Pemilu
Serentak Pemilu Lima Kotak
Oleh :
Fadil Abidin
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi (judicial
review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Ghazali bersama
Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Putusan itu berlaku untuk Pemilu 2019.
Pasal yang diajukan, yakni Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal
12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112. Dengan dikabulkannya
gugatan ini, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2019 dan seterusnya akan digelar serentak. Permohonan yang tidak
dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 yang mengatur tentang besaran batas
minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon
presiden dan wakil presiden (presidential treshold).
Pemilu
legislatif dan pemilu presiden 2014 tetap
dilaksanakan terpisah sesuai jadwal yang telah ditetapkan KPU. MK berpendapat, putusan
ini tidak dapat diterapkan pada 2014 karena pemilu sudah terjadwal dan untuk mencegah ketidakpastian
hukum. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai tahapan Pemilu 2014 sudah
memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah
dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014.
Langkah
membatasi akibat hukum dari putusan ini, MK mempertimbangkan jangka
waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau tidak cukup memadai untuk membentuk
peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif jika pemilu serentak
digelar pada Pemilu 2014. Karenanya,
majelis menegaskan putusan ini baru berlaku segera setelah seluruh rangkaian
tahapan Pemilu 2014 rampung. Meskipun
lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential
treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014
dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.
Pemilu Lima Kotak
Banyak
pihak menyambut positif putusan MK soal pemilu serentak ini. Jika pemilu
dilakukan secara serentak, setiap warga negara dapat membuat
peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih. Kalau
pemilu tidak serentak seperti sekarang, ada campur tangan parpol untuk
menerapkan sistem threshold. Pemilu serentak juga untuk menghemat anggaran, seperti
biaya penyelenggaraan, biaya politik,
dan biaya kampanye.
Hitungan-hitungan banyak pihak itu bisa hemat sampai Rp120 triliun.
Selain itu ditemukan pemikiran awal anggota MPR
saat menyusun amandemen UUD 1945 pada tahun 2001. Dalam risalah sidang-sidang
Panitia Ad Hoc I BP MPR hingga sidang paripurna, selalu muncul kata-kata
‘pemilu serentak’ atau
‘pemilu lima kotak’. Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali
(serentak), ‘lima kotak’
merujuk pada jumlah kotak suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk
memilih sekaligus anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Sejarah pemilu di Indonesia diwarnai
berbagai sistem. Pemilu pertama
tahun 1955 bisa disebut
‘pemilu satu kotak’ yang dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29
September 1955 untuk memlih anggota DPR.
Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante.
Pemilu
1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997, dan 1999, bisa juga disebut ‘pemilu tiga
kotak’. Ada tiga kotak suara di TPS untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi
(Daerah Tingkat I), dan DPRD Kabupaten/Kotamadya (Daerah Tingkat II).
Pemilu
2004, 2009, dan 2014 bisa disebut juga ‘pemilu empat kotak’. Sejak Pemilu 2004,
selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, ada
penambahan pemilhan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Masa jabatan
anggota DPD sama dengan
anggota DPR selama 5 tahun.
Maka
berdasarkan Putusan MK di atas, Pemilu 2019 yang akan datang bisa disebut ‘pemilu
lima kotak’. Selain memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, maka akan ditambah satu kotak suara di TPS untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden.
Keuntungan
Apa saja
'keuntungan' Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif jika digelar serentak? Pertama, pemilu serentak dapat mengefisiensikan
sejumlah hal, baik dari
sisi anggaran maupun waktu.
Dari segi biaya, pemilu di Indonesia adalah pemilu termahal di dunia. Dari segi
waktu, pemilu legislatif hingga pemilu presiden putaran pertama sampai putara
kedua bisa memakan waktu setengah tahun. Waktu yang melelahkan dan menimbulkan
masa transisi yang panjang sehingga tidak heran tahun 2014 ini disebut tahun
politik.
Sistem penyelenggaraan pemilu yang sekarang menyuburkan praktik politik ‘dagang
sapi’. Dimana dukungan dari partai politik pengusung capres/cawapres akan
diwujudkan dalam pembagian jatah jabatan menteri. Akibatnya presiden
selalu 'tersandera' dengan koalisi yang dibangun dalam dukungan saat
pencalonannya. Para pembantu
presiden yaitu menteri-menteri bukanlah para ahli di bidangnya. Jabatan menteri
seperti ‘sapi’ yang dibarterkan atau didagangkan dengan imbalan dukungan
politik.
Maka dengan pemilu serentak sistem presidensial akan
diperkuat dengan sendirinya.
Sehingga 'penyanderaan politik'
presiden yang dilakukan oleh koalisi
tak lagi terjadi. Sistem presidensial itu harus diperkuat dengan ditiadakannya presidential threshold, dengan ketentuan setiap parpol yang
mempunyai kursi di parlemen berhak mencalonkan capres dan cawapresnya sendiri.
Selain itu ada implikasi lain
yang tak kalah pentingnya yakni adanya perubahan kultur demokrasi yang
terbangun. Kultur
koalisi parpol yang selama ini terbentuk
didasarkan pada alasan
pragmatis, temporal, sangat rapuh, dan tidak konsisten. Tidak ada landasan ideologis yang
kuat, yang ada hanya landasan pragmatis-ekonomis dalam mencari jatah
jabatan-jabatan politik.
Pemilu serentak dipercaya akan menciptakan koalisi parmanen, koalisinya akan lebih
solid, konsisten, dan
banyak didasarkan pada persamaan
ideologi, visi, dan kepentingan substansial. Sudah saatnya sistem pemerintahan kita
menerapkan pihak koalisi-oposisi yang tegas agar tercipta sistem check and balances. Saat ini ada anggota
koalisi yang bersikap ‘banci’ tak jelas jenis kelaminnya. Ikut menikmati kursi
koalisi tapi terkadang bersikap sebagai oposisi untuk menarik simpati.
MK sendiri
dalam pertimbangan putusan juga menyatakan, penyelenggaraan pemilu secara
serentak memiliki keuntungan, salah satunya terkait efisiensi anggaran.
Sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal
dari pembayar pajak serta hasil eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya.Dengan efisiensi itu, tentu akan meningkatkan kemampuan negara
mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang
antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. "Selain
itu, juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan
horizontal di masyarakat," ujar hakim konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi saat
membacakan pertimbangan putusan.
Ke Depan
Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak mengaku puas dengan putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Kendati, koalisi menilai seharusnya
MK menyatakan Pileg dan Pilpres diterapkan untuk pemilu 2014, bukan pemilu
2019.
"Menurut
kami idealnya memang dilaksanakan pada tahun 2014 ini. Karena kalau yang prosedural
atau teknis saja bisa menghambat hak konstitusional menurut saya bisa menjadi
tidak elok," kata Fadjroel Rahman, salah satu anggota koalisi usai sidang
di Gedung MK, Jakarta, (23/1/2014).
Menurut
Fadjroel, menjadi aneh jika harus menunda pemilu serentak sampai pada 2019
mendatang. Sebab, MK sudah menyatakan pemilu harus dilakukan serentak, sehingga
hal itu sudah menjadi hak konstitusional bagi para pemohon. "Agak aneh
saja buat saya pribadi bahwa apa yang diputuskan sebagai hak konstitusional kemudian
ditunda pada pemilu 2019. Mestinya
tidak boleh yang konstitusional dikalahkan oleh yang prosedural atau yang
teknis. Idealnya seperti itu," sambung pengamat politik itu.
Tapi banyak pula kalangan yang
memuji putusan MK itu sebagai langkah yang tepat, moderat, arif, dan bijaksana.
Semua pihak sudah seharusnya menghormati putusan MK tersebut. KPU telah
menetapan jadwal, melaksanakan sosialisasi, pengadaan logistik, dan sebagainya.
Pemilu 2014 tinggal menghitung hari, sehingga sangat tidak realistis memaksakan
pemilu serentak pada tahun ini juga.
Kita harus berpikir ke depan,
bersabar, dan menunggu perubahan yang signifikan terhadap sistem pemilu kita
yang cenderung mahal dan tidak efisien. Sistem pemilu tersebut gagal
menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang sesungguhnya. Kita tunggu
pemilu serentak - pemilu lima kotak di tahun 2019. ***