang telah bebas dari
penjara yang berasal dari kalangan politisi (mantan anggota dewan atau kepala
daerah). Kebanyakan mantan narapidana itu bergairah kembali untuk menjadi caleg
2014 atau ikut dalam pemilukada.
Jika pasal yang mengizinkan mantan narapidana boleh menjadi
calon anggota legislatif dalam Pemilu 2014 kelak, menurut prediksi sebagian
kalangan, kemungkinan 5-25% kursi keanggotaan di DPRD kabupaten/kota, DPRD
Provinsi, dan DPR akan diisi kembali oleh mantan-mantan narapidana dari bekas
anggota dewan yang diberhentikan karena kasus korupsi, penyuapan, kejahatan
seksual, dan kasus narkoba.
Sementara untuk pemilukada akan lebih seru lagi. Para
mantan kepala daerah yang pernah diberhentikan ketika masih menjabat karena
dipenjara akibat kasus korupsi akan kembali ‘turun gunung’. Dengan sisa-sisa
dana hasil korupsi dan pendukung fanatik yang masih setia mereka akan
menggalang kekuatan untuk maju dalam pemilukada, baik lewat jalur parpol atau
perseorangan.
Relakah kita mempunyai pemimpin mantan narapidana? Saya
sendiri tak rela. Jangankan untuk memilih pemimpin, memilih suami untuk anak
perempuan saya sendiri saja saya akan sangat selektif. Tidak rela rasanya jika
anak perempuan saya memilih suami yang pernah membunuh dengan sengaja atau
pernah memperkosa beberapa wanita. Itulah tanda cinta sebagai orang tua untuk
memproteksi anak sendiri.
Tapi ternyata para pemimpin di negeri ini, baik di
legislatif, eksekutif maupun yudikatif, termasuk Mahkamah Konstitusi, tidak
sayang kepada rakyatnya. Rakyat yang begitu banyak dengan beragam kondisi
ekonomi, sosial, pendidikan, dan buta terhadap politik, tidak diproteksi dari
ancaman para ‘monster’ licik yang haus akan kekuasaan. ***