Koalisi atau
Kolusi?
Oleh :
Fadil Abidin
Mungkin
agak sulit mendefinisikan dengan benar sistem pemerintahan Republik Indonesia.
Parlementer, presidensial, atau kombinasi keduanya? Secara konstitusional, UUD
1945 tidak menyebutkan dengan tegas sistem pemerintahan RI adalah presidensial.
Pasal 4 hanya menyatakan (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Jadi implikasi logis dari pasal ini
adalah Presiden RI adalah kepala pemerintahan, yang berarti RI menganut sistem
pemerintahan presidensial. Tapi dalam praktik kenegaraan selama 10 tahun
belakangan ini sistem pemerintahan RI tampaknya telah mengarah kepada sistem
parlementer.
Konstitusi
kita memang “aneh”, di satu sisi menganut sistem presidensial tapi di sisi lain
bercirikan seperti sistem parlementer. Sistem parlementer lebih menitikberatkan
kekuasaan pada parlemen sebagai perwakilan rakyat. Kekuasaan partai lebih
dominan dalam sistem parlementer, bahkan mengalahkan kekuasaan seorang
presiden. Dalam sistem parlementer, kursi-kursi menteri akan dikuasai oleh
perwakilan partai politik yang berkuasa dengan jumlah sesuai persentase kursi
di parlemen.
Ada
Pasal dalam UUD 1945 terasa sangat ambivalen dan bertolak belakang, lihatlah
Pasal 6A, Ayat (1) Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Tapi
kemudian kekuasaan rakyat ini dinisbihkan oleh kekuasaan partai politik seperti
yang tercantum dalam Ayat (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Celakanya lagi, dalam UU No.42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tidak semua partai
politik peserta pemilu dapat mengajukan calon pasangan presiden dan wakil
presiden. Hak ini menjadi hak eksklusif partai-partai politik besar atau
gabungan partai politik. Pasal 9, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 9 UU No.42 Tahun 2008 merupakan deviasi dari sistem
kedaulatan rakyat yang kita anut. Pasal ini jelas mengukuhkan kekuasaan partai-partai
politik tertentu untuk berhak mencalonkan dan hak untuk menentukan siapa yang
harus dipilih rakyat sebagai presiden dan wakil presiden. Parpol atau gabungan
yang hanya mempunyai perolehan suara 25% atau 20% kursi di parlemen yang berhak
menentukan siapa yang ikut Pilpres 2014.
Ironisnya, beberapa pihak yang mengajukan judicial review
Pasal 9 UU Pilpres ini kepada Mahkamah Konstitusi selalu gagal. MK dengan pasti
‘mempatenkan’ presidential threshold sebesar ini menjadi hak ekslusif
partai-partai besar atau gabungan parpol. Maka dengan sendirinya, kedaulatan
parpol lebih besar ketimbang kedaulatan rakyat.
Kolaborasi
Para Mafia
Pelaksanaan Pemilu Legislatif telah usai, dan hasilnya
telah diketahui. Tidak ada parpol yang mendominasi, bahkan tidak ada parpol
yang mencapai 25% suara sah secara nasional seperti yang disyaratkan UU
Pilpres. Sehingga tidak ada parpol yang bisa maju sendirian dalam mencalonkan
pasangan capres dan cawapresnya. Maka mau tidak mau, terpaksa atau dipaksa,
parpol harus melakukan penggabungan kekuatan atau koalisi untuk menghadapi
Pemilu Presiden 9 Juli nanti.
Hari-hari belakangan ini di televisi atau media massa
kita akan menyaksikan akrobat politik. Parpol melalui masing-masing ketua umum,
sekjen, dan tokoh-tokoh penting di parpol mulai berkasak-kusuk, bermanuver, dan
berakrobat mencari ‘kawan’ untuk melakukan koalisi.
Tidak jelas apa yang dibicarakan dalam persetujuan
koalisi tersebut. Jawaban atau pernyataan para elit politik tesrsebut selalu
bersifat normatif, yaitu demi bangsa dan negara. Namun yang pasti berdasarkan praktik politik
selama ini adalah, koalisi akan selalu menghasilkan suatu transaksi politik.
Dukungan koalisi akan menghasilkan konsesi dan insentif politik, baik kursi
wakil presiden maupun kursi menteri. Bahkan Wakil Ketua Umum Partai
Gerindra, Fadli Zon, yang menyebut koalisi tanpa bagi-bagi kursi adalah omong
kosong
(Kompas.com,19/04/2014).
Format koalisi yang terjadi sekarang ini lebih mirip
kolaborasi para mafia yang membentuk sindikat atau kartel yang lebih besar. Para
gangster akan membentuk sindikat mafia yang lebih besar, agar lebih kuat dan menguasai
seluruh kekuasaan yang ada sehingga mampu mengalahkan para pesaingnya.
Maka koalisi pun
lebih bermakna kepada kolusi atau kesepakatan untuk meraih kue kekuasaan yang
lebih besar. Koalisi lebih diartikan sebagai politik dagang sapi. Dan nyatanya
memang demikian, setelah melakukan koalisi, lalu memenangani Pilpres, maka para
pihak yang berkoalisi akan ribut meminta jatah jabatan menteri kepada presiden
terpilih. Hak prerogatif presiden dalam memilih para pembantunya sendiri (baca:
menteri) teramputasi oleh adanya koalisi.
Berkaca pada sejarah dalam satu dekade terakhir, koalisi
sebenarnya adalah mimpi buruk dalam sistem pemerintahan kita. Sistem
presidensial setengah hati yang lebih bercirikan sistem parlementer merupakan
cacat bawaan dari demokrasi kita. Hal ini terjadi karena UUD 1945 telah
ditafsirkan secara keliru dalam UU
Pilpres, terutama Pasal 9. Pasal inilah yang memaksa parpol untuk berkoalisi
untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Padahal dalam sistem
presidensial tidak ada istilah koalisi versus oposisi, yang ada adalah sistem
check and balances antara kekuasaan eksekutif dengan legislatif.
Citra
Negatif Koalisi
Koalisi dalam benak masyarakat kini telah memiliki makna
negatif sebagai kolusi, kongkalikong, dan kesepakatan jahat untuk bagi-bagi kue
kekuasaan. Dalam sejarah koalisi di Indonesia sejak 2004-2014, dinamika
politik nasional mencatat koalisi yang terbentuk selama ini belum efektif mewujudkan sistem pemerintahan yang kuat. Koalisi hanya bersifat setengah
hati, koalisi hanya bertujuan untuk merebut posisi menteri, dan insentif
politik lainnya. Bahkan setelah semua itu didapat, para anggota koalisi pun
kerap ribut sendiri.
Koalisi
dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua dibentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) agar para anggota koalisi mau
tunduk dan patuh kepada pimpiman koalisi. Riuhnya polemik dan konflik
terkait koalisi turut memengaruhi persepsi masyarakat terhadap makna koalisi itu sendiri.
Jika ditelusuri lebih mendalam, buruknya citra koalisi di benak publik tidak
terlepas dari pemahaman masyarakat terhadap makna koalisi.
Berdasarkan survei yang dilakukan
Kompas (2013), istilah koalisi menurut lebih separuh responden (57,5
persen) berkonotasi hal-hal yang transaksional, yakni tawar-menawar kekuasaan,
bahkan transaksi uang antarparpol. Orientasi
transaksional ini tidak bisa menjamin koalisi parpol dilakukan untuk
menciptakan stabilitas politik dan dipenuhinya kepentingan masyarakat.
Satu dari tiga
responden survei menyatakan, agenda koalisi tak menjamin terciptanya stabilitas
politik. Bahkan, sebanyak 66,9 persen responden menyatakan, koalisi tak memberi
banyak ruang bagi terserapnya aspirasi masyarakat. Lebih lanjut, tiga perempat
bagian responden (79,3 persen) melihat pola koalisi masih bergerak dalam
tataran memenuhi kepentingan elite, khususnya menggapai kursi kekuasaan.
Orientasi transaksional
sangat jelas tergambar dalam sejumlah koalisi yang bercorak pragmatis, seperti
dalam praktik koalisi parpol yang lintas ideologi. Mayoritas responden (67,3
persen) menilai, pola koalisi parpol yang berbeda visi dan ideologi lebih
didasari keinginan meraih kekuasaan semata.
Koalisi Ideal
Koalisi
yang ideal adalah koalisi yang
terbuka. Para pihak yang berkoalisi melakukan kontrak secara tertulis, terbuka
dan diumumkan kepada seluruh rakyat bahwa mereka tidak akan mendudukkan
tokoh-tokoh parpol sebagai menteri atau jabatan lainnya. Bahwa mereka tidak
akan berkolusi untuk meraih konsesi ekonomi, proyek APBN, kementerian, BUMN,
APBD, dan sebagainya. Bahwa kabinet yang akan dibentuk adalah kabinet ahli, dan
pemerintahan yang akan dibangun adalah meritokrasi, yaitu pemerintahan yang
hanya mendudukkan orang-orang yang berkompeten dan berprestasi dalam bidangnya.
Itulah idealnya sebuah kolusi.
Koalisi bukanlah
politik dagang sapi, bagi-bagi
kekuasaan baik di kabinet dan lembaga pemerintahan lain. Idelanya koalisi itu
adanya kesamaan visi dan misi untuk membangun bangsa. Sayangnya koalisi selama
ini cenderung memperkokoh kekuasaan agar tidak goyah dalam perjalanan dengan
kompensasi jabatan menteri dan jabatan lainnya. Platform yang sama, kepentingan yang sama baru sebatas ada di
atas kertas.
Menarik disimak,
ketika dalam Live Event Metro TV (Rabu, 9 April 2014) ketika Najwa Shihab
sebagai pembawa acara mempertanyakan kepada Joko Widodo sebagai capres dari PDI Perjuangan, kemungkinan koalisi PDIP dengan partai lainnya. Di sana Jokowi enggan menyebut kata “Koalisi” karena dianggap
berkonotasi negatif, konotasi yang lebih mengarah ke bagi-bagi jabatan dan
dibahasakan oleh Najwa sendiri “politik dagang sapi”. Sehingga Jokowi lebih memakai pemilihan kata “kerjasama”.
Dalam dinamika politik sendiri, koalisi adalah penggabungan
dua partai atau lebih untuk tujuan bersama dalam membentuk sebuah pemerintahan.
Terlepas dari realitas yang membentuk asumsi masyarakat dalam mengkonotasikan
koalisi menjadi negatif, koalisi merupakan konsep yang ideal, karena dalam
sistem pemerintahan presidensial multi partai, koalisi merupakan
kenyataan yang harus terjadi menurut UU Pilpres.
Dilihat dari latar belakang terbentuknya koalisi dalam
dinamika politik saat ini ada dua, yaitu koalisi strategis dan koalisi taktis.
Koalisi strategis terbentuk atas dasar kesamaan visi dan ideologi partai
politik, tujuan dari koalisi strategis ini untuk membentuk pemerintahan yang
kuat dan membagi kekuasaan secara adil dan demokratis. Koalisi taktis terbentuk
atas dasar kesamaan relatif, dimana partai yang lebih besar jumlah suaranya
lebih mendominasi daripada partai-partai yang lebih kecil dalam hal suara.
Dalam konteks koalisi taktis inilah bagi-bagi kekuasaan, politik dagang
sapi rentan akan terjadi dan akhirnya membentuk persepsi masyarakat akan konotasi
negatif koalisi.
Maka jangan jadikan koalisi
bermakna sebagai kolusi, kongkalikong, kesepakatan jahat atau bahkan diartikan
sebagai kolaborasi para mafia yang membentuk sindikat atau kartel yang lebih besar
untuk meraih kekuasaan.