Kontradiksi
di Mahkamah Konstitusi
Oleh :
Fadil Abidin
Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan banding
atas putusan pembatalan Keputusan Presiden Nomor 78/P Tahun 2013 tentang
Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Fadira sebagai hakim konstitusi dianggap kontradiktif. Sikap
Presiden itu dinilai bertentangan dengan semangat penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi yang juga
dikeluarkannya.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta
membatalkan Keppres tersebut melalui
nomor perkara 139/G/2013/PTUN-JKT, di mana pengangkatan yang dilakukan
terhadap Patrialis dilakukan tanpa melalui fit and proper test. Gugatan diajukan Koalisi
Penyelamat MK itu terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia Legal Roundtable (ILR), Lembaga
Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Public Interest Lawyer Networks (PILNET) dan
Indonesia Corruption Watch (ICW).
Koalisi Penyelamat
MK menilai pemilihan secara aklamasi Patrialis tersebut, menjadi Hakim
MK tidak sesuai dengan prosedural UU yang berlaku. Sehingga dinilai tidak
menampung aspirasi dari masyarakat dan tidak terbuka. Pasal 19 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan, pencalonan hakim
konstitusi harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan harus
dipublikasikan kepada masyarakat. Keppres itu dinilai melanggar UU MK Pasal 15,
Pasal 19, dan Pasal 20.
Seharusnya
Presiden tidak perlu mengajukan banding, bahkan harus mendukung putusan PTUN tersebut. Putusan PTUN justru
sejalan dengan Perppu yang dikeluarkan presiden. Setidaknya ada dua substansi utama dalam Perppu. Pertama, untuk
mendapatkan hakim konstitusi yang baik, ada perubahan dalam persyaratannya
sesuai Pasal 15 ayat 2 huruf i. Syaratnya, seseorang tidak menjadi anggota
partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan
sebagai calon hakim konstitusi.
Kedua, Perpu memuat penyempurnaan mekanisme proses seleksi
dan pengajuan hakim konstitusi. Sehingga memperkuat prinsip transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas sesuai harapan dan opini publik. Untuk itu, sebelum ditetapkan oleh
Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung, DPR, dan
Presiden didahului oleh proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan
panel ahli.
Berdasarkan
putusan PTUN dan substansi dari Perppu tersebut, maka dapat dipastikan
pengangkatan Patrialis Akbar dinilai tidak memenuhi syarat dan dianggap cacat
hukum. Jadi, sangat kontradiktif jika Presiden SBY ingin mengajukan banding
atas putusan PTUN. Perppu dan Putusan PTUN DKI Jakarta tersebut sangat sejalan
dengan semangat mereformasi MK dalam hal rekrutmen hakim konstitusi yang lebih
baik.
Mahkamah Politik
Beberapa hakim konstitusi saat ini
berasal dari partai politik, sementara MK adalah lembaga negara yang mengadili
dan memutus perkara di tingkat akhir sengketa politik, baik pemilukada, pemilu
legislatif, dan pemilu presiden. Kondisi ini sangat rawan memunculkan konflik
kepentingan antara hakim konstitusi dan perkara yang akan ditanganinya.
Kasus
suap yang melibatkan Ketua MK sebelumnya adalah berkah tersembunyi untuk
membenahi MK. Selama ini MK dianggap lembaga suci yang bersih dari praktik
tercela, walaupun banyak pihak yang menuding MK sebenarnya tidaklah sesuci itu.
Sinyalemen praktik suap-menyuap dalam perkara di MK sudah lama terdengar, tapi
pers, media massa, LSM, dan masyarakat seakan tidak menerima kebenaran itu.
Orang yang meneriakkan kecurangan itu dulu, seperti Refly Harun, justru
tersingkir dan dikucilkan.
MK selama ini
‘dibisik-bisik’ sebagai mahkamah politik karena diisi oleh para mantan
politisi. Sengaja atau tidak, ada semacam gerakan memasukkan para mantan
politisi parpol ke lembaga-lembaga penegak hukum semisal MA, KY, hingga MK.
Perppu No.78/P
Tahun 2013 yang dikeluarkan
presiden adalah salah satu langkah untuk mengembailkan martabat dan kepercayaan
publik terhadap MK.
Syarat seseorang
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh
tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi merupakan sterilisasi pengaruh parpol terhadap
calon hakim konstitusi. Hal ini seharusnya dilakukan hal yang sama terhadap
lembaga negara atau komisi negara lain seperti MA, KY, KPU, Bawaslu, dan
sebagainya. Bahkan jika mantan anggota parpol yang mengikuti seleksi
lembaga-lembaga tersebut dianggap sebagai mempunyai handicap (nilai kurang) terhadap penilaian integritas.
Tidak Banding
Banyak pihak
berharap Presiden SBY tidak
mengambil langkah banding
terhadap putusan PTUN tersebut. Jika tetap bersikukuh banding, publik
akan mempertanyakan motif di balik upaya banding. Publik akan mencurigai ada
kepentingan tertentu dari langkah mempertahankan Patrialis sebagai hakim konstitusi. Tuduhannya jelas, ada anggapan telah
terjadi konsesi-konsesi tertentu
antara Presiden dan Patrialis (dan mantan parpolnya) yang pasti akan merugikan kepentingan
publik dan pemilu ke depan.
Jika bersikukuh banding, maka Presiden akan dinilai inkonsistensi
terhadap sikapnya yang menyatakan
ingin menyelamatkan MK dengan memperbaiki mekanisme rekrutmen hakim konstitusi dengan mengeluarkan Perppu. Untuk
itu, Presiden harus menggunakan
Perppu yang sudah
disahkan dalam mengusulkan calon-calon
hakim MK. Jika tidak, maka
pengangkatan hakim konstitusi akan terus
digugat dan kemungkinan akan dibatalkan hingga berkekuatan hukum tetap.
Pembahasan Perppu
yang alot dan melelahkan di
DPR sehingga disahkan menjadi Undang-Undang seharusnya dipakai untuk rekrutmen hakim konstitusi. Sekarang
saatnya mengimplementasikannya untuk para calon hakim MK
yang baru. Substansi Perppu
yang kini menjadi UU merupakan langkah tepat untuk menegakkan kembali marwah
dan kepercayaan publik. Perppu itu mengatur sejumlah syarat menjadi
hakim konstitusi. Salah satunya, tidak menjadi anggota parpol dalam jangka
waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim
konstitusi.
Selain itu, calon hakim konstitusi juga harus melalui uji
kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk KY (Komisi Yudisial). Isi Panel Ahli, yakni usulan dari MA,
DPR dan Presiden masing-masing satu orang. Selain itu, empat orang
berlatarbelakang mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang
hukum dan praktisi yang dipilih oleh KY.
Gugatan
penunjukan Patrialis Akbar sebagai
hakim MK timbul karena
proses seleksi yang tak transparan oleh Presiden SBY. Akibatnya, wajar jika
publik meragukan ada kepentingan tertentu di balik pengangkatan tersebut. Undang-undang tentang MK
mengamanatkan penunjukan hakim konstitusi dilakukan oleh DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).
Proses seleksinya juga harus transparan dan dapat diketahui publik.
Rencana Presiden yang akan mengajukan banding kepada PTUN atas gugatan Keputusan Presiden (Keppres) yang dikalahkan Koalisi Penyelamat MK menjadi ujian sikap dan
kenegarawanan SBY sebagai Presiden. Presiden seharusnya bisa menjadi orang yang konsisten terhadap
Perppu MK, jika menyikapi dengan objektif semua putusan PTUN terkait pembatalan
pengangkatan Patrialis Akbar
sebagai hakim MK.
Menyikapi polemik Keppres, masyarakat menjadi bingung akan
sikap presiden. Pasalnya, adanya Perppu adalah untuk menyelamatkan kewibawaan
MK. Sedangkan, wibawa MK kembali
menjadi hilang saat Presiden menggunakan haknya lewat Keppres, saat
mengangkat Patrialis Akbar sebagai hakim MK.
Maka, agar
tidak terjadi kontradiksi di Mahkamah Konstitusi, Presiden sebaiknya tidak mengajukan banding atas Putusan PTUN Jakarta yang
membatalkan Kepres pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim Konstitusi.
Putusan PTUN tersebut sudah sesuai dengan perubahan politik hukum
Presiden yang ingin
mengembalikan kewibawaan MK, seperti yang dituangkan dalam Perppu MK
yang kini telah disahkan menjadi undang-undang.***