Pilgubsu, Antara Pemodal dan Isu Primordial



Pilgubsu, Antara Pemodal dan Isu Primordial
Oleh : Fadil Abidin

            Perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan adalah bagian dari fakta sejarah dan sosial atas berdirinya negara ini. Indonesia lahir dari rahim kebhinnekaan, di mana perbedaan tersebut merupakan salah satu bagian terpenting dari sumber kekuatan dalam sebuah bangunan kebangsaan. Lantas, mengapa isu-isu primordial yang menyangkut perbedaan suku dan agama kerap dipertentangkan menjelang pemilihan kepala daerah atau pilkada?

Saat ini isu-isu primordial sering menjadi salah satu strategi politik di tingkat operasional akar rumput. Ia menjadi isu yang tersembunyi, tapi sangat efektif menentukan putusan para pemilih untuk mendukung atau tidak.
Tidak akan pernah ada pilihan politik berdasarkan faktor objektivitas atau rasionalitas yang murni. Terkait dengan masalah pilkada, katakanlah aspek integritas, kapabilitas dan akseptablitas atas diri calon pemimpin, dapat dipastikan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan pilihan bagi pemilih. Sentimen primordial, seperti asal-asul daerah, suku, agama, dan sejenisnya, akan turut berpengaruh dalam sebuah pertarungan politik. Dalam konteks pilkada, faktor-faktor subjektif dan dalam hal tertentu bersifat primordial tersebut, akan dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi pemenangan politik.
Primordialisme, sebagaimana diuraikan McLeland (1997), adalah kebanggaan berlebih terhadap kelompok. Paham ini berkembang sebagai usaha menjaga eksistensi sebuah kelompok dalam peta pergaulan yang lebih luas supaya tetap berada pada posisi superior. Konkritnya, primordialisme dilakukan dengan membangga-banggakan kelompok sendiri dengan menafikan kelompok lain.
Dalam penyelenggaraan pilkada, primordialisme seringkali menjadi isu utama. Partai-partai politik pendukung pasangan calon akan memperhitungkan faktor suku, agama, dan asal kelahiran calon yang akan maju dalam pilkada yang dianggap bisa mempresentasikan identitas suku dan agama secara keseluruhan di daerah pemilihan.
Komposisi Penduduk
            Berdasarkan pemikiran itulah, maka dapat kita lihat bahwa pasangan cagub/cawagub yang maju dalam Pilgubsu 2013 selalu lebih berwarna. Partai-partai politik secara pragmatis mencoba menampilkan calon yang dianggap bisa mempresentasikan identitas suku, agama, dan daerah kelahiran di Sumatera Utara.
            Secara umum Sumut dikenal sebagai daerah suku Batak. Tapi, mayoritas penduduk di Sumut adalah suku Jawa.  Menurut sensus, 30-33% dari populasi Sumut yang jumlahnya lebih dari 12 juta orang adalah orang Jawa. Lalu berapa jumlah orang Bataknya?
Sebagian orang mungkin tahu bahwa yang dimaksud dengan “Batak” itu sebenarnya tidak tunggal, tapi jamak. Batak adalah istilah bagi suku-suku asli Sumut yang berdiam di wilayah pedalaman. Kategori orang asli Sumut lainnya adalah pesisir (Melayu) dan pulau (Nias). Meskipun penduduk pedalaman itu memiliki bahasa dan kebiasaan yang berbeda, tapi mereka memiliki benang merah yang sama, salah satunya marga. Oleh karena itu, Toba, Mandailing, Karo, Angkola, Pakpak-Dairi, dan Simalungun kerap dimasukkan sebagai suku Batak. Walaupun dalam wacana berikutnya, ada sub-sub suku tersebut  yang menolak disebut sebagai “suku Batak”.
Jika sub-sub Batak ini dipisah, maka suku Jawa adalah yang terbesar. Tapi kalau sub-sub itu disatukan sebagai “suku Batak”, maka jumlahnya sekitar 40 persen. Sesudah Batak dan Jawa, menyusul kemudian Melayu, Nias, dan penduduk pendatang seperti Tionghoa, Minang, Aceh, India, dan sebagainya.
Perbedaan di kalangan orang Batak tidak hanya dalam bahasa dan istiadat, melainkan juga agama dan pilihan politik. Orang Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak Dairi kebanyakan menganut agama Kristen. Komposisi penduduk beragama Kristen ditambah oleh orang Nias. Sedangkan Mandailing dan Angkola mayoritas beragama Islam. Penduduk beragama Islam ini ditambah oleh orang Jawa, Melayu, dan pendatang seperti orang Aceh dan Minang.  Heterogenitas penduduk Sumut, baik dari segi etnis dan agama menyebabkan Sumut pantas disebut sebagai miniaturnya Indonesia.
Konstelasi Politik
Menimbang suku Jawa yang mencapai 30-33%, sehingga tidaklah heran jika suara etnis Jawa di Sumut kini tengah diperebutkan oleh lima pasangan cagub/cawagub. Terutama cagub/ cawagub yang bersuku Jawa, yakni Gatot Pujo Nugroho, Soekirman, dan Djumiran Abdi. Tapi tidak fair, menyamakan orang “Jawa Sumut” dengan orang “Jawa di Pulau Jawa”. Kondisi kultural, sosial, dan psikologis orang Jawa di Sumut dengan yang ada di Pulau Jawa berbeda karakteristiknya.
Bagi sebagian orang Jawa di Sumut belum tentu memilih cagub atau cawagub yang juga orang Jawa. Tapi bagi sebagian lainnya, memilih cagub atau cawagub orang Jawa merupakan hutang sejarah yang harus dibayar. Pasalnya sebagai penduduk mayoritas, orang Jawa merasa sangat minim diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin (gubernur atau wakil gubernur), hingga sekarang hanya Gatot Pujo Nugroho yang mencapai harapan tersebut. Sentimen dan isu “penduduk mayoritas” inilah yang tengah digarap para calon.      
Suku terbanyak kedua di Sumut adalah Batak Toba dan Mandailing. Masing-masing memiliki jumlah penduduk sekitar 20 persen di Sumut. Ada beberapa kandidat yang memperebutkan suara Batak Toba. Yakni Effendi MS Simbolon, RE Nainggolan, dan Amri Tambunan. Sedangkan yang memperebutkan suara Mandailing adalah Gus Irawan Pasaribu dan Chairuman Harahap.
Suku lainnya yang ada di Sumut adalah Melayu. Jumlahnya  sekitar 6 persen di Sumut. Kandidat yang mewakili suara Melayu hanya dua, Tengku Erry Nuradi dan Fadly Nurzal. Keduanya adalah calon wakil gubernur. Keduanya diperkirakan akan didukung oleh etnis pendatang seperti orang Aceh atau Minang.
Di luar keempat suku tersebut, tidak ada kandidat yang dianggap mewakilinya. Padahal jumlahnya cukup besar di Sumut. Yakni, Tionghoa 8 persen, Karo 5 persen, Nias 5 persen, dan  Simalungun 3 persen.
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara mengumumkan, jumlah penduduk di provinsi Sumut sebanyak 12.985.075 jiwa berdasarkan proses sensus yang dilakukan sejak Mei 2010. Dari jumlah tersebut diketahui 6.506.024 jiwa adalah perempuan, sedangkan 6.479.051 jiwa adalah laki-laki. Jadi perempuan lebih banyak daripada laki-laki, sehingga sangat disayangkan tidak ada calon perempuan dalam Pilgubsu 2013.
Kemudian berdasarkan kewilayahan, daerah yang paling padat penduduknya adalah Kota Medan dengan jumlah 2.109.330 jiwa (16,24 persen), sedangkan paling sedikit adalah Pakpak Bharat dengan 40.481 jiwa (0,31 persen). Kota Medan menjadi ‘medan pertarungan’ politik yang berat bagi para calon untuk meraih dukungan. Sehingga ada adagium, calon yang menang di Kota Medan akan memenangi Pilgubsu.   
Faktor Modal
Wilayah pertarungan politik telah terhampar, peta penduduk dan dukungan telah diketahui, maka yang berperan penting selanjutnya adalah faktor modal (baca: uang). Tidak dipungkiri mayoritas pilkada di Indonesia dimenangkan oleh calon yang lebih banyak mengeluarkan uang daripada calon lainnya. 
James Kerr Pollock (dalam Walecki: 2007) menyatakan bahwa relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, selagi uang secara tanpa batas terus berbicara dalam kehidupan politik.
Harus diakui, peran uang memang kian vital dalam demokrasi modern, antara lain digunakan dalam pembiayaan iklan, pembuatan spanduk, baliho, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga dianggap kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses pemenangannya. Beragam sumber uang haram, hasil korupsi, praktik pencucian uang, dan politik uang terus dijalankan oleh parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Karena itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi agenda yang paling krusial dalam menyehatkan sistem demokrasi.
Modus penyebaran uang di ajang pilkada bermacam-macam. Mulai dari yang paling halus: bantuan untuk rumah-rumah ibadah, sumbangan pada acara keagamaan, bantuan sosial, bantuan duka, dan bantuan tak terduga. Hingga ‘ongkos transport ke TPS’ di kisaran Rp20.000 - 50.000 per pemilih. Tidak afdol jika seorang kandidat mendatangi para calon pemilih tanpa membawa uang ‘salam tempel’. Sehingga tidak heran jika pasangan kandidat dapat menghabiskan dana Rp 20-50 miliar. Uang ini tentu tak seluruhnya berasal dari kantung pribadi sang kandidat. Banyak pengusaha dan para pihak yang bersedia menjadi pemodal, modal ini harus dibayar plus bunganya jika sang kandidat terpilih.
Pengeluaran uang puluhan miliaran rupiah itu dianggap sebagai ongkos politik’ yang lazim. Sebagai perbandingan untuk menjadi PNS saja konon mengeluarkan uang hingga Rp 75 juta, konon pula menjadi ‘bos PNS’ tentu sangat lumrah dibutuhkan dana puluhan miliaran rupiah. Untuk mendapatkan jabatan prestisius dan berkuasa ini, tidak mungkin menggapainya tanpa pengorbanan. Ibarat kata pepatah politik ”tak ada makan siang yang gratis.”
Mungkin, inilah akibat demokrasi di tengah perut yang lapar, masyarakat yang tengah dililit kemiskinan akan berpikiran pragmatis. Para pemilih masih dikendalikan oleh logika perut, memilih sesuai bayaran, bukan sesuai hati nurani. Ini menyangkut persoalan di sini dan saat ini’, bukan nanti’ apalagi ‘esok’. Maka, pilihan pemilih jatuh pada logika yang amat mungkin konyol seperti dalam iklan, ‘wani piro?’ atau ‘berani bayar berapa?’ Pemilih hanya mau ke TPS jika ada calon yang membayar mereka, kapan lagi kita akan menguras uang mereka? Inilah saatnya. Mereka tidak tahu, setelah itu, gantian mereka yang akan dikuras kantungnya secara tidak sadar. ***