Captain Phillips dan STIP



Captain Phillips dan STIP
Oleh : Fadil Abidin

            Kita tidak mungkin mengharapkan kehadiran Captain America untuk hadir di dunia nyata untuk menyelamatkan umat manusia. Tapi di dunia ini ada sosok nyata bernama Captaian Richard Phillips, seorang kapten kapal dan nahkoda yang berani mengambil risiko mengorbankan dirinya demi keselamatan anak buah kapal (ABK) yang dikomandoinya melawan bajak laut Somalia yang ganas.

Sebagian besar orang, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama, menilai Captain Phillips sebagai pahlawan karena tidak ada korban jiwa dari pihak ABK akibat pembajakan tersebut. Hal ini merupakan bukti bahwa ia adalah seorang kapten sejati dengan keberaniannya mempertaruhkan diri sebagai sandera.
Captaian Phillips kemudian menuliskan kisahnya dalam buku "A Captain's Duty: Somali Pirates, Navy SEALS, and Dangerous Days at Sea". Buku ini kemudian dijadikan film berjudul “Captain Phillips” yang dibintangi aktor watak Tom Hanks, dan masuk berbagai nominasi Piala Oscar beberapa waktu lalu.
Seharusnya, watak Captaian Phillips inilah yang diteladani oleh para pelaut, kapten kapal, nahkoda atau calon pelaut. Jadi, apa yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta, bertolak belakang dengan watak seorang pelaut yang seharusnya berani mengorbankan dirinya demi keselamatan para ABK, penumpang, dan kapal yang menjadi tanggung jawabnya.
Sungguh memilukan akibat arogansi beberapa gelintir taruna senior STIP, Dimas Dikita Handoko (19), meninggal dunia dengan luka memar di tubuhnya yang diduga akibat dianiaya oleh para seniornya (25/4/2014), sementara enam taruna junior lainnya menderita luka-luka. Ironisnya, para pelaku dan korban adalah sama-sama dari daerah Sumatera Utara, sehingga para pelaku disebut sebagai “Geng Medan”.
 Para pelaku yang merupakan calon pelaut justru tidak menunjukkan sikap siap berkorban demi orang lain, tapi malah mengorbankan orang lain. Jika watak para taruna pelaut seperti ini, alangkah berbahayanya negeri ini. Mereka akan mengorbankan kapal, ABK, dan para penumpang demi keselamatan diri sendiri.
Semi Militer   
Kita terkadang bertanya, mengapa pendidikan kedinasan selalu bercorak semi militer. Seragam yang dipakai, cara komunikasi, cara berjalan, kurikulum, relasi hubungan senior-junior, inagurasi atau perploncoan, dan sebagainya.
Sebagai contoh, tidak ada korelasi pendidikan dinas yang mendidik menjadi pamong yang seharusnya melayani rakyat, justru dididik dengan cara militer. Pendidikan seperti inilah yang hanya melahirkan sistem komando “asal atasan senang” dan loayalitas buta. Hanya sedikit pembelajaran mengenai menghargai orang lain, demokrasi, menerima perbedaan pendapat, belajar komunikasi yang santun, melayani rakyat, kreativitas, kejujuran, anti korupsi dan sebagainya. Bagaimana mau berdemokrasi dan menghormati orang lain, jika yang junior tidak hormat pada yang senior saja maka akan digebuki. Padahal mereka dididik untuk menjadi pelayan rakyat.
Demikian juga dengan pendidikan di STIP yang mendidik taruna calon pelaut. Mental dan fisik memang perlu digembleng agar kuat menghadapi gelombang laut, topan dan badai, tapi bukan dengan kekerasan apalagi pukulan. Secara institusi, kampus STIP di Marunda, Jakarta memang menerapkan aturan yang ketat menyangkut kedisiplinan para taruna.
Kekerasan yang menimpa para taruna junior merupakan ekses dari budaya semi militer ala akademi Angkatan Laut yang diterapkan oleh kampus STIP. Untuk itu pihak kampus perlu menanamkan mental bahwa para taruna bukan militer, tapi operator transportasi laut. Mereka dididik untuk melayani keselamatan muatan kapal, ABK, dan para penumpang. Seorang kapten kapal harus berani mengorbankan dirinya, jika terpaksa harus ikut tenggelam bersama kapalnya agar ABK dan para penumpang selamat.      
Semakin berkembangnya teknologi kapal dan pelayaran, justru yang diutamakan adalah penguasaan teknologi kelautan, navigasi, dan cermat dalam membaca ancaman yang akan dihadapi selama dalam pelayaran. Seorang Captain Phillips begitu tahu kalau ditugaskan mengomandoi sebuah kapal kargo asal Amerika Serikat, Maersk Alabama, menuju Mombasa Kenya melewati jalur perairan Somalia segera pasang strategi.
Captain Phillips
Sebagai nahkoda berpengalaman, ia melakukan berbagai persiapan menghadapi kemungkinan terburuk karena mengetahui bahwa kapalnya akan melewati daerah rawan pembajakan. Captain Phillips membawa kapalnya berlayar ke tengah lautan menjauhi pantai Somalia. Ia mempersiapkan ABK untuk menghadapi pembajakan, simulasi, dan memeriksa peralatan anti pembajakan berupa semprotan air.
Bajak laut Somalia memang terkenal nekat dan ganas, walaupun kapal Captain Phillips berlayar di tengah samudera tetap dikejar. Captain Phillips dengan cerdiknya menyamakan frekuensi radio para pembajak, dan mengabarkan bahwa seolah-olah Angkatan Laut Amerika sedang mendekat di lokasi tersebut. Taktik ini berhasil, salah satu kapal bajak laut putar haluan ketakutan. Tapi satu kapal pembajak tetap nekat mendekati kapal kargo walaupun sudah dihalau dengan semprotan air yang kuat.
Captain Phillips tahu kalau kapalnya akan segera jatuh ke tangan pembajak. Ia pun memerintahkan para ABK untuk bersembunyi. Sebelum mesin kapal dan listrik dimatikan, Captain Phillips telah mengirim kabar ke pangkalan angkatan laut terdekat bahwa kapalnya telah dibajak lengkap dengan koordinatnya. Captain Phillips dan seorang juru kemudi menyerahkan diri ke bajak laut untuk dijadikan tawanan.
Di sinilah pentingnya kebijakan seorang kapten kapal dalam membaca situasi genting di lautan, apalagi menghadapi pembajak yang kejam. Dalam film ini ditampilkan juga kesigapan para ABK dalam menyikapi situasi darurat. Mereka dengan bergegas berhasil mematikan semua fasilitas, termasuk generator dan sistem kontrol, menjadikan seluruh kapal tiba-tiba gelap total (blackout). Ini jelas membuat para bajak laut frustrasi dan menyadari bahwa mereka tidak dapat menguasai kapal tersebut sepenuhnya.
Para ABK sebenarnya telah berhasil menangkap pemimpin pembajak, tapi para pembajak meminta pertukaran sandera dengan Captain Phillips. Pada akhirnya dengan segala kelicikan para pembajak ini, mereka kemudian dapat menangkap Captain Phillips serta menjadikannya tawanan untuk dibawa ke Somalia dengan sekoci penyelamat. Karena tak berhasil menguasai kapal, para pembajak menyandera Captain Phillips dengan maksud meminta tebusan jutaan dollar.
Pada tanggal 8 April 2009, kapal destroyer USS Bainbridge milik Amerika menuju perairan Somalia melakukan penyelamatan terhadap Captain Phillips. Satu-satunya yang agak berlebihan adalah ketika tim penyelemat dari kapal destroyer, ditambah lagi oleh pasukan elit angkatan laut Amerika, NAVY SEAL berusaha menyelamatkan sang kapten kapal. Bagaimana tidak, hanya untuk menyelamatkan satu nyawa saja dan menghadapi empat orang bajak laut, Amerika sudah menurukan sedemikian banyak pasukan, termasuk helikopter dan tiga kapal besar, bahkan juga salah satu kapal perang mereka.
Aksi penyelamatan yang terlihat berlebihan, sebenarnya ingin menunjukkan kepada kita betapa pentingnya nyawa seorang warga negara. Jika konsitusi kita dalam UUD 1945 mengamanatkan “melindungi seluruh warga Negara Indonesia”, maka konstitusi Amerika juga berlaku demikian. Tindakan penyelamatan yang dilakukan pemerintah Amerika memang luar biasa besar dan dahsyat terhadap satu orang kapten kapal yang ditahan oleh empat orang bajak laut Somalia. Hal ini memperlihatkan kepada kita secara jelas, bahwa nyawa seorang warga negara harus benar-benar diperhitungkan.
Maka akan terasa sangat ironis, ketika kita di sini menyia-nyiakan nyawa anak manusia yang tengah berjuang menjadi seorang pelaut. Atas nama senioritas, mereka merasa berhak melakukan apapun kepada juniornya. Perploncoan, kekerasan, bullying, atau apapun namanya adalah perilaku yang harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya di sekolah kedinasan, universitas, maupun sekolah umum lainnya. ***