Koalisi Tanpa
Syarat, Mungkinkah?
Oleh :
Fadil Abidin
Setelah Capres Joko Widodo atau
Jokowi mempraktikkan ‘blusukan’. Ada kosakata baru yang akhir-akhir ini sangat populer dalam wacana politik di Tanah Air. Kosakata itu ialah 'koalisi tanpa syarat' yang coba kembali akan
dipraktikkan oleh Jokowi. Koalisi tanpa syarat adalah kerjasama antar partai politik tanpa menjanjikan bagi-bagi kursi jabatan menteri. Kerjasama ini
dilakukan ketika pengajuan pasangan capres dan cawapres maupun ketika di
parlemen.
Pertanyaannya, mungkinkah
koalisi tanpa syarat bisa terwujud? Pascareformasi konstelasi politik di
Indonesia berubah drastis. Selama Orde Baru kekuasaan presiden begitu dominan
(executive heavy). Sejak tahun 1999 kekuasaan presiden sedikit demi sedikit berkurang
dan kekuasaan parlemen menjadi begitu dominan (legislative heavy). Walaupun
pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem presidensial, tapi dalam
praktiknya presiden harus benar-benar memperhatikan kekuatan-kekuatan politik
yang ada di DPR.
Berangkat dari realitas politik
itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun pemerintahannya
mencoba “menjinakkan” kekuatan-kekuatan politik yang ada di DPR dengan bungkus koalisi.
Maka praktik bagi-bagi kursi jabatan menteri pun dimulai. Jabatan menteri
kemudian diisi oleh kebanyakan para kader partai politik, pimpiman, bahkan ketua umum partai politik, tanpa
memperhatikan kapabilitasnya. Walaupun sudah dalam barisan koalisi pemerintahan
dan diberi jatah kursi menteri, partai-partai politik lewat fraksi di DPR
ternyata masih juga “merecoki” kebijakan presiden.
Maka wacana koalisi tanpa syarat
yang didengungkan oleh Jokowi banyak mendapatkan respon skeptis. Logikanya
sederhana, pertama, bukankah parpol dibentuk dan berjuang dalam pemilu tujuannya
adalah untuk meraih kekuasaan? Kedua, selama ini dalam praktik kenegaraan kita,
parpol koalisi yang mendapatkan jatah kursi menteri masih saja selalu merecoki
kebijakan presiden, konon pula jika tidak diberi? Ketiga, bagi-bagi jabatan
menteri kepada parpol pendukung koalisi telah menjadi keharusan bahkan
kewajiban dalam praktik kenegaraan, baik untuk balas budi maupun untuk
memperkuat pemerintahan di parlemen. Apakah praktik ini bisa dihilangkan?
Nada Skeptis
Wacana
atau ide koalisi tanpa syarat yang dilontarkan oleh Capres Jokowi kemudian
banyak mengundang skeptisme, ketidakpercayaan, cibiran, bahkan hanya dianggap
sebagai ‘lips service’ belaka untuk menarik simpati pemilih. Tidak sedikit
cibiran maupun kritikan terhadap wacana ini, baik yang dilontarkan oleh
lawan-lawan politik Capres Jokowi, tokoh parpol, pengamat, maupun akademisi.
Wakil Ketua
Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menyebut koalisi tanpa bagi-bagi kursi adalah
omong kosong (Kompas.com,
19/04/2014). Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golongan Karya Bambang
Soesatyo menurutnya, pernyataan "tidak
ada bagi-bagi kursi" atau "koalisi tanpa syarat" merupakan
pembodohan terhadap masyarakat. Tidak
ada bagi-bagi (kursi menteri) itu
bullshit. Hal
senada juga dikatakan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris.
Menurut dia, mustahil bagi poros koalisi, termasuk yang dibangun PDI-P,
menghindari pembicaraan bagi-bagi kekuasaan. "Ini mustahil. Sebab,
bagi-bagi kekuasaan itu konsekuensi logis koalisi," katanya (Kompas.com,16/5/2014).
Nada skeptis yang sama juga dilontarkan oleh pengamat
politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago. "Menurut saya bohong Jokowi
mengatakan koalisi tanpa syarat, bukan didasari koalisi transaksional atau
tanpa power sharing," kata Pangi. Sebab, lanjut dia, jika koalisi didasari tanpa syarat,
pemerintahan ke depan tidak akan berjalan. Mengingat sistem pemerintahan
presidensial harus memiliki pondasi yang kuat, baik di kabinet maupun di
parlemen (Inilahcom,
15/5/2014).
Skeptisme juga dikatakan peneliti
senior LIPI, Indria
Samego. Menurutnya koalisi
tanpa syarat dinilai tidak realistis. Pasalnya, tidak ada satupun
tindakan tanpa motif di dunia ini.Koalisi sekarang ini kan dilihat seperti
dagang sapi, hanya tawar-menawar jabatan tanpa memikirkan program. Menurutnya, tidak ada tindakan tanpa
motif, artinya kalau mereka berkoalisi pasti ada satu yang diinginkan.
Menurut dia,
adanya pernyataan koalisi tanpa syarat ini merupakan suatu basa-basi politik
untuk memperbaiki citra di depan masyarakat. Agar yang berkoalisi tidak
terlihat berambisi untuk mendapatkan satu jabatan apapun dari kolega
koalisinya.
Lebih dari itu, partai politik ingin memperlihatkan di depan publik dengan berkoalisi mereka ingin membangun satu pemerintahan dari satu nahkoda. Sebab, ini akan terlihat baik oleh masyarakat. Penyataan tidak ada bagi-bagi jabatan saat berkuasa membuat masyarakat menjadi lebih tenang dan merasa partai yang dipilihnya benar-benar akan bekerja untuk masyarakat (Metrotvnews.com, 10/5/2014).
Lebih dari itu, partai politik ingin memperlihatkan di depan publik dengan berkoalisi mereka ingin membangun satu pemerintahan dari satu nahkoda. Sebab, ini akan terlihat baik oleh masyarakat. Penyataan tidak ada bagi-bagi jabatan saat berkuasa membuat masyarakat menjadi lebih tenang dan merasa partai yang dipilihnya benar-benar akan bekerja untuk masyarakat (Metrotvnews.com, 10/5/2014).
Revolusi Mental
Skeptisme, kritikan, cibiran, bahkan
pernyataan negatif tentang wacana koalisi tanpa syarat merupakan hal yang
wajar. Seorang bijak pernah mengatakan,”Jika ada seorang pembangun, maka akan
mendapat tantangan dari seribu perusak”. Sudah menjadi kodrat alam, jika ada
mengajak kepada kebaikan, maka akan ramai pula yang mengajak kepada keburukan.
Jika ada seorang pembaharu, maka akan banyak orang yang masih terpaku pada pola
pikir lama.
Koalisi bagi-bagi kursi menteri
kepada pimpinan parpol tanpa memperhatikan kapabilitasnya adalah pola pikir
lama yang telah berlangsung 10 tahun ini. Kebiasaan buruk ini harus dihentikan
sekarang juga. Cibiran, tantangan, prasangka negatif, bahkan perlawanan pasti
akan dihadapi orang yang melakukan pembaharuan. Dalam sejarah, para pembaharu
selalu mendapat tantangan dahsyat pada masanya.
Jokowi sebagai pencetus wacana
koalisi tanpa syarat tentu telah menyiapkan strategi agar misi tersebut
berhasil diterima rakyat. Jokowi menyebutnya sebagai “Revolusi Mental”. “Salah
satu hal yang
penting dari revolusi
mental adalah mengubah mindset
negativisme menjadi
positivisme," ujar Jokowi.
Satu kalimat di atas seolah-olah
menjawab semua cibiran, skeptisme, dan prasangka negatif soal wacana koalisi
tanpa syarat yang diusung Jokowi sebagai capres. Kita selama ini selalu
berprasangka negatif jika ada hal-hal yang baru. Kita selama ini berprasangka
buruk jika ada orang yang mengajak kepada kebaikan karena yang selama ini kita
lakukan ternyata adalah hal yang buruk. Maka kita akan membela yang buruk.
Koalisi dengan transaksi politik
dagang sapi dengan bagi-bagi jabatan menteri kepada pimpinan parpol tanpa
memperhatikan kapabilitasnya adalah praktik yang buruk. Tapi mengapa praktik
yang buruk ini dibela untuk dipertahankan? Orang-orang yang ngotot
mempertahankannya jelas telah menuai keuntungan dari praktik ini, baik untuk
dirinya sendiri terutama parpolnya.
Bukan Omong Kosong
Sudah menjadi rahasia umum, jabatan
menteri adalah instrumen untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Seorang
pimpinan parpol yang dijadikan menteri, maka ia otomatis akan menjadi
‘spionase’ untuk memata-matai kebijakan presiden yang bukan satu partai dengan
dirinya. Seorang menteri dari parpol juga akan menjadi seperti “pemegang kartu ATM”
yang setiap saat bisa diminta dananya. Seorang menteri tentu akan tahu tentang
peluang-peluang ekonomi yang bisa didapatnya lewat proyek-proyek APBN di dalam
kementeriannya.
Praktik-praktik seperti ini telah
kita lalui selama 10 tahun belakangan ini. Presiden tersandera oleh kepentingan
parpol yang mendukungnya. Presiden tidak bisa bebas memilih para menteri dari
anak-anak bangsa yang berkualitas, berintegritas, kapabel, dan jujur untuk
dijadikan sebagai pembantunya di kabinet karena kursi jabatan menteri telah
menjadi jatah pimpinan parpol koalisi.
Koalisi besar yang dibangun selama
10 tahun oleh Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, dan sebagainya yang
mencapai single majority di DPR, tidak menjamin pemerintahan yang efektif.
Kebijakan pemerintahan SBY justru sering “direcoki” dan ditentang oleh
mitra-mitra koalisinya. Ancaman-ancaman pencabutan dukungan, isu-isu pergantian
menteri (reshuffle kabinet), ancaman keluar dari setgab (sekretariat gabungan),
dan akrobat-akrobat politik lainnya. Skandal-skandal korupsi justru menyeruak
yang melibatkan menteri, bawahan menteri, kolega menteri di parpol, kerabat,
keluarga, dan anak-anak menteri.
Peristiwa-peristiwa tersebut
seharusnya menyadarkan kepada kita. Sampai di sini sajalah koalisi dengan
transaksi bagi-bagi jabatan menteri. Koalisi tanpa syarat merupakan wacana
baru, ibarat bayi, ia harus dijaga dari gangguan serigala yang hendak
menerkamnya. Ia harus dijaga dari semua bentuk kepentingan yang hendak
menyalahgunakannya.
Jokowi dalam acara deklarasi
dukungan tiga partai atas pencapresannya di kantor DPP PDI Perjuangan (14/5/2014), mengatakan bahwa banyak yang meragukan
keberhasilan kerja sama politik tanpa syarat oleh partai politik. "Koalisi
tanpa syarat itu sangat memungkinkan asalkan ada niat dan kemauan, soal apa
yang ingin kita kerjakan ke depan untuk rakyat dan negara Indonesia. Inilah
yang kita jaga," lanjut Jokowi.
Biarlah
mereka mengatakan bahwa koalisi tanpa syarat itu adalah omong kosong, bohong, bullshit, basa-basi, mustahil, tidak
mungkin, tidak realistis, dan sebagainya. Tapi yang pasti bukan mereka yang
menentukan. Koalisi tanpa syarat, mungkinkah? Jawabannya tergantung kepada kita
semua. Apakah kita akan memungkinkannya atau menolaknya. Terserah Anda! ***