Peluang Petahana dalam Pilkada



Peluang Petahana dalam Pilkada
Oleh : Fadil Abidin

            Pilgubsu 7 Maret 2013 diikuti oleh 10 calon gubernur dan wakil gubernur, dari 10 calon tersebut ada 4 kepala daerah yang sedang menjabat  yang sering disebut sebagai incumbent atau petahana, yaitu Gatot Pujo Nugroho (Wakil Gubernur yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Sumut), Amri Tambunan (Bupati Deli Serdang), Erry Nuradi (Bupati Serdang Bedagai), dan Soekirman (Wakil Bupati Serdang Bedagai). Tapi dalam Pilgubsu ini yang disebut sebagai petahana yang sesungguhnya adalah Gatot Pujo Nugroho, karena dia yang menjadi pejabat yang harus mempertahankan jabatannya. 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebenarnya adalah sarana bagi rakyat daerah untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah yang tengah menjabat. Pilkada juga  merupakan kesempatan bagi rakyat untuk memberikan hukuman (punishment) bagi pemimpin yang dipandang gagal dengan jalan tidak memilihnya kembali sebagai kepala daerah. Sebaliknya bagi pemimpin yang berhasil, rakyat dapat memberikan ganjaran (reward) berupa dukungan bagi pemimpin itu agar memimpin daerah lima tahun ke depan. Lewat mekanisme demokrasi ini, kepala daerah dituntut untuk meningkatkan kinerja jikalau ingin terpilih kembali. Hakim tertinggi dari semua proses ini adalah rakyat pemilih.
Peluang kepala daerah petahana ternyata sangat besar. Berdasarkan Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Edisi 02 Juni 2007, dari 230 kepala daerah petahana yang maju kembali sebagai calon kepala daerah, sebanyak 143 orang (62,17%) menang dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Sisanya, sebanyak 87 orang (37,83%) kalah dari lawan lain.
Besarnya peluang kepala daerah petahana terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah tersebut, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung.
Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Foto-foto kepala daerah biasa ditempel di kantor-kantor kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Nama kepala daerah juga tiap hari muncul di media lokal. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung, dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk untuk lebih mengenalkan diri kepada masyarakat.
Semuanya itu bisa dilakukan secara legal dan tanpa perlu mengeluarkan uang. Kunjungan dinas ke daerah-daerah bisa menggunakan uang dari pemerintah daerah. Staf, pegawai, aparat pemerintahan, dan karyawan juga bisa didayagunakan untuk membantu kemenangan kandidat. Kepala daerah petahana yang “kreatif” bisa merancang berbagai program (terutama menjelang pemilihan) yang bisa mengesankan dirinya sebagai kepala daerah yang berhasil dan peduli dengan rakyat. Misalnya dengan merancang berbagai program yang populis seperti pembagian sembako gratis, bantuan pembangunan rumah ibadah, jembatan, pasar, pengaspalan jalan, dan sebagainya.
Pendukung Fanatik
Petahana sering juga mempunyai pendukung loyalis fanatik yang cenderung ‘membabibuta’. Seperti yang dilansir Kajian Bulanan LSI (2007), kerap kali kepala daerah petahana diserang dengan berbagai isu (misalnya korupsi) tetapi ternyata tidak menghalangi kemenangan kembali sang kepala kepala daerah. Bahkan di sejumlah wilayah ada kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, ternyata tetap bisa terpilih kembali
sebagai kepala daerah.
Ada juga kandidat kepala daerah yang secara jelas melakukan kesalahan (seperti melakukan pemalsuan ijazah, pelecehan seksual, berpoligami, bahkan melakukan penodaan agama sekalipun), ternyata tetap bisa memenangkan pilkada dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Di suatu daerah ada kepala daerah yang jelas-jelas melakukan pemerkosaan tapi tetap terpilih. Di daerah lain, ada kepala daerah yang memajang foto dirinya di sampul Al-Qur’an juga tetap terpilih, walaupun diprotes mahasiswa dan para ulama. Serangan dan protes tersebut justru seperti menaikkan popularitas petahana, terbukti mereka kembali memenangkan pilkada.
Fakta ini kemungkinan menunjukkan, kepala daerah petahana sebagai satu-satunya tokoh yang cukup kuat (terutama dari segi popularitas) di daerah tersebut. Berbagai isu, kesalahan, cela, kebejatan, bahkan kejahatan (sudah divonis bersalah oleh pengadilan) sekalipun,  tidak cukup menyurutkan pemilih untuk kembali memilih kepala daerah petahana,  karena tidak ada tokoh alternatif lain yang sekuat kepala daerah petahana. Hal ini menyebabkan
banyak kepala daerah yang sebenarnya kualitasnya tidak bagus (kinerja selama memerintah buruk atau tersangkut dengan berbagai kasus) ternyata tetap bisa terpilih kembali sebagai kepala daerah.
Para pendukung fanatik ini biasanya orang-orang yang berorientasi pada pandangan primordialisme. Mereka mendukung secara membabi buta karena petahana yang bersangkutan mempunyai latar belakang agama, suku, dan asal daerah yang sama. Tak jarang faktor money politic juga sangat berperan. Kepala daerah yang ‘dermawan’ yang kerap membagi-bagikan uang tunai kepada masyarakat pasti akan lebih disukai. Rakyat biasanya tidak peduli jika uang tersebut ternyata hasil dari korupsi, dan mereka akan tetap mendukungnya sampai mati.   
            Fenomena inilah yang melahirkan istilah pejabat dengan penjahat sangatlah tipis. Coba bayangkan, ada kepala daerah yang dilantik ketika statusnya sudah menjadi tersangka. Untung saja ia tidak dilantik dalam penjara. Ada kepala daerah yang mantan narapidana dalam kasus pembunuhan dan narkoba. Inilah cacat bawaan dari demokrasi, vox populi, vox dei. Meminjam istilah Mantan Ketua MK, Jimly Asshidiqie, jangankan manusia, iblis sekalipun jika terpilih oleh rakyat maka ia harus tetap diangkat sebagai pemimpin. Apalagi konstitusi kita tidak menghalangi para penjahat dan mantan narapidana untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah.   
Petahana Wakil Kepala Daerah
             Jika kepala daerah petahana mempunyai peluang 62,17%, bagaimana peluang wakil kepala daerah petahana? Menurut data Kementerian Dalam Negeri (2011), dari 244 pilkada tahun 2010 dan 67 pada tahun 2011, sebanyak 94% terjadi ‘pecah kongsi. Wakil kepala daerah menjadi penantang mantan kepala daerah pasangannya dalam pilkada. Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika pilkada.
Terjadinya pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah, karena kebanyakan wakil kepala daerah tidak puas hanya sebagai bayang-bayang atau menjadi orang nomor dua. Pilkada adalah kesempatan untuk bertarung secara langsung dengan kepala daerah, sekaligus menaikkan ‘karier’ sebagai orang nomor satu.
Berdasarkan data Kajian Bulanan LSI (2007), dari 296 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada dari Juni 2005-Desember 2006, terdapat 63 orang wakil kepala daerah petahana yang maju sebagai kandidat kepala daerah. Dari 63 orang wakil kepala daerah (wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota) yang maju sebagai calon kepala daerah, lebih banyak ditandai dengan kegagalan. Hanya 18 orang yang menang (28,57%). Selebihnya, sebanyak 45
orang (71,43%) gagal terpilih sebagai kepala daerah yang baru. Fakta ini berbalikan dengan kepala daerah petahana yang ditandai oleh mayoritas kemenangan.
Mengapa wakil kepala daerah petahana yang maju bertarung menjadi kandidat kepala daerah lebih banyak yang gagal dibandingkan dengan yang berhasil? Perlu studi mendalam untuk menjawab pertanyaan ini secara pasti. Tetapi dari pengamatan umum, bisa dikatakan posisi wakil kepala daerah tidaklah sekuat kepala daerah. Dalam hal basis politik, popularitas ataupun dana yang dimiliki, wakil kepala daerah petahana tidak mempunyai basis sebesar yang dimiliki oleh kepala daerah petahana. Dalam hal popularitas misalnya, wakil kepala daerah umumnya hanya berposisi sebagai orang nomor dua. Dalam berbagai acara, yang kerap tampil adalah kepala daerah, karena itu popularitas wakil kepala daerah tidaklah sekuat kepala daerah.
Digugat
            Fenomena kemenangan secara mayoritas petahana dalam pilkada sebenarnya banyak digugat dan dipertanyakan. Banyak ahli yang menyatakan, adanya petahana membuat kompetisi pemilihan kepala daerah berlangsung secara tidak imbang dan tidak fair. Sayangnya, berbagai upaya untuk membuat pemilihan kepala daerah yang lebih fair, lebih berimbang, selama ini
masih masih berkutat pada hal yang kurang substansial.
Peraturan misalnya, soal larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama petahana mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah. Larangan ini memang bertujuan agar pilkada bisa berlangsung secara adil. Masing-masing kandidat mendapat perlakuan yang sama. Tetapi, peraturan ini pun sebenarnya belum adil, karena kampanye petahana pada dasarnya bersifat permanen, ia bisa melakukan kampanye sepanjang periode pemerintahannya dengan menggunakan dana dan fasilitas sebagai pejabat pemerintah.
Banyak kalangan berharap, ketika kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pilkada sejak 2005. Salah satu harapan itu adalah terjadinya rotasi kekuasaan secara demokratis, bermartabat, dan berkualitas. Orang-orang terbaik di daerah diharapkan dapat mengisi jabatan kepala daerah, dan para pemilih diharapkan menggunakan pikiran yang jernih dan logis ketika akan menentukan pilihannya.
Untuk Pilgubsu 2013, memang agak membingungkan ketika akan menempatkan calon yang ada sebagai petahana atau tidak. Ada dua bupati dan satu wakil bupati yang ikut berkompetisi yang masing-masing mempunyai pendukung di daerahnya. Agak rancu menempatkan Gatot Pujo Nugroho,  apakah sebagai wakil gubernur atau gubernur petahana, mengingat ia baru diangkat resmi sebagai gubernur definitif beberapa hari menjelang Pilgubsu 2013. Kita tunggu saja bagaimana peluangnya. ***