Pilgub dan Urgensi Penguatan Kewenangan Provinsi
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat
dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 5 Maret 2013
Banyak
kalangan berasumsi bahwa pemilihan kepala daerah provinsi untuk memilih
gubernur dan wakil gubernur hanyalah mengejar ‘pepesan kosong’ belaka. Berdasarkan
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan otonomi daerah
diletakkan di kabupaten/kota.
Gubernur hanya mempunyai kewenangan
administratif sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan dalam praktiknya
gubernur nyaris tidak mempunyai kekuasaan apapun ketika berhadapan dengan
bupati atau walikota. Selain Gubernur DKI Jakarta (yang bisa mengangkat dan
memberhentikan walikota), gubernur lain di seluruh provinsi Indonesia tidak
mempunyai interaksi kebijakan yang berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat
karena interaksi tersebut telah diambil alih oleh bupati/walikota.
Fakta
di atas menjadi usulan berbagai pihak agar pemilihan gubernur (pilgub)
dikembalikan kepada DPRD provinsi. Musyawarah alim
ulama NU pada September 2012 lalu misalnya, meminta pemerintah menghapus sistem pemilihan langsung kepala daerah. Organisasi massa Islam terbesar di Indonedia ini menilai, pemilihan
langsung kepala daerah yang berjalan selama ini dinilai tak efektif dan hanya
menghamburkan uang negara.
Pemerintah
tampaknya lebih memilih usulan agar gubernur cukup dipilih lewat DPRD provinsi atau
ditunjuk oleh Presiden karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat.
Pertimbangannya antara lain, kewenangan gubernur dalam skema otonomi daerah
sangat sedikit dan terbatas, sementara anggaran untuk melaksanakan pilgub
dianggap terlalu besar. Besarnya ‘modal’ yang harus dikeluarkan cagub dan
cawagub dalam pertarungan di pilgub, menjadi salah satu sebab mengapa banyak
gubernur yang kemudian tersangkut masalah korupsi.
Langkah Mundur
Pelaksanaan pilgub oleh DPRD provinsi dianggap sebagai
langkah mundur dalam demokrasi. Pemilihan
gubernur oleh DPRD membawa
kekecewaan masyarakat pada masa lalu.
Karena, pertama, politik oligarki yang dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah, di mana kepentingan partai, bahkan kepentingan
segelintir elit partai, kerap memanipulasi kepentingan rakyat. Kedua,
mekanisme pemilihan kepala daerah cenderung
menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Dampaknya, kepala-kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD daripada kepada
masyarakat.
Dampak lebih lanjutnya adalah kolusi dan money politics,
khususnya pada proses pemilihan kepala daerah,
antara calon dengan anggota DPRD. Ketiga, terjadi ‘pencopotan’ dan/atau tindakan over lain dari para anggota DPRD terhadap kepala daerah, yang berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal. Keempat, kepala daerah kerap menjadi ‘sapi perah’ para anggota daerah
dengan ancaman pelengseran jika keinginan mereka tidak dikabulkan.
Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat
berpartisipasi langsung menentukan
pemimpin daerah. Pilkada langsung juga merupakan wujud nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas. Melalui pemilihan secara langsung,
kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat.
Pilkada langsung lebih akuntabel, karena rakyat tidak harus
‘menitipkan’ suara melalui DPRD tetapi dapat menentukan pilihan secara langsung berdasarkan pilihannya.
Disfungsi Gubernur
Harus diakui, sejak memulai kebijakan otonomi 12 tahun
lalu, efektivitas kebijakan desentralisasi terus dihantui lemahnya peran
gubernur dalam mata rantai pemerintahan yang ada. Dalam statusnya sebagai
daerah otonom, kewenangan provinsi serba tanggung karena urusan otonominya
tidak jelas. Provinsi hanya berwenang atas urusan lintas wilayah atau urusan ‘buangan’ dari kabupaten/kota karena merasa tak sanggup mengurusnya.
Lebih parah lagi, status provinsi sebagai wilayah administrasi dan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam kerangka dekonsentrasi
lebih bersifat sloganistik. Penempatkan kabupaten/kota sebagai bagian integral dari provinsi, hanya tinggal sebagai konseptual di atas kertas. Bupati/walikota sama sekali tak
melihat wilayah kerjanya sebagai bagian dimaksud. Apalagi, menempatkan posisi
mereka secara inferior di depan gubernur. Mereka berhubungan langsung dengan
pusat, sebagaimana pula pejabat kementerian lebih sering melompati provinsi
untuk mengurus kabupaten/kota.
Revisi UU No 32/2004 tampaknya akan melakukan resentralisasi
dengan menarik sebagian urusan kabupaten/kota ke level provinsi dan memperkuat kewenangan
gubernur sebagai wakil pusat. Kebijakan ini dianggap sebagai
jalan tengah dari kubu yang menghendaki gubernur dipilih oleh DPRD provinsi
dengan kubu yang ingin mempertahankan gubernur dipilih langsung oleh rakyat
melalui pilkada.
Opsi ini lebih
dipilih oleh politisi di Senayan karena tidak menghilangkan akses
distribusi para kader partai ke jabatan politik lokal. Namun, penambahan urusan ke provinsi jelas tidak tepat. Baik pertimbangan efisiensi pelayanan, rentang
kendali pemerintahan, maupun demokrasi berbasis lokal yang justru lebih
terjamin oleh otonomi di tingkat kabupaten/kota. Di satu sisi opsi ini hanya
menguntungkan para elit, tapi di sisi lain akan terjadi inefisiensi pelayanan
publik. Ekses lainnya adalah akan terjadi perselisihan perebutan sumber-sumber
ekonomi antara bupati/walikota dengan gubernur.
Penguatan Provinsi
Penguatan kewenangan provinsi seharusnya meliputi aspek administrasi dan politik sekaligus. Kedudukan yang menempatkan gubernur
‘hanya’ sebagai wakil pusat jelas tak bergigi sama sekali karena tak punya wewenang penjatuhan sanksi.
Kedudukan bupati/walikota sangat kuat karena mandatnya langsung dari rakyat,
selain itu bupati/walikota mempunyai wilayah dan penduduk yang riil. Bandingkan
dengan gubernur yang dianggap tidak mempunyai wilayah dan penduduk. Wilayah dan
penduduk dalam provinsi adalah ‘imbasan’ dari kabupaten/kota yang ada.
Fakta dan
realita yang ada memang demikian, betapa kuatnya kedudukan bupati/ walikota.
Contoh kasusnya adalah pelengseran Bupati Garut Aceng Fikri. Kasus ini langsung
melibatkan Mahkamah Agung dan Presiden berdasarkan rekomendasi DPRD Garut.
Kewenangan gubernur Jawa Barat langsung terlangkahi oleh pusat.
Sebagai kepanjangan pusat di daerah, gubernur mesti
diberikan kewenangan otoritatif mengatur dan memutuskan. Tanpa otoritas ”kata putus”,
keberadaan provinsi hanya menjadi mata rantai tak perlu (birokratisasi)
lantaran segalanya masih ditentukan di Jakarta. Sejatinya, dari logika sistem, gubernur sebagai kepanjangan
tangan pusat mestinya ditunjuk langsung oleh presiden. Serupa menteri sebagai
pejabat lini fungsional/sektoral, gubernur adalah pejabat pusat di lini
kewilayahan, mestinya proses perekrutan diwadahi dalam tata cara sama.
Namun, konstitusi dan realitas politik tak memungkinkan ini terjadi dan
gubernur tetap dipilih langsung. Maka, agar tak mencederai sistem
pemilihan, perlu dipikirkan mekanisme keterlibatan pusat di suatu tahapan proses tertentu,
seperti persetujuan atas calon yang diusulkan partai untuk kemudian diserahkan
kepada rakyat/DPRD untuk dipilih.
Barangkali
inilah ‘cacat bawaan’ dari ekses otonomi daerah yang diletakkan pada
kabupaten/kota versus pemilihan gubernur secara langsung. Kedudukan gubernur
sangat dilematis dalam skema otonomi daerah. Di satu sisi gubernur adalah wakil
pusat karena kewenangannya nyaris terpangkas habis oleh bupati/walikota. Logikanya,
sebagai wakil pusat maka seharusnya gubernur dipilih oleh pusat juga.
Tapi di sisi
lain, berdasarkan tafsir konstitusi yang masih diperdebatkan hingga kini,
gubernur harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada. Maka dalam logika
ini, pemilihan gubernur secara langsung tanpa penguatan kewenangan provisi
adalah sebagai perebutan ‘pepesan kosong’ belaka. ***