Evaluasi Kritis Terhadap Penyelenggara Pemilu
Oleh : Fadil
Abidin
Pada 5 April 2014 saya ditelepon
Ketua PPS (Panitia Pemungutan Suara) agar menghadiri pelantikan sebagai Ketua
KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di TPS 52. Sangat mendadak, hanya
4 hari menjelang Pemilu Legislatif. Bayangkan, tanpa sosialisasi, penjelasan
yang memadahi, apalagi simulasi cara pemungutan suara, cara penghitungan suara
dan mengisi formulir Model C . Kami pun dilantik di aula kantor kelurahan
sebagai Ketua KPPS.
Bagi saya tidak ada masalah, karena
sejak Pemilu 1999 hingga 2014 telah menjadi penyelenggara pemilu untuk Pileg,
Pilpres dan Pilkada, mulai dari Ketua KPPS, Ketua PPS, PPK, Panwas, bahkan pada
tahun 2004 pernah masuk 10 besar calon anggota KPU Kota Medan. Pengalaman dan
pengetahuan soal pemilu ini sangat membantu dalam tugas sebagai penyelenggara
pemilu, apalagi “cuma” sebagai KPPS. Saya pun pasang target sebelum Magrib
penghitungan suara harus selesai, dan memang terbukti selesai. Sementara untuk
KPPS yang belum punya pengalaman kebanyakan baru selesai tengah malam, itu pun
dengan banyak meninggalkan masalah.
Seharusnya disadari oleh pihak KPU
bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) tidaklah segampang dan semudah Pemilu Kepala
Daerah (Pemilukada) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Bobot kesulitan Pileg adalah
20 kali lipat dari Pemilukada atau Pilpres. Pileg di Indonesia adalah yang
paling kompleks dan paling rumit di dunia sehingga harus dipersiapkan dengan
rekrutmen mulai dari tingkat KPPS hingga PPK oleh KPU Kabupaten/ Kota setempat
dengan seksama dan matang.
Rekrutmen penyelenggara pemilu tidak bisa asal-asalan dan
mendadak seperti Pemilu 9 April lalu. Akibatnya, KPU harus menuai masalah
dengan tidak tercapainya target 9 Mei 2014 sebagai batas akhir rekapitulasi
suara tingkat nasional. Hal ini terjadi karena ketidakberesan di tingkat TPS,
kemudian merambat ke PPS, PPK, dan seterusnya. Penulis menilai ada beberapa hal
yang perlu dievaluasi secara kritis dalam pelaksanaan Pileg yang lalu terutama
evaluasi terhadap penyelenggara pemilu.
Rekrutmen
KPU Pusat telah dilantik oleh Presiden pada 12 April 2012, selanjutnya dilaksanakan seleksi,
pemilihan, dan pelantikan 2.650 orang komisioner
yang dipilih di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga cukup waktu untuk menyiapkan pelaksanaan Pemilu.
Untuk tingkatan ini tidak ada masalah, tapi untuk tingkatan penyelenggara
pemilu ad hoc seperti PPK, PPS, dan KPPS justru itu menjadi biang masalah.
Di
banyak daerah, rekapitulasi penghitungan suara di tingkat desa/kelurahan oleh
PPS maupun di tingkat kecamatan oleh PPK banyak menuai masalah. Penggelembungan
suara maupun pergeseran suara kerap dijumpai di tingkatan ini. Ada yang karena
motif ekonomi, ada pula yang bermotif kekeluargaan. Anggota PPS maupun PPK
familinya ada yang menjadi caleg. Perlu diadakan perbaikan untuk rekrutmen
anggota PPS dan PPK, dan menindak tegas mereka yang terbukti berbuat
kecurangan.
Penyelenggara
yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pemilu adalah KPPS yang bertugas di TPS.
Tapi sayang, kebanyakan KPPS tidak diberi sosialisasi, simulasi, dan
pengetahuan yang baik tentang pemilu. Bahkan nyaris tidak ada sosialisasi
bagaimana cara mengisi berbagai model formulir C (C1 s/d C6).
Akibatnya KPPS
tidak mengerti bagaimana mensinkronkan antara jumlah pemilih yang menggunakan
hak pilih, jumlah surat suara yang dipakai dan tidak terpakai, surat suara sah
dan surat suara tidak sah. Terkadang ada kejadian aneh, jumlah suara sah lebih
banyak dari jumlah pemilih maupun surat suara yang terpakai.
Persoalan lain
adalah KPPS tidak mengetahui betapa pentingnya formulir model C1 yang berisi
sertifikat hasil pemungutan suara. Banyak KPPS yang tidak tahu jika formulir
model C1 harus dibuat rangkap 15 dengan perincian 12 untuk saksi parpol, 1
untuk panitia pengawas, 1 untuk PPS, dan 1 untuk KPU Kab/Kota (yang
berhologram). Ada KPPS yang hanya membuat rangkap 3, sedangkan saksi parpol
tidak dibagi. Ada juga KPPS yang malas membuat rangkapan, sehingga difotokopi.
Akhirnya timbul protes secara berkelanjutan, mulai dari PPS, PPK hingga KPU.
Kemudian ada
kejadian aneh lagi, ada KPPS yang mempersilahkan tiap saksi parpol untuk
mengisi formulir model C1 sendiri-sendiri, dan KPPS tanpa melakukan cek dan
ricek langsung menandatangani. Jika saksi parpol tersebut jujur tidak mengapa,
yang sering terjadi formulir model C1 ini berbeda-beda sesuai versi saksi
parpol masing-masing yang memenangkan parpolnya. Ini pun akan menuai masalah di
tingkat PPS, PPK, hingga KPU.
Ketidaktahuan
KPPS soal pengisian formulir model C1 ini seolah-olah dibiarkan. Ada beberapa
teman KPPS dari TPS lain memberi informasi kepada saya agar formulir model C1
(hologram) jangan diisi, nanti biar PPS atau PPK yang mengisinya. Ketika saya
tanya dari mana infonya, mereka menjawab dari Ketua PPS. Saya pun langsung
mengirim sms konfirmasi, “Pak Ketua, apa yang Anda infokan kepada KPPS itu
sangat berbahaya!” Ia pun langsung menjawab lewat sms,”Maaf Bos, salah info,
yang hologram langsung isi saja.”
Formulir Penghitungan Suara
Titik yang paling krusial dalam
Pileg adalah formulir penghitungan suara. Untuk tingkat TPS adalah formulir C1
yang berisi penghitungan suara untuk caleg DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Juga ada perhitungan tentang jumlah pemilih, surat suara sah,
dan surat suara yang terpakai, dsb. Jika formulir model C1 ini diisi dengan
benar, tanpa banyak coretan (apalagi ditipex) sehingga tidak ada keraguan, dan
masing-masing saksi parpol menerima 1 rangkap lengkap dengan tandatangan KPPS
dan semua saksi parpol, maka pada tahap ini pemilu akan berjalan lancar.
Formulir
model C1 yang diisi benar dan diberikan kepada tiap saksi parpol akan
mengurangi risiko penggelembungan suara atau pergeseran suara yang dilakukan
oleh pihak PPS. PPS di desa/keluarahan akan merekapitulasi penghitungan suara
dengan menggunakan formulir model D dan hasil pemungutan suara di seluruh TPS
di desa/kelurahan akan menghasil rekapan berupa formulir model D-1. Jika
formulir ini diisi dengan benar, jujur, disaksikan dan ditandatangani oleh para
saksi parpol maupun saksi anggota DPD, maka akan lancarlah pemilu untuk tahapan
berikutnya.
Kemudian
PPK juga akan merekapitulasi hasil penghitungan suara di tiap desa/ kelurahan
dalam formulir model DA-1. Demikian seterusnya sampai di tingkat KPU
Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU Pusat.
Setiap
permasalahan seharusnya sudah diselesaikan di tiap tingkatan. Persoalan di TPS
harus bisa diselesaikan di tingkat PPS, jika perlu dilakukan penghitungan ulang
dengan membuka kotak suara jika terjadi perbedaan jumlah suara. Tapi apa yang
terjadi di Pileg kemarin adalah saling “melempar bola panas” berupa masalah yang
dialihkan ke tingkat atasnya tanpa menyelesaikan masalah terlebih dahulu.
PPS
melemparkan masalah ke PPK, PPK kemudian melemparkan bola panas ke KPU
Kabupaten/Kota yang kemudian mengalihkan masalah ke KPU Provinsi. Dan akibatnya
ketika KPU Provinsi mempresentasikan hasil kerjanya di KPU Pusat untuk
rekapitulasi suara di tingkat nasional, maka hujan protes pun terjadi. Hal
inilah yang mengakibatkan rekapitulasi yang dilaksanakan KPU Pusat menjadi
molor. Bahkan beberapa media langsung memasang headline “darurat rekapitulasi
suara” karena ada ketakutan KPU tidak akan mampu mengumumkan hasil rekapitulasi
nasional selambatnya 9 Mei 2014.
Pemungutan Suara Ulang
Pemungutan
Suara Ulang (PSU) merupakan salah satu masalah yang membuat rekapitulasi suara
menjadi terhambat. PSU dilaksanakan karena beberapa hal, pertama terjadi
kecurangan di TPS. Jika ada dua orang atau lebih yang melakukan pencoblosan
surat suara lebih dari satu kali maka pengawas pemilu (panwaslu) biasanya akan
merekomendasikan PSU. Untuk itu KPPS harus jeli dan berani menolak pemilih yang
tidak berhak memilih atau pemilih yang meminta surat suara lebih dari sekali
(kecuali kalau surat suara rusak, itu pun hanya untuk satu kali kesempatan). Di
televisi penulis pernah melihat kecurangan di salah satu TPS di Nias dimana
seorang pemilih mencoblos puluhan surat suara, bahkan anak-anak juga ikut
mencoblos.
Kedua,
kecurangan dilakukan oleh oknum KPPS sendiri. Ada beberapa kasus anggota KPPS
mencoblos puluhan bahkan ratusan surat suara karena dibayar oleh salah seorang
caleg. Ada juga surat suara yang sengaja dicoblos terlebih dahulu sebelum
dibagikan kepada pemilih.
PSU
yang sering terjadi adalah karena kesalahan dari KPU dalam mendistribusikan
surat suara menurut daerah pemilihannya. Ada sekitar 780 TPS yang tersebar di
207 kabupaten/kota di 29 provinsi yang melakukan PSU karena surat suaranya
tertukar.
KPU
tampaknya kerepotan dalam mendistribusikan surat suara ini karena semuanya
bersifat sentralistik. KPU harus mencetak sekira 765 juta lembar surat suara,
dengan rincian jumlah dapil untuk DPR RI ada sebanyak
77. DPD terdiri dari 33
dapil, DPRD provinsi
ada 259 dapil, dan terbanyak
adalah DPRD Kabupaten/Kota
2.102 dapil. Maka semuanya ada
2.471 dapil, sehingga
desain surat suara juga berjumlah 2.471 jenis yang berbeda tiap dapil.
Percetakan surat suara yang terpusat di Pulau Jawa juga mengakibatkan potensi
kesalahan dalam mengirim surat suara semakin besar.
KPU
Kabupaten/Kota juga tidak melakukan pemeriksaan ketika mengadakan pelipatan
surat suara untuk dimasukkan ke kotak-kotak suara. Kesalahan terus berlanjut,
ketika diterima di TPS, KPPS pun tidak memeriksa surat suara sehingga langsung
mengadakan pemungutan suara. Pemungutan suara pun terhenti ketika ada salah
seorang pemilih yang paham tentang sistem dapil mendapati kesalahan surat
suara.
Jadi kesalahan-kesalahan kecil yang bertumpuk
ini mengakibatkan kesalahan besar untuk tahap berikutnya. Bobot
kesulitan Pileg adalah 20 kali lipat dari Pilpres yang akan datang. Untuk
Pilpres jauh lebih mudah, bahkan siswa SMP yang pernah menjadi panitia
pemilihan Ketua OSIS pun pasti bisa melakukannya. ***