“Coblos Partai X Nomor Sekian!”



“Coblos Partai X Nomor Sekian!”
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam OPINI Harian Analisa Medan, 29 Maret 2014

       “Coblos Partai X Nomor Sekian!” Itulah penggalan iklan kampanye semua partai politik peserta pemilu yang sering kita lihat atau dengar di televisi. Pertanyaannya, apakah sistem pemilihan umum (pemilu) legislatif yang kita laksanakan 9 April 2014 nanti adalah pemilu dengan sistem proporsional tertutup, dimana pemilih lebih diarahkan untuk mencoblos parpol ketimbang nama calon anggota legislatif atau caleg?

Sistem pemilu secara umum adalah seperangkat aturan yang mengatur cara pemilih memberikan pilihan dan mentransfer suara menjadi kursi. Sistem pemilu menjadi sangat penting karena menyangkut tata cara pemberian suara, daftar pilihan, rekapitulasi suara,  penetapan calon terpilih, dan hasil pemilu yang berimplikasi pada jumlah kursi parpol di lembaga legislatif.
Secara garis besar terdapat 2 jenis sistem pemilu yang berkembang di dunia. Pertama, sistem pluralitas-mayoritas atau lebih dikenal dengan sistem distrik, suatu sistem pemilu dimana pemilih memilih kontestan (orang) dan jumlah kursi masing-masing daerah pemilihan adalah 1 (satu), sehingga pemenang pemilu adalah wakil yang memperoleh suara terbanyak dibandingkan dengan calon yang lain. Jadi satu distrik (daerah pemilihan atau dapil) hanya ada satu kursi perwakilan.
Kedua, pemilu dengan sistem proporsional. Sistem pemilu ini menjamin adanya keseimbangan antara perolehan suara dengan perolehan kursi oleh partai politik dalam pemilu. Jadi dalam sistem proporsioanl setiap dapil terdapat banyak perwakilan. Sistem proporsional kemudian terbagi menjadi dua varian, yaitu sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka.
Pemilu dengan sistem proporsional tertutup telah kita praktikkan selama pemilu pada era Orde Baru sejak Pemilu 1971 dan era reformasi Pemilu 1999. Pemilu dengan pemilihan yang sederhana dimana pemilih cukup mencoblos tanda gambar parpol. Parpol kemudian yang menentukan siapa calon wakil rakyat yang berhak duduk di lembaga legislatif berdasarkan jumlah proporsi kursi yang parpol dapatkan. Sistem ini dikenal sebagai “memilih kucing dalam karung”.
Sistem Proporsional Terbuka
Terjadi kekacauan pada sistem pemilu 2004, ada semangat untuk merubah sistem “memilih kucing dalam karung” sehingga kemudian diterapkan sistem proporsional terbuka. Tapi UU Pemilu pada waktu itu cukup aneh sehingga sering disebut “sistem proporsional terbuka setengah tertutup”. Karena masih memakai sistem nomor urut sebagai penentu calon terpilih. UU Pemilu kemudian dijudicial review, sehingga caleg yang terpilih berdasarkan suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut daftar caleg dalam satu parpol yang memenuhi syarat bilangan batas pembagi pemilih.
Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 sebenarnya menganut sistem pemilu yang sama, walaupun dalam praktiknya bukan sistem proporsional terbuka secara murni. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, Pasal 5 menyatakan (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka; (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
Tapi dalam praktik, Pemilu 2014 sebenarnya menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka yang semu atau bisa dibilang campuran sistem proporsional terbuka dan tertutup. Karena Pemilu 2014 mengizinkan pemilih untuk mencoblos parpol, dan kemudian melalui mekanisme tertentu mengambil alih suara parpol tersebut untuk “diserahkan” kepada caleg. Bukankah ini ciri khas dari sistem proporsional tertutup?
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.26 Tahun 2013 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dengan jelas mengindisikan hal tersebut. Pada Pasal 48 tercantum bagaimana ketentuan surat suara yang sah dan penghitungannya, yaitu : (a) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama partai politik, suaranya dinyatakan sah untuk partai politik.
Kemudian (b) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari partai politik yang mencalonkan; (c) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama partai politik, serta tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari partai politik yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari partai politik yang mencalonkan.
Serta (d) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama partai politik, serta tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari partai politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu)
suara untuk partai politik.
Pembodohan 43 Tahun
            Pada poin (a), ketentuan tersebut merupakan penerapan dari sistem proporsional tertutup. Pemilih digiring untuk mencoblos parpol, bukan nama caleg. Hal itulah yang sering menjadi slogan iklan kampanye parpol, “Coblos Partai X Nomor Sekian!” Maka dalam ketentuan ini sama halnya dengan adagium “Memilih kucing dalam karung”, karena kita memilih parpol bukan caleg. Kita tidak tahu kepada caleg mana suara kita akan diberikan. Penulis menilai bahwa PKPU No. 26 Pasal 48 Poin (a) ini menyimpang dari UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu khususnya Pasal 5 Ayat (1).
UU Pemilu sebenarnya mempunyai landasan semangat untuk menerapkan sistem proporsional terbuka, tapi ironisnya semangat ini kemudian dinisbihkan oleh Peraturan KPU yang tetap menerapkan sistem proporsional tertutup. Kondisi ini diperparah oleh parpol yang takut kehilangan suara sehingga turut mendukung dalam penyimpangan ini.  
            Kemudian yang paling fatal adalah poin (d). Ilustrasinya begini, saya mencoblos caleg A dan mencoblos juga caleg B yang berasal dari partai yang sama. Untuk siapa suaranya? Caleg A dan caleg B tidak akan mendapat suara, suara akan menjadi milik parpol.
            Prinsip proporsional terbuka sebenarnya memberi hak penuh kepada pemilih untuk menentukan calon yang dipercaya untuk duduk di lembaga legislatif. Sementara dalam prinsip proporsional tertutup, penentuan siapa caleg yang mendapat kursi di DPR/DPRD adalah kewenangan parpol yang mengusung.
            Sistem Pemilu 2014 secara legal adalah proporsional terbuka. Proporsional artinya persentase hasil suara pemilu ketika dikonversi menjadi kursi di lembaga legislatif jumlahnya relatif sama. Sementara terbuka artinya pemilih diberi kebebasan menentukan pilihan calonnya. Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika sistem proporsional terbuka masih mensahkan suara untuk parpol, dan mensahkan pula surat suara yang dicoblos dua kali untuk dua caleg yang berbeda tapi satu parpol.
            Maka seharusnya sosialisasi yang dilakukan penyelenggara pemilu dan partai-partai politik adalah sistem proporsional terbuka. Pemilih diajarkan untuk mencoblos satu saja nama caleg yang dipercaya sesuai hati nuraninya. Pemilih dalam hal ini masyarakat seharusnya diberi pembelajaran politik tentang sistem pemilu yang benar, bukan malah dibiarkan tidak mengerti secara terus-menerus, serta melegalisasi prinsip yang menyimpang. Kapan kita akan belajar? Apakah kita akan terus “memilih kucing dalam karung” dari pemilu ke pemilu?
            Jika Pemilu 2014 iklan kampanye Coblos Partai X Nomor Sekian!” Lalu apa bedanya dengan Pemilu 1971? Pemilu 1971 juga bersemboyan Coblos Partai X Nomor Sekian!” Slogam iklan kampanye Coblos Partai X Nomor Sekian!” adalah bentuk pembodohan yang dibiarkan selama 43 tahun pemilu di Indonesia. ***