Di bawah
Bayang-bayang Golput
Oleh :
Fadil Abidin
Sampai
tulisan ini dibuat tanggal 3 April, penulis belum menerima undangan memilih
(formulir C6) untuk Pemilu Legislatif 9 April 2014. Penulis tidak tahu
mencoblos di TPS (Tempat Pemungutan Suara) mana. Mungkin ada jutaan penduduk
Indonesia yang saat ini masih belum tahu mencoblos di mana. Penulis baru tahu
mencoblos di TPS 52 setelah mengunjungi website KPU. Dan yang mengejutkan di
Daftar Pemilih Tetap (DPT) TPS tersebut berisi nama-nama dengan alamat yang
berjauhan.
Salah
satu penyumbang terbesar golput alias golongan putih atau orang yang tidak
menggunakan hak pilihnya adalah masalah teknis. Masalah teknis ditimbulkan oleh
sistem administrasi pemilu, DPT, undangan memilih (C6), dan jarak TPS. Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dari hasil pengamatan penulis di beberapa kelurahan di
Kota Medan hingga tanggal 1 April belum membentuk KPPS (Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara) di TPS, DPT dan formulir C6 juga belum didistribusikan.
Keterlambatan
membentuk KPPS akan berakibat fatal karena berimplikasi pada pembagian formulir
C6 yang tidak akan maksimal. Berdasarkan pengamatan penulis dari pemilu dan
pilkada, biasanya hanya sekitar 60% formulir C6 yang bisa terbagi. Hal ini karena
petugas KPPS tidak mengetahui siapa pemilih, di mana domisilinya, orang yang
meninggal dan pindah domisili lebih setahun lalu pun masih tercantum di DPT.
Kemudian, alamat yang tertera dalam satu DPT TPS kadang terserak-serak dengan
jangkauan sampai 5 km. Pembagian TPS tidak memperhatikan jarak dan letak
domisili pemilih yang berdekatan. Pemilih akhirnya malas mencoblos jika letak
TPS jauh dari domisilinya.
Selain
faktor teknis karena tidak mendapat undangan pemilih, tidak tahu mencoblos di
TPS mana, dan jarak TPS yang jauh. Ada juga faktor internal untuk golput.
Faktor ini banyak penyebabnya, karena sakit, sedang bepergian, kerja, dan
malas. Selama ini tidak ada TPS khusus di rumah sakit, bandara, pelabuhan, terminal,
atau stasiun. Jika ingin pindah memilih, aturan mengharuskan membawa surat
pindah memilih dari PPS dan membawa formulir C6. Bagi yang mempunyai mobilitas
tinggi tentu tak bisa memenuhi hal tersebut.
Faktor
bekerja juga menjadi penyumbang golput. Hari pemilu memang diliburkan bagi PNS,
buruh, dan karyawan swasta karena mereka akan tetap digaji. Tapi tidak libur
bagi wiraswastawan, pedagang, PKL, pemilik toko, kios, kedai, rumah makan,
supir umum, penarik becak, petani, dan sebagainya. Bagi mereka, jika tidak
bekerja satu hari akan mengancam penghasilan.
Mungkin
faktor golput yang paling sepele adalah malas. Alasannya memang karena malas
saja. Tapi persentase faktor malas ini cukup besar. Malas ke TPS, mereka justru
merencanakan liburan keluar kota (bahkan keluar negeri), ada yang merencanakan
menjalankan hobinya (memancing, misalnya). Hal itulah menjadi sebab mengapa KPU
melaksanakan pemilu pada tengah minggu hari Rabu. Jika pemilu dilaksanakan di
hari Jumat, Sabtu, atau Senin, maka niscaya golput karena faktor malas ini akan
meningkat.
Ada
juga orang yang dengan
sadar atau dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya karena menilai partai politik peserta pemilu dan caleg yang ada tidak ada
yang bisa dipercaya. Mereka menilai
pemilu tidak ada gunanya, dan menganggap pemilu tidak linier dengan
kesejahteraan yang mereka harapkan. Skandal korupsi, skandal moral,
kemalasan para anggota dewan, dan perilaku negatif lainnya membuat kepercayaan
publik terhadap parpol dan caleg semakin menurun. Jadi buat apa memilih?
Istilah Golput
Istilah golput
di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak pemilu di masa Orde
Baru, dan pertama kali
muncul menjelang Pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan oleh Arief
Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi
pemerintah dan ABRI (sekarang TNI), aparat, birokrat, PNS, pegawai BUMN, dan BUMD
yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada salah satu
peserta pemilu.
Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi
golput dengan cara tetap mendatangi TPS. Ketika melakukan coblosan, bagian yang
dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang
berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih.
Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara
tersebut dianggap tidak sah.
Di negera manapun yang menjalankan sistem demokrasi, bahkan di
negara yang sudah maju demokrasinya, golput adalah fenomena dalam demokrasi.
Golput sering disebut juga No Voting Decision, dan selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun
terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting).
Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau ‘No Voting Decision’ apabila
berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada
kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara.
Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo,foto, atau nama,
maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara
dinyatakan tidak sah. Dari pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil
sikap golput atau ‘No Voting Decision’ tetap hadir dan melakukan proses
pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Tapi dalam
perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih (golput) ternyata semakin rumit dengan
berbagai alasan. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara
tidak datang TPS (No Vote)
pada waktu yang telah ditentukan. Tentu saja kertas suara
yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah. Mereka (calon pemilih) akan
menolak untuk dicatatkan atau didaftarkan namanya sebagai calon pemilih.
Caranya bisa dengan menolak untuk dilakukan pendataan ulang atau tidak mengisi
formulir calon pemilih, bersikap apatis, tidak mau tahu, dan
mempunyai persepsi negatif tentang pemilu.
Pada prinsipnya, bukan hanya Indonesia saja yang memiliki
masalah dengan golput. Negara-negara
yang sudah lebih dulu maju demokrasinya yang disertai dengan pendewasaan
politik yang tinggi pun sering bermasalah dengan sikap golput. Kita bisa
melihat negara seperti Amerika Serikat yang sudah sangat maju itu saja
bersusah payah menggalang koalisi partai-partai politik (25 parpol) untuk
meminimalisasikan resiko menculnya golput. Jika di Indonesia persentase ancaman golput
mencapai 45% baru mulai dijadikan masalah nasional, maka parpol-parpol di
Amerika sudah mulai panik jika angka golput mencapai di atas 10%, termasuk juga
parpol besar seperti Demokrat dan Republik.
Ancaman Golput
Golput jelas menjadi ancaman
apapun alasannya. Angka golput terus meningkat. Ada
banyak faktor mengapa angka golput ini terus naik. Sebut saja misalnya banyak
janji politik yang tidak direalisasikan. Tidak adanya sosok
pemimpin dari kandidat parpol yang bisa mewakili aspirasi rakyat. Kurangnya sosialisasi ke pelosok-pelosok dari partai politik
yang ikut berpartisipasi dalam pemilu. Parpol, biasanya lebih dominan untuk
mencapai kuota dalam mendapatkan kursi di parlemen. Perlu ada kerjasam
semua pihak untuk menekan angka golput. Hal ini bukan semata tugas KPU,
melainkan juga tugas semua elemen masyarakat, pemerintah, parpol, pers, LSM, ormas, perguruan tinggi, dan sebagaianya.
Hal mendasar yang ingin disampaikan adalah,
golput yang terjadi di Indonesia saat ini bukan atas dasar pilihan politik
rasional warga sebagai akibat dari berbagai fenomena penyimpangan yang
dilakukan oleh pejabat negara. Tetapi golput adalah sebagai akibat dari tidak berkerjanya
prinsip-prinsip demokrasi sedari awal pada seluruh lini kehidupan berbangsa dan
bernegara. Masyarakat juga tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam
era demokrasi. Oleh karena itu, golput bukanlah tindakan politik yang dilakukan
secara sadar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik oleh warga ngara.
Belum lagi jika kita melihat model partisipasi politik rakyat
Indonesia. Sebagaimana yang disebut Huntington dan Nelson (1999:11), model
partisipasi politik kita masih harus dimobilisasi oleh berbagai kelompok
kepentingan politik. Rakyat tidak secara sukarela datang ke TPS berdasarkan
pilihan-pilihan politik yang telah disusun dalam pikiran, ideologi dan
prinsip-prinsip demokrasi.
Fenomena golput menurut penulis bukanlah menunjukan berlakunya hukum reward and punishment. Memang
faktor-faktor sosiologis-psikologi tidak dapat diabaikan sebagai faktor
meningkatnya golput. Golput merupakan bentuk apatisme, keputusasaan, dan ketidakpedulian publik terhadap tingkah pola
para elit dan pejabat yang cenderung menyimpang. Rakyat tidak bisa berbuat
apa-apa, dan akhirnya menjadi tidak peduli.
Golput di Indonesia secara signifikan terjadi sejak pemilu
pertama pasca reformasi. Pemilu 1999, partisipasi pemilih sekitar 93%, kemudian
menurun pada pemilu 2004 menjadi 85%, penurunan drastis terjadi pada pemilu
2009 menjadi 71%. Sedangkan pada pilpres 2004 putaran pertama partisipasinya
sebesar 80%, lalu menurun menjadi 77% pada putaran kedua. Angka ini menurun
lagi pada pilpres 2009 menjadi 72,5%. Pemilu 2014 diprediksi tingkat partisipasi akan lebih rendah lagi.
Indikator golput sebenarnya
sudah terbaca dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Rakyat sebenarnya sudah
bosan dengan para elit politik. Bukankah lebih separuh dari kepala daerah
kemudian menjadi tersangka korupsi?
Golput tampaknya bukan hanya menjadi fenomena, tapi
sudah menjadi semacam ideologi ketidakpedulian. Golput adalah hak, dan UU tidak
bisa menindak mereka yang golput. Namun tetap saja kalau seseorang
mengajak, mempengaruhi
atau memaksa orang lain agar golput
tergolong pelanggaran. Tapi memaksa
orang lain untuk
memilih partai atau kandidat tertentu juga suatu pelanggaran. Jadi
jangan paksa orang lain untuk memilih atau untuk tidak memilih.***