Masalah Pelik
KTP Elektronik
Oleh :
Fadil Abidin
KTP elektronik (e-KTP) mulai diterbitkan pada 1 Oktober 2011
lalu. Tujuan program ini untuk menertibkan administrasi kependudukan secara digital berbasis
elektronik. Tujuan pengadaan
KTP elektronik agar setiap warga negara hanya mempunyai satu nomor induk
kependudukan yang berlaku secara nasional, mencegah penduduk mempunyai KTP ganda, pemalsuan KTP, menciptakan keakuratan data penduduk, mencegah dan melacak kejahatan
(terorisme, praktik pencucian uang), basis data kependudukan untuk pemilu,
pilkada, dan di masa akan datang akan digunakan sebagai basis data jaminan
sosial seperti di negara maju.
Namun sejak diterbitkan, hingga kini program Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) berbiaya Rp 5,8 triliun ini menuai banyak masalah. Mulai dari persoalan pencairan
anggaran, isu korupsi, kesiapan sistem, pungutan liar, masalah distribusi yang tersendat, hingga
kerentanan data pribadi pemilik KTP yang konon bisa dibajak atau hilang. Kemendagri mematok target pada awal
tahun 2014 KTP elektronik mulai wajib diberlakukan, dan KTP lama
tidak berlaku lagi. Pertanyaanya, apakah program ini siap dijalankan, atau justru
menjadi proyek mubazir?
Walaupun dipandang praktis dan sudah mengimplementasikan
kemajuan teknologi terkini, namun ada sisi bahaya yang dimiliki kartu identitas
elektronik termasuk e-KTP.
Menurut Wikipedia, ada beberapa negara di dunia yang juga menerapkan penggunaan kartu identitas elektronik seperti e-KTP di Indonesia. Contohnya, Belgia, Jerman, Kuwait, Italia, Belanda, Maroko, Pakistan, Portugal, Rumania, Estonia, Spanyol, dan sebagainya.
Menurut Wikipedia, ada beberapa negara di dunia yang juga menerapkan penggunaan kartu identitas elektronik seperti e-KTP di Indonesia. Contohnya, Belgia, Jerman, Kuwait, Italia, Belanda, Maroko, Pakistan, Portugal, Rumania, Estonia, Spanyol, dan sebagainya.
Namun, menurut beberapa beberapa pakar IT, ternyata kartu
identitas elektronik tersebut memiliki sisi keamanan yang cukup membahayakan. Pada bulan September 2009 silam,
pemerintah Jerman menerima laporan dari beberapa pakar IT bahwa eID (electronic
identity) di negara tersebut mudah sekali diretas atau dibajak. Bahkan dengan teknologi yang sederhana hanya
dalam waktu 12 menit saja, eID yang asli dapat dikloning atau digandakan.
Memang cukup riskan mengingat segala sesuatu yang berkaitan
dengan elektronik harus terhubung dengan komputer dan juga internet. Selain
riskan, penggunaan eID atau kartu identitas elektronik juga menciptakan
dilematis tersendiri. Di satu
sisi, eID sangat praktis dalam segala hal yang berkaitan dengan pengaksesan
identitas diri, tapi di
sisi lain ada ancaman-ancaman penyalahgunaan
data pribadi yang tidak dapat dianggap remeh.
Memang sejak e-KTP mulai digunakan, sampai sekarang belum ada
kasus terkait pembajakan kartu identitas elektronik ini. Namun kemungkinan
masih tetap ada. Apabila bukan
kartunya yang diretas, mungkin saja database pusat penyimpan data-data
identitas tersebut yang diretas.
Di dunia maya, kerap kita dengar isu-isu tentang pencurian dan jual-beli
database kependudukan. Bahkan ada yang mengklaim mempunyai 100 juta database
penduduk Indonesia yang diperjual-belikan. Untuk itu diperlukan payung hukum
agar database ini tetap terjaga.
KTP Elektronik
Dasar hukum
pelaksanaan KTP elektronik adalah Pasal 63 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dan Peraturan Presiden (PP) No.
26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor
Induk Kependudukan Secara Nasional (e-KTP), sebagaimana telah diubah dengan PP No. 35 Tahun 2010, PP No. 67 Tahun 2011 dan PP No.126 Tahun 2012.
Kelebihan yang mendasar dari e-KTP adalah bahwa di dalam
e-KTP tersebut dilengkapi dengan chip yang memuat biodata, pasfoto, tanda tangan, data retina mata, dan sidik
jari penduduk, sehingga e-KTP dimaksud tidak dimungkinkan lagi
dipalsukan/digandakan.
Chip yang tersimpan di dalam e-KTP hanya bisa dibaca dengan card reader
(alat pembaca chip). Instansi
pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan dan swasta wajib menyiapkan kelengkapan
teknis yang diperlukan berkaitan dengan penerapan e-KTP termasuk card reader
sebagaimana diamanatkan Pasal 10
C ayat (1) dan (2) PP No. 67 Tahun 2011.
Saat ini ada
beberapa masalah pelik yang menerpa KTP elektronik, antara lain: KTP elektronik ternyata tidak
boleh difotokopi terlalu sering. Alasannya, jika sering
difotokopi, chip yang terdapat di dalam e-KTP tersebut bisa rusak. Padahal
dalam chip tersebut tersimpan data-data pribadi si pemilik KTP. Larangan itu disampaikan dalam Surat
Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 471.13/1826/SJ, yang meminta kepada semua menteri, kepala lembaga
pemerintah non kementerian, kepala lembaga lainnya dan kepala kepolisian RI. SE juga ditembuskan ke gubernur Bank
Indonesia/para pimpinan bank, para gubernur, para bupati/walikota, agar semua
jajarannya khususnya unit kerja/badan usaha atau nama lainnya yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat, bahwa e-KTP tidak diperkenankan difotokopi,
distaples dan perlakuan lainnya yang merusak fisik e-KTP.
Sebagai penggantinya cukup dicatat Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nama lengkap. Hal itu jelas merepotkan dan tidak mungkin dilakukan. Sebab KTP selama ini sering
difotokopi oleh warga untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk membuka rekening
tabungan, mengambil
uang, atau mencairkan cek/bilyet/giro di bank. Fotokopi KTP juga diperlukan utuk membuat kartu kredit, mengajukan
kredit kepemilikan rumah,
kendaraan atau kredit lainnya, mengontrak rumah, mengurus SIM, STNK, kamar kos/kontrakan, melamar pekerjaan, mengurus surat nikah,
mengurus surat-surat, dan masih banyak lagi. Artinya, potensi e-KTP
untuk difotokopi berulang kali
sangat mungkin.
Larangan
memfotokopi e-KTP jelas membuat kebingungan di tengah masyarakat. Selama ini masyarakat
sudah terbiasa
memfotokopi KTP untuk segala
macam urusan. Surat edaran
tersebut memperingatkan banyak pihak untuk tidak memfotokopi dan menstaples
e-KTP agar tidak merusak chip yang menyimpan data pemilik e-KTP. Kalau soal
menstaples mungkin tidak masalah, tapi kalau soal dilarang memfotokopi KTP,
rasanya agak sulit. Masyarakat
Indonesia selama ini terbiasa dengan manual dan boros kertas. Segala sesuatu
yang berkenaan dengan administrasi selalu menggunakan fotokopi KTP. Lalu
bagaimana jika KTP hanya boleh difotokopi sekali.
Teknologi Chip
Pertanyaannya
adalah, apakah demikian ‘rapuh’ teknologi chip yang ditanamkan dalam e-KTP?
Proyek e-KTP yang menghabiskan dana Rp 5,8 triliun patut dipertanyakan jika
memakai teknologi yang produknya tidak tahan difotokopi. Sebagai perbandingan
e-KTP dipasang chip seperti pada ATM atau kartu kredit. Dengan chip
tersebut, data diri sang pemilik akan mudah terbaca secara digital. Lalu apakah
kartu kredit dan ATM juga demikian, tidak boleh difotokopi lebih dari satu
kali?
"Kalau untuk kartu kredit difotokopi ribuan kali pun
tidak masalah. Data masih bisa terbaca dengan baik selama kartunya tidak
rusak," ujar Dewan Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Dodit
Wiweko Probajakti (Merdeka.com,
8/5/2013). Menurut Dodit, kartu kredit yang saat
ini banyak beredar di Indonesia memiliki kelas dunia. Karena pembuatannya sudah
sangat canggih, mesin fotokopi bukan lagi menjadi musuh bagi kartu kredit. Jika kartu kredit bisa difotokopi
ribuan kali, kenapa e-KTP tidak bisa demikian?
Masyarakat
memang harus diberi pengertian untuk merawat e-KTP karena berbeda dengan KTP
manual sebelumnya. Perlu sosialisasi larangan menstaples, melaminating,
melubangi, dan tindakan lainnya yang dapat merusak chip dalam e-KTP. Proyek
e-KTP ini sangat mahal sehingga masyarakat perlu diajarkan cara merawatnya dengan baik. Sebab jika terjadi kerusakan atau
hilang, penggantiannya tidak
dengan proses sederhana, tapi
harus lewat pusat yang
memerlukan waktu yang lama.
Teknologi
chip dalam e-KTP memang konon ‘sudah terlanjur’ tidak tahan difotokopi berulang
kali, apa boleh buat. Kalau memang masyarakat ingin memperbanyak
duplikat e-KTP, sebaiknya pada fotokopi pertama, e-KTP diduplikat
sebanyak-banyaknya. Jika ingin
memfotokopi lagi maka hasil fotokopi inilah yang difotokopi kembali, sehingga
tidak e-KTP yang asli yang difotokopi berulang kali.
Sesuai
dengan PP No. 67 Tahun 2011, instansi pemerintah, lembaga
perbankan, keuangan, swasta, dan badan usaha harus menyediakan card
reader (alat pembaca chip) untuk e-KTP paling lambat akhir tahun 2013 dengan alasan KTP non
elektronik terhitung sejak 1 Januari 2014 tidak berlaku lagi. ***