Mengapa
Durasi Puasa Berbeda-beda?
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat di
OPINI Harian Analisa Medan, 25 Juli 2013
Anak
saya baru berusia 8 tahun, dan ini merupakan tahun keduanya menjalani puasa di
bulan Ramadan. Sehabis mandi sore, ia mempunyai kebiasaan menonton televisi
sambil menunggu berbuka. Sekitar jam 17.55 WIB, terdengar azan yang menandakan
wilayah Jakarta dan sekitarnya sudah berbuka puasa. Tiba-tiba anak saya
bertanya, ”Ayah, mengapa Jakarta waktu berbuka puasanya duluan dari Medan,
padahal kalau imsak waktunya hampir bersamaan?”
Pertanyaan ini membuat saya berpikir
keras untuk mencari jawabannya. Sungguh, seumur hidup saya tidak pernah berpikir
tentang hal ini. Dalam pikiran saya, memang begitulah aturan rukyat atau perhitungan
para ahli hisab. Saya selama ini berpendapat bahwa durasi (lama waktu) berpuasa
orang di seluruh Indonesia adalah sama karena terletak di kawasan khatulistiwa.
Tapi pertanyaan dari anak saya tersebut mengubah pandangan saya.
Saya pun mencari informasi melalui
Google di internet. Berdasarkan jadwal imskiyah yang berlaku di kota-kota besar
di Indonesia, orang Jakarta memang paling singkat durasinya dalam berpuasa.
Wilayah Jakarta waktu imsak sekitar pukul 04.35 WIB, dan berbuka (Magrib)
sekitar pukul 17.55 WIB, jadi durasi puasanya sekitar 13 jam 20 menit.
Sedangkan wilayah Medan, waktu imsak sekitar 04.50 WIB, dan Magrib 18.43 WIB,
durasi puasanya sekitar 13 jam 53 menit. Jadi ada selish sekitar 33 menit.
Berarti, analisis anak saya itu
benar adanya. Jika selesai makan sahur, dia biasanya nonton kartun Islami di
sebuah stasiun televisi. Mungkin dia memperhatikan, ketika Jakarta sudah
memasuki waktu imsak, maka selang tak berapa lama akan disusul Kota Medan. Tapi
ketika waktu berbuka, mengapa selang waktu berbuka antara Jakarta dan Medan,
begitu lama?
Mungkin itulah pandangan anak-anak,
segala sesuatu dihitung dari sudut kesamaan, keadilan, untung-rugi,
sedikiti-banyak, lama-cepat, dan sebagainya. Sehingga kerap pula ia protes,
mengapa perlakuan ayah-ibunya berbeda antara dirinya dengan adiknya yang masih
balita.
Tapi saya kemudian tersadar, bahwa
pertanyaan tersebut memerlukan pengetahuan yang cukup mendalam dan luas untuk
menjawabnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap daerah berbeda waktu dan
durasi puasanya. Untuk ibukota provinsi, penduduk Banda Aceh menjalani puasa
paling panjang yaitu rata-rata 14 jam. Sedangkan yang tersingkat adalah Kupang,
ibukota NTT, durasi berpuasa penduduknya sekitar 13 jam 10 menit. Secara
geografis, Banda Aceh terletak paling utara dan barat, sedangkan Kupang
terletak paling selatan dari ibukota provinsi di Indonesia. Sementara Jayapura
sebagai ibukota provinsi paling timur, durasi puasa penduduknya sekitar 13 jam
32 menit. Jadi dapat disimpulkan, durasi puasa lebih ditentukan oleh letak
suatu wilayah, apakah di belahan bumi utara atau selatan.
Penanggalan Hijriyah
Dalam Islam (penanggalan Hijriyah),
pergantian hari dan bulan ditentukan oleh perputaran bulan mengelilingi bumi.
Patokan hari dan bulan diakhiri dan dimulai pada waktu selepas Magrib ketika
bulan mulai terbit. Bandingkan dengan penanggalan Masehi yang ditentukan oleh
perputaran bumi mengelilingi matahari. Hari baru berpatokan pada tengah malam
pukul 00.00.
Secara garis besar ada dua metode
untuk menentukan penanggalan baru dalam kalender Hijriyah, yaitu hisab dan rukyat. Hisab adalah
perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan
posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada penanggalan Hijriyah. Sederhananya, dalam metode hisab, posisi bulan dihitung, tidak
dilihat secara langsung. Hasil perhitungan itulah yang kemudian menjadi dasar
penentuannya, walau tanpa dilihat secara langsung posisi bulannya.
Adapun rukyat adalah aktivitas
mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
nampak pertama kali setelah terjadinya konjungsi (ijtimak). Rukyat dapat dilakukan dengan mata
telanjang atau dengan alat bantu optik, seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari
terbenam karena hilal hanya tampak setelah matahari
terbenam (Magrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan
cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Magrib) waktu
setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Sebaliknya, apabila hilal tak terlihat, maka awal bulan
ditetapkan mulai Magrib hari berikutnya.
Perbedaan metode tentu lebih banyak menyebabkan perbedaan penentuan awal
bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa
Ramadan atau Idul Fitri. Idealnya memang, kedua metode itu saling melengkapi. Hisab seharusnya menuntun rukyat dan rukyat menegaskan apa yang telah dihisab. Sehingga, akan didapatkan hasil yang sama. Namun, karena
berbagai hal, misalnya posisi geografis Indonesia yang memang tak cukup tepat
untuk melihat hilal, atau cuaca yang tak mendukung, sering kali keduanya kemudian
menampilkan hasil yang berbeda. Hal itu lumrah. Karenanya, di tengah perbedaan
itu, sebaik-baiknya sikap adalah saling menghormati dan menghargai hasil dari
kedua metode itu.
Patokan Waktu
Sementara
untuk patokan waktu salat (dan juga puasa?), umat Islam menggunakan patokan
perputaran (rotasi) bumi terhadap matahari. Hal inilah yang menyebabkan jadwal
salat dan puasa berubah-ubah setiap beberapa hari sekali.
Peradaban
Arab zaman dulu sudah mengenal astronomi lebih dulu dari bangsa manapun di
dunia, karena mereka tinggal di padang pasir yang mempermudah mereka mengamati
benda-benda langit. Umat Islam sejak dulu percaya bahwa bumi berotasi (berputar
pada porosnya) tidak secara tegak lurus. Hal ini dibuktikan bahwa setiap hari
kemiringan matahari berubah-ubah (sebenarnya kemiringan bumi). Bagi kita
yang hidup di ekuator bumi,
panjang siang dan malam bisa dikatakan hampir sama yakni rata-rata 12 jam.
Tapi, panjang siang hari yang dialami di lokasi-lokasi tertentu pada waktu
tertentu di sepanjang tahun sebenarnya berbeda. Ada kalanya suatu waktu di belahan bumi utara mengalami siang yang panjang,
sementara belahan bumi selatan mengalami siang yang pendek.
Kita tahu
bahwa planet Bumi
berputar pada porosnya dan perputaran itu menyebabkan terjadinya siang dan
malam. Tapi perlu diketahui
bahwa, planet Bumi berputar miring seperti gasing yang tidak stabil. Suatu
waktu planet Bumi berputar dengan kemiringan 23,5 derajat ke utara, lalu berputar ‘normal’ tegak
lurus, tapi kemudian berputar miring lagi 23,5 derajat ke selatan. Kemiringan
poros Bumi ini juga memberi pengaruh pada musim di bumi dan menyebabkan terjadinya
perubahan musim (panas, dingin, gugur dan semi) di belahan bumi utara dan selatan.
Ada saatnya
ketika kutub utara bumi
kemiringannya lebih dekat ke matahari
dan pada saat ini bumi belahan utara lebih banyak mendapat sinar Matahari. Siang lebih panjang karena
matahari terbit lebih lama. Tanggal 20 atau 21 Juni merupakan titik
balik musim panas. Misalkan
pada waktu tersebut bulan Ramadan, maka masyarakat Muslim di wilayah belahan bumi
utara akan mengalami durasi puasa yang sangat panjang. Misalnya di kota Provideniya, di Rusia, durasi puasa pada bulan Juni tahun
depan bisa mencapai 19 jam 57 menit. Imsak pukul 01.46 dini hari dan berbuka puasa pada pukul 21.43.
Tapi sebaliknya, pada bulan Desember, kemiringan kutub utara justru
menjauh dari matahari
dan kali ini giliran kutub selatan yang lebih dekat ke matahari sehingga area belahan selatan
mengalami musim panas dan mengalami siang yang panjang. Sedangkan di utara mengalami sebaliknya
yakni musim dingin dengan panjang siang yang pendek. Titik balik musim dingin
bagi bumi belahan utara
biasanya terjadi tanggal 21 atau 22 Desember yang sekaligus juga menjadi titik
balik musim panas bagi belahan selatan. Maka di kota Provideniya, di Rusia, jika Ramadan
jatuh di bulan Desember, maka durasi puasa masyarakat Muslim di sana sekitar 4
atau 5 jam saja.
Jadi, beruntunglah kita yang tinggal di Indonesia, karena
durasi berpuasa masyarakat Muslim Indonesia tetap stabil kira-kira 13-14 jam. Jika dibandingkan dengan negara lainnya yang
terkadang sangat lama atau sangat singkat. Tapi karena kebanyakan wilayah
daratan negara terletak di bagian utara, saat ini di utara merupakan musim
panas sehingga durasi puasa mereka lebih lama kira-kira 15-17 jam. Tapi
sebaliknya, jika Ramadan terjadi di musim dingin, maka masyarakat Muslim di
sana menjalani puasa dengan durasi yang lebih singkat.
Ramadan akan
‘mengunjungi’ setiap bulan yang ada di kalender Masehi, karena penanggalan
Hijriyah lebih cepat 11 hari dari penanggalan Masehi. Jadi Ramadan atau Idul
Fitri bisa terjadi di musim panas, dingin, gugur, dan semi di seluruh penjuru dunia.
Jadi, di mana pun kita berada dan seberapa lama durasi puasa yang kita jalani, tergantung dari
niatnya. Jika kita bulatkan tekad dan niat untuk menjalankan ibadah puasa
dengan bersungguh-sungguh, Insya Allah puasa kita akan lancar dan diridhoi oleh Allah SWT. Bukankah terdapat kebahagian bagi umat muslim yang menjalani berpuasa
pada saat berbuka? Bukankah lebih lama durasinya
maka lebih besar juga nikmat dan kebahagiaannya pada saat berbuka? Maka jangan berhitung-hitung di
hadapan Allah, karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Menghitung. ***