Asap, Harga BBM, dan Permintaan Maaf SBY



Asap, Harga BBM, dan Permintaan Maaf SBY
Oleh : Fadil Abidin

Kebakaran hutan dan lahan di Riau beberapa waktu yang lalu, mengakibatkan hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura agak memanas. Kabut asap menyelimuti udara di dua negara tersebut menyebabkan aktivitas warga terganggu, dan dituding menjadi penyebab meninggalnya seorang wanita penderita asma di Malaysia.

Alhasil, protes pun dilayangkan kepada Indonesia. Perdana Menteri Malaysia Najib Razak bahkan mengancam akan mengirim surat protes kepada Indonesia meminta tanggung jawab atas kabut tebal yang menyelubungi kawasan Malaysia. Menanggapi protes dari negara tetangga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung bereaksi cepat. Dalam keterangan persnya di Kantor Presiden (24/6) lalu, Presiden langsung meminta maaf secara khusus kepada dua negara tersebut.
Permintaan maaf Presiden SBY tidaklah membuat bangsa ini bangga karena mempunyai presiden yang terkenal santun. Permintaan maaf tersebut justru seakan tidak dihargai bahkan tidak ada artinya. Media di Singapura bahkan terus mengecam dan menyalahkan Indonesia atas 'ekspor' kabut asap tersebut. Pemerintah RI menjadi bulan-bulanan oleh media Singapura dan terus-menerus disalahkan atas kabut asap itu.
Permintaan maaf itu seakan ‘mubazir’ dan seolah-olah menegaskan bahwa bangsa kita bangsa yang mengidap ‘inferior complex’ yang akut. Bangsa inferior yang menganggap bangsa lain lebih hebat dan superior. Bangsa yang melalui para pemimpinnya yang suka menunduk-nunduk pada bangsa lain. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang dianggap remeh, kecil dan subtil  oleh bangsa-bangsa lain di dunia.  
Para pemimpin Malaysia misalnya, tidak pernah sekalipun meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas perlakukan masyarakat mereka yang sering menyiksa, memperkosa, dan membunuh para TKI. Tidak ada satu pun permintaan maaf dari pemimpin mereka karena masyarakat mereka menyebut ‘Indon’ untuk warga Indonesia. Indon dalam bahasa Malaysia (di Sabah) berarti ‘pelacur atau sundal’ yang bermakna konotasi negatif lainnya. Tidak pernah sekalipun mereka meminta maaf atau merasa malu atas klaim budaya dan produk budaya yang dicatut dari Indonesia.
Pemerintah Singapura juga tidak pernah mengabulkan permintaan pengesahan perjanjian ekstradisi dari Indonesia. Banyak koruptor kelas kakap dari Indonesia yang bersembunyi secara aman dan menanamkan investasi hasil korupsinya di Singapura. Pemerintah kita tidak berdaya menghadapi negeri tetangga yang wilayahnya cuma secuil itu.
            Pembakaran hutan dan lahan di Riau konon disebabkan oleh perusahaan-perusahaan milik warga Singapura. Sementara yang dihukum hanyalah operator lapangannya yang merupakan warga Indonesia, dan tidak menangkap dalangnya. Fakta ini semakin menegaskan bahwa kita memang telah dihinggapi inferior complex yang parah. 
Meminta Maaf
Presiden SBY dengan mudah dan spontannya meminta maaf kepada rakyat Malaysia dan Singapura. Tapi apakah Presiden SBY juga meminta maaf kepada masyarakat Riau yang menjadi korban kabut asap juga? Begitu sukarkah meminta maaf kepada bangsanya sendiri ketimbang bangsa lain?   
Sebagai bangsa yang beradab kita bisa menilai permintaan maaf itu hal yang bagus. Permintaan maaf adalah pernyataan sportif atas pengakuan kesalahan diri sendiri. Namun jika ditinjau lebih dalam, alangkah baiknya jika permintaan maaf kepada Malaysia atau Singapura itu terlebih dahulu disampaikan kepada masyarakat Riau. Presiden seharusnya meminta maaf juga kepada masyarakat Riau yang terganggu aktivitas dan kesehatannya akibat asap pembakaran hutan.
Tapi sayangnya hal itu tidak dilakukan. Pemerintah tampaknya terlalu ‘sombong’ untuk meminta maaf kepada rakyatnya sendiri. Pemerintah juga tampaknya tidak perlu meminta maaf kepada rakyatnya akibat kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) beberapa waktu lalu. Padahal pemerintah mengakui (tapi tidak meminta maaf), akibat kenaikan harga BBM akan melahirkan sekitar 5 juta rumah tangga miskin baru.
Pemerintah merasa tidak perlu meminta maaf kepada rakyatnya yang jatuh miskin akibat kenaikan harga BBM karena merasa telah menolong mereka dengan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Cukupkah menolong rumah 15 juta rumah tangga miskin di Indonesia dengan BLSM yang hanya Rp 150.000 per bulan? Tentu tidak cukup. Selaian BLSM, pemerintah juga menyalurkan raskin (beras untuk masyarakat miskin), dana PKH (Program Keluarga Harapan), dan BSM (Bantuan Siswa Miskin).   
Pertanyaannya adalah, apakah bantuan-bantuan tersebut tepat sasaran? Seperti diketahui, untuk penyaluran BLSM pemerintah tidak melakukan pendataan secara riil rumah tangga sasaran. Rumah tangga sasaran yang mendapat BLSM berdasarkan data penerima BLT tahun 2005. Hal ini terbukti, begitu kenaikan harga BBM diumumkan seketika itu pula nama-nama penerimanya langsung muncul.      
Nama-nama tersebut tentu saja diragukan validitasnya. Bayangkan data peneriman BLT tahun 2005, tentu selama 8 tahun terjadi mobilitas ekonomi secara vertikal. Rumah tangga yang dulu miskin kemungkinan 8 tahun kemudian telah menjadi keluarga mampu. Atau sebaliknya, rumah tangga yang dulu mampu kini menjadi miskin akibat kenaikan harga BBM.
Akibatnya, penyaluran BLSM patut dipertanyakan ketepatan sasarannya. Bisa kita lihat di kantor-kantor pos tempat pencairan BLSM. Tidak sedikit yang punya kendaraan (baik roda dua, tiga, maupun empat) atau mempunyai perlengkapan perhiasan emas, yang antri mencairkan uang BLSM. Padahal dalam syarat penerima BLSM (dulu BLT) antara lain rumah tangga tersebut tidak mempunyai satu barang/benda yang harganya lebih dari Rp 1 juta. Itulah salah satu kriteria rumah tangga miskin.     
Sementara 5 juta rumah tangga miskin baru akibat kenaikan harga BBM tidak mendapat bantuan, baik BLSM, PKH, dan BSM. Di banyak daerah terjadi demo dan unjuk rasa menuntut pembagian KPS (Kartu Perlindungan Sosial) dan BLSM. Sementara di daerah lain, tidak sedikit aparat pemerintahan, bupati, walikota, camat, lurah atau kepala desa yang menolak membagikan BLSM karena datanya tidak valid. Tidak sedikit aparat kelurahan atau kepala desa yang ‘diserang’ warga yang tidak mendapat BLSM.
Pencitraan
Bagi sebagian kalangan, BLSM dianggap sebagai ‘biang’ keresahan dan kecemburuan sosial. Rumah tangga yang benar-benar miskin akan resah dan merasa dizalimi karena tidak mendapat bantuan tersebut. Sementara yang telah beranjak menjadi rumah tangga mampu justru tetap mendapat aneka bantuan tersebut. Hal inilah yang melahirkan kecemburuan sosial yang baru. Kecemburuan ini pada tahap berikutnya akan menimbulkan keresahan dan kerawanan sosial. Jika hal itu tidak terjadi, minimal akan terjadi apatisme sosial.     
Apatisme sosial adalah masyarakat yang apatis, putus asa, dan tidak perduli. Mereka menganggap pemerintah (siapa pun yang berkuasa) adalah sama saja. Pemerintah dalam anggapan mereka adalah sebuah rezim  kekuasaan yang akan selalu gagal membuat rakyatnya sejahtera. Apatisme sosial seperti ini hanya akan melahirkan cibiran dan pembangkangan. Jadi apa pun kebijakan pemerintah akan terus dicibir dan dianggap sebagai tipu muslihat saja.
Masyarakat kita sebenarnya telah dihinggapi apatisme sosial ini. BLSM hanya dianggap sebagai ‘tipu muslihat’ pemerintah dan koalisinya untuk menaikkan citra menjelang Pemilu 2014. BLSM dianggap sebagai proyek politik. Diakui atau tidak, itulah yang banyak hinggap di pikiran kita. BLSM dianggap sekadar pemberian ‘permen’ kepada rakyat ketika pemerintah merampas ‘periuk’ mereka yang miskin.
Maka di dalam benak kita juga patut bertanya, jika presiden RI meminta maaf atas kabut asap asal Riau yang menyesaki udara di Malaysia dan Singapura yang menyebabkan satu orang warga di sana tewas. Apakah presiden juga akan meminta maaf kepada rakyat Indonesia, karena akibat naiknya harga BBM telah nyata melahirkan 5 juta rumah tangga miskin baru? Kita tunggu saja. ***