Kampanye Hitam dan Sakitnya Peradaban



Kampanye Hitam dan Sakitnya Peradaban
Oleh : Fadil Abidin

            Menyesakkan. Maraknya kampanye hitam pada Pilpres 2014 sebenarnya merupakan gambaran kelamnya jiwa dan sakitnya peradaban bangsa Indonesia secara keseluruhan. Perebutan kursi presiden dan wakil presiden RI yang merupakan pertarungan para elit, dan rakyat yang seharusnya menjadi juri penilai justru dimobilisasi untuk ikut bertarung.

            Kampanye hitam dengan saling serang, menjelek-jelekkan, fitnah, dan penyebaran berita bohong antar pendukung, relawan, maupun tim sukses yang pada awalnya merebak di dunia maya lewat Facebook, Twitter, Wordpress, blog, dan sebagainya. Kemudian menyebar lewat layanan pesan singkat atau SMS secara berantai dan akhirnya berkembang dari mulut ke mulut. Tidak sampai di situ saja, setelah ‘perang’ di dunia maya, kampanye hitam kemudian juga menyebar di dunia nyata lewat selebaran, pamflet, poster, spanduk, dan baliho di jalanan.
            Sebenarnya sangat mudah untuk menelusuri siapa penyebar kampanye-kampanye hitam tersebut. Jika diposting di dunia maya lewat internet, bisa dilacak awal sumbernya dari mana, dan siapa-siapa saja yang menyebarkan. Jika beredar lewat SMS juga bisa dilacak sumbernya dengan bantuan provider telekomunikasi. Yang agak sulit justru yang menyebarkan lewat mulut ke mulut, karena yang menyebar akan menyangkal kecuali ada bukti rekaman.
            Tapi ironisnya Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) seakan mandul dan tak punya daya untuk meminimalisir praktik kampanye hitam. Kementerian Komunikasi yang biasanya tanggap dan sigap memblokir jika ada konten-konten pornografi dan terorisme di dunia maya, tak berbuat apa-apa terhadap pembuat dan penyebar kampanye hitam. Kepolisian juga belum menindak pemasang spanduk kampanye hitam yang menghasut dan menyebarkan kebencian kepada orang lain.
            Padahal seseorang yang turut serta memposting, mencantumkan, mempromosikan, menyebarkan, atau membuat link terhadap gambar atau tulisan dengan konten kampanye hitam dalam Facebook, Twitter, Wordpress, atau blog, sebenarnya bisa dikenakan tindak pidana dalam UU ITE. Sedangkan untuk penyebaran fitnah, berita bohong, dan kebencian kepada orang lain bisa dikenakan pasal-pasal dalam KUHP.
Maraknya kampanye hitam dalam Pilpres 2014 kali ini merupakan cermin dari buruknya praktik demokrasi. Istilah kampanye hitam harus kita ubah menjadi kampanye jahat, karena kampanye ini jelas-jelas berisi berita bohong, fitnah, menghasut, menjelek-jelekkan suku, agama, rasa, dan antargolongan (SARA) orang lain. 
Kampanye Jahat
            Coba bayangkan jika ada kampanye dengan iklan ucapan kematian, kemudian ada fitnah terhadap nama, suku, dan agama seseorang. Tidak sampai disitu, karena dianggap berhasil atau karena tidak ditindak siapa pembuat dan penyebarnya, maka kampanye jahat tersebut terus berlanjut dengan postingan palsu tentang buku nikah capres tersebut. Seharusnya orang seperti ini ditindak karena menyebarkan isu SARA yang bisa menyulut keresahan sosial. Pelakunya harus ditindak karena lebih berbahaya dari seorang teroris. 
            Kampanye-kampnye hitam ini jelas digerakkan secara sengaja, sistematis, terorganisir, dikomandoi, bahkan konon juga dibiayai oleh timses (tim sukses) capres-cawapres. Ada yang menamakan diri sebagai pasukan cyber, pasukan siluman dunia maya, dan sebagainya. Mereka adalah sekumpulan orang yang ahli dalam bidang IT dan dibayar untuk menyebarkan kampanye hitam untuk menyerang lawan politik dari majikannya lewat dunia maya. Mereka akan membuat akun-akun palsu, memanipulasi gambar agar menjadi gambar hinaan yang menyerang capres-cawapres lawan, memalsukan data dan berita, bahkan jika perlu akan membajak akun-akun lawan.
            Pasukan cyber pertama kali unjuk gigi dalam Pilkada DKI Jakarta. Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama berhasil memenangkan kursi gubernur DKI karena faktor “media darling” yang didukung oleh relawan cyber yang konon tidak dibayar sehingga disebut dengan “panasbung” atau pasukan nasi bungkus (untuk menggambarkan betapa minimnya bayaran/atau tidak dibayar sama sekali).
Maka dalam Pilpres 2014, pasukan-pasukan cyber baru pun bermunculan dan menjelma menjadi pasukan bayaran profesional yang bisa dipesan untuk kepentingan apapun. Satu regu pasukan cyber konon akan dibayar antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta selama satu bulan kampanye Pilpres ini.
            Tugas pasukan cyber ini antara lain menyebarkan kampanye hitam atau kampanye jahat. Kampanye-kampanye jenis ini 100% berisi rekayasa, fitnah, dusta, dan menghasut. Bahkan jika perlu memfitnah agama, suku, dan nenek moyang lawan politiknya. Ada juga kampanye negatif, pasukan cyber akan terus memposting dan mempublikasikan hal-hal yang negatif, kesalahan, perilaku ganjil, kegagalan, salah bicara, blunder politik, dosa-dosa masa lalu, dan sebagai dari lawan politik majikannya.
            Jadi, kalau kampanye hitam adalah 100% fitnah, maka kampanye negatif bisa juga merupakan kebenaran. Sebagai manusia para capres dan cawapres tentu pernah berbuat salah dan alpa. Nah, kesalahan-kesalahan inilah yang kemudian dicari, dikorek-korek, dan diekspos secara besar-besaran. Tapi di antara semua hal tersebut, yang paling menjijikan adalah kampanye hitam yang menyinggung SARA.
Jangan Ikut Sakit
            Kampanye yang menjurus pembunuhan karakter seseorang atau para pendukungnya  jelas menyedihkan. Kini, kampanye berbau SARA sudah masuk ke tempat-tempat ibadah. Ada seorang tokoh nasional yang tergabung dalam suatu koalisi, ketika dalam sebuah Masjid menyatakan bahwa Pilpres 2014 adalah seperti Perang Badar. Ia seolah-olah menyatakan bahwa koalisinya seperti pasukan Muslim di bawah komando Rasulullah SAW di zaman dahulu. Sementara lawan politiknya seolah-olah sebagai sekumpulan pasukan kafir yang harus dikalahkan. Ini tentu sangat memprihatinkan, menyamakan Pilpres yang tujuannya untuk meraih kekuasaan dunia disamakan dengan Perang Badar yang tujuannya untuk meraih kesyahidan dan ridho Allah SWT.
            Provokasi dan klaim bahwa seorang capres lebih “Islami” dibandingkan capres lainnya karena didukung oleh partai-partai Islam jelas sangat membahayakan. Apalagi jika ada pihak yang menyamakan Pilpres 2014 seperti Perang Badar, peperangan antara kaum Muslimin dengan kaum kafir. Ini jelas menandakan “sakitnya” mental yang bersangkutan, dan kampanye seperti ini bisa dikategorikan sebagai kampanye jahat yang berbau SARA.
            Kampanye hitam yang sangat marak pada Pilpres kali ini menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang sakit yang keluar dari santun politik yang sebenarnya menjadi ciri bangsa Indonesia. Santun politik itu hilang karena para pemimpin politik tidak bermoral. Para pemimpin politik menunjukkan perilaku politik seperti pelacur yang hanya mengejar kekuasaan (uang), dan mengorbankan harga dirinya. Mereka rela berbuat apa saja, berbicara apa saja, menyerang, mengecam, dsb, demi tujuan ‘menjilat’ majikan mereka dengan harapan sang majikan ini akan memberinya kursi kekuasaan. Para pemimpin politik menginjak-injak tata-krama demi kekuasaan. Para pemimpin politik seperti itu adalah gambaran sakitnya peradaban bangsa Indonesia.
Mereka mengajak rakyat banyak untuk meminta dukungan dan memberikan suara kepada para calon pemimpinnya dengan cara-cara tidak beradab. Mereka berpolitik yang hanya menghamba pada kepentingan diri sendiri dan golongan, bukan kepada kepentingan rakyat. Segala cara akan ditempuh asalkan tujuan tercapai. Ketika rakyat menyalurkan suara lewat parpol pada Pileg lalu, kini mereka tengah panen kursi di parlemen. Mereka menawarkan suara rakyat tersebut kepada para capres-cawapres. Jika dulu ada istilah NPWP alias “nomor piro wani piro” (nomor berapa berani berapa), kini muncul istilah “kursine piro wani piro” atau kursinya berapa berani (jumlah menteri) berapa. 
Kini saatnya rakyat sadar bahwa kita tengah dipecah-belah oleh kepentingan sempit kampanye Pilpres. Kita tengah dikoyak-koyak oleh kampanye hitam yang mengajak disintegrasi suku, bangas, agama, dan ras yang semestinya dijaga dan dihormati oleh kita semua. Padahal tujuan mereka sangat jelas, meraih kekuasaan presiden dan wakil presiden, dan bagi-bagi kekuasaan lainnya. Dan seperti sebelumnya, setelah kekuasaan itu diraih, maka rakyat pun akan dilupakan. 
Akankah kampanye hitam efektif? Jawabnya tidak. Jokowi dan Prabowo harus menghentikan timses masing-masing untuk berhenti memroduksi materi kampanye berbau SARA. Kepada masyarakat agar tidak ikut-ikutan sakit, biarlah para elit yang sakit. Kita harus tetap sehat, berpikir jernih, dan bersih hati dalam menyaring semua informasi. Jika para elit, pejabat, dan pemimpin di negeri ini tidak bisa menjadi contoh, rakyat harus bergerak.
Rakyat harus menjadi penyembuh dari sakitnya peradaban yang tengah kita rasakan bersama. Caranya? Jangan memposting atau menyebarkan kampanye hitam di Facebook, Twitter, Wordpress, atau blog Anda! Jangan sebarkan SMS berantai yang menuliskan kampanye hitam. Jangan pilih pemimpin yang suka menggerakkan orang lain untuk menyebarkan kampanye hitam, fitnah, dusta, dan hal-hal yang menyinggung SARA. ***