Di bawah Bayang-bayang Bulan Juni
Oleh : Fadil Abidin
“Tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/ dirahasiakannya rintik
rindunya/
kepada pohon berbunga itu/ tak ada yang lebih bijak/ dari hujan bulan Juni/ dihapusnya jejak-jejak kakinya/ yang ragu-ragu di jalan itu/ tak ada yang lebih arif/ dari hujan bulan Juni/ dibiarkannya yang tak terucapkan/ diserap akar pohon bunga itu” (Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono).
kepada pohon berbunga itu/ tak ada yang lebih bijak/ dari hujan bulan Juni/ dihapusnya jejak-jejak kakinya/ yang ragu-ragu di jalan itu/ tak ada yang lebih arif/ dari hujan bulan Juni/ dibiarkannya yang tak terucapkan/ diserap akar pohon bunga itu” (Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono).
Penulis
bukan hendak membahas soal kritik sastra, tapi mengulas sketsa masa lalu dan
masalah kekinian yang tengah dihadapi bangsa ini. Tapi bagaimana pun, penulis
jika memasuki bulan Juni selalu teringat dengan puisi “Hujan Bulan Juni” karya
Sapardi Djoko Damono. Sama halnya jika memasuki bulan Nopember, penulis akan
selalu terngiang lagu “November Rain” dari grup musik rock Guns ‘N Roses.
Mengapa Sapardi
Djoko Damnono menganggap hujan di bulan Juni sangat istimewa? Bulan Juni secara klimatologis adalah musim
kemarau, sehingga jika ada turun hujan maka hujan itu sangat spesial untuk
dinikmati dan maknai. Sapardi memang kerap menghadirkan perilaku alam untuk
mengungkapkan sisi romantisme hidup.
Sekarang
mengenai bulan Juni. Juni adalah bulan keenam atau pertengahan tahun dalam Kalender
Gregorius. Kata ini diambil dari Bahasa Belanda yang berasal dari bahasa Latin dewi Juno,
istri dari dewa
Jupiter. Dalam mitologi Romawi, Yuno (bahasa Latin: Iuno; dibaca Juno adalah dewi pelindung
dan penasihat negara).
Yuno adalah anak dari Saturnus.
Yuno adalah ibu dari
dewa Ares atau Mars. Itulah
sketsa masa lalu tentang sejarah bulan Juni.
Tapi dalam
masalah kekinian yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, bulan Juni tahun ini
adalah fase terpenting untuk menentukan perjalanan bangsa lima tahun ke depan.
Bulan ini adalah masa kampanye Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang akan
dilaksanakan pada 9 Juli 2014. Jadi bulan Juni tahun ini adalah bulan pancaroba
politik di Indonesia.
Kelahiran Dua Presiden
Bulan Juni
tanggal satu dalam sejarah juga diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Pancasila
sebagai ideologi bangsa yang berhasil menyatukan keragaman suku, agama, bahasa,
dan adat istiadat dari Sabang sampai Merauke.
Juni
merupakan bulan kelahiran dari dua Presiden dan satu Wakil Presiden Republik
Indonesia. Tanggal 6 Juni 1901 merupakan
hari kelahiran Soekarno, Presiden RI yang pertama. Sedang tanggal 8 Juni 1921 adalah hari kelahiran
Soeharto, Presiden RI yang kedua. Keluarga besar kedua pemimpin bangsa itu menandai
peringatan hari lahir keduanya
dengan mengenang pengabdian dan jasa-jasanya kepada bangsa dan negara.
Ada siklus
20 tahun yang berjarak antara kedua Presiden RI tersebut. Sehingga dulu
di masa Orde Baru ada ‘ramalan’ yang menyatakan kalau Presiden RI ke-3 adalah tokoh yang lahir pada bulan Juni tahun 1941. Ramalan tersebut nyaris terwujud
karena BJ Habibie lahir pada tanggal 25 Juni. Tapi tahunnya tidak 1941, tapi 1936. Nyaris saja!
Presiden
berikutnya, Gus Dur alias Abdurrahman Wahid meleset satu tahun, yaitu
tahun 1940, sementara bulannya malah jadi September, tepatnya tanggal 7
September. Megawati Soekarnoputri lahir 23 Januari 1947. Sementara Susilo Bambang Yudhoyon atau SBY
“diberkahi” angka mistis
keberuntungan 9-9-9. Presiden SBY lahir pada 9 September 1949. Artinya,
tidak ada satu pun yang lahir tahun 1941. Meski memang, generasi yang muncul
adalah generasi 20-an tahun setelahnya.
Jika
menyangkut kepemimpinan nasional, (maaf!) bukan bermaksud menyinggung isu SARA.
Orang Jawa akan sangat fanatik mendukung orang Jawa. Bahkan mereka telah
menetapkan semacam standar yang mengaju pada mitos notonegoro. Yang berhak
“noto” atau menata, “negoro” atau negara, adalah nama-nama Jawa yang mempunyai
unsur-unsur nama yang suku katanya berakhiran no-to-ne-go-ro.
Toh, mitos
tersebut akhirnya terbantahkan dengan terpilihnya BJ Habibie, orang Makassar, sebagai
Presiden RI yang ke-3 walaupun cuma menjabat selama 518 hari. BJ.
Habibie memegang jabatan Presiden RI
dalam kurun 21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999. Di bawah kepemimpinannya
Indonesia sukses menyelenggarakan Pemilu yang paling demokratis. Tapi di sisi lain,
Timor Timur lepas dari NKRI.
Dunia Mitos
Entah mengapa, meski mengaku rasional, bangsa kita sangat
senang pada dunia mistis atau gaib. Banyak
paranormal terutama dari Jawa meyakini kalau pulau Jawa adalah “paku dunia”.
Tak heran raja-raja Jawa bergelar hebat seperti “Pakubumi”, “Mangkubumi”, atau “Hamengkubuwono”. Pulau
Jawa diyakini adalah sentral planet ini.
Apabila mencari pembenaran, buku karya Prof. Arysio Satos
dari Brazil berjudul The Lost Continent Finally Found,The Definitive
Localization of Plato’s Lost Civilization (2005) mungkin bisa
membuat kita berbuncah.
Menurutnya, letak Atlantis,
benua yang hilang yang diyakini berperadaban
sangat maju dan disebut Plato sebagai “induk segala peradaban” adalah di Selat Sunda yang memisahkan
pulau Jawa dan Sumatera.
Itu berarti bangsa kita lebih tua daripada Yunani yang merupakan tanah
kelahiran filsafat, induk segala ilmu pengetahuan.
Penemuan
fosil manusia purba di Jawa, seakan membuktikan bahwa manusia Jawa adalah
“saudara tua” di Indonesia. Ada enam jenis manusia purba di Indonesia yang semua fosilnya ditemukan di
Pulau Jawa, yaitu: Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus Erectus, Pithecanthropus
Robustus, Pithecanthropus Mojokensis, Homo Soloensis, dan Homo Wajakensis.
Walaupun
secara genealogis, nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa tertua di Asia,
yang seharusnya lebih maju dari peradaban bangsa lain. Tapi dalam kenyataannya
banyak di antara kita masih
percaya pada hal-hal mistis atau gaib lebih daripada bangsa-bangsa lain. Meski ini zaman teknologi tinggi,
profesi yang berhubungan dengan dunia itu tak mati. Bahkan bersalin rupa
menjadi lebih modern. Perkataan mereka seringkali didengarkan bak sabda nabi saja. Maka profesi dukun, ‘orang pintar’,
paranormal, dan penasehat spiritual mempunyai tempat strategis di sini.
Menjelang pemilu atau pilkada, para elit politik, baik secara langsung atau
tidak langsung banyak yang meminta petunjuk mereka.
Dalam hal pemimpin bangsa demikian pula. Kerapkali
kejadian-kejadian di pentas nasional dihubungkan dengan dunia mistis. Misalnya
Soeharto disebut kehilangan “Wahyu Makuto Romo” atau “Wahyu Keprabon” saat Siti
Hartinah atau Ibu Tien wafat pada 28 April 1996. Sehingga saat Soeharto lengser
keprabon 2 tahun kemudian, dianggap menggenapi ramalan mistis itu. Bahkan
hitung-hitungan tanggal lahir saja dibuat sedemikian rupa.
Satu yang jelas, saat ramalan salah, si peramal biasanya diam
seribu bahasa. Sementara saat ada yang seolah-olah benar maka
ia akan mencocok-cocokan ramalan seperti interpretasinya sehingga terlihat
benar. Padahal relasinya
sebenarnya tak jelas, bahkan
cenderung ngawur. Padahal, derajat antara yang salah dengan yang benar
mungkin 1.000 : 1 atau malah lebih. Maka, seringkali ramalan mistis dibuat
bersayap kata-katanya, agar orang bingung maknanya.
Bulan Juni
Pada bulan Juni, kita memperingati hari lahir kedua
pemimpin bangsa dan negara dengan maksud 'mikul dhuwur mendhem jero'. Suatu
istilah dan falsafah masyarakat Jawa yang mengingatkan, menjadi kewajiban generasi selanjutnya untuk 'mikul dhuwur' atau mengangkat tinggi-tinggi segala jasa-jasa dan
pengabdian mereka kepada masyarakat, bangsa dan negara. Kemudian meneladaninya, seraya
menjadikannya inspirasi bagi perjalanan ke depan dengan 'mendhem jero' atau mengubur dalam-dalam sisi-sisi kehilafan dan kekurangannya sebagai manusia biasa.
Sebagai bangsa yang besar kita memang harus mengakui jasa dan
pengabdian Soekarno dan Soeharto yang spektakuler. Keduanya dilahirkan untuk
memimpin dan menghadapi tantangan bangsa dan negara di zaman yang berbeda.
Dengan kharisma dan kehebatannya sebagai orator ulung, Soekarno dan kawan-kawan
seperjuangan berhasil membuka pintu gerbang kemerdekaan berikut meletakkan
dasar-dasar kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Sementara Soeharto, sebagai
organisator yang piawai disertai kepemimpinannya yang efektif mampu meletakkan
kerangka pembangunan menuju Indonesia yang modern.
Dengan menyadari peran dan kepemimpinan dalam panggung
perjalanan sejarah bangsa dan negara pada era dan tantangan yang berbeda itulah
rasanya kita tidak perlu menghadap-hadapkan keduanya. Apalagi
membanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan masing-masing baik sebagai
pribadi maupun sisi kepemimpinan dan kenegarawanannya.
Kedua pemimpin bangsa tersebut
memang lahir pada bulan Juni. Dan kebetulan calon pemimpin yang akan bertarung
dalam Pilpres nanti lahir di bulan Juni. Akankah perjalanan bangsa ini ke depan
masih di bawah bayang-bayang pemimpin yang lahir di bulan Juni? Biarlah waktu
yang menjawabnya. ***