Mengakhiri
Praktik Korupsi Dana Haji
Oleh :
Fadil Abidin
Jika korupsi jenis lain disebut
sebagai perampokan uang negara oleh pejabat yang berwenang, maka korupsi dana
penyelenggaraan haji merupakan perampokan uang rakyat secara langsung oleh para
pejabat yang berwenang. Kejahatan korupsi dana haji ini sebenarnya lebih
dahsyat ketimbang jenis korupsi lainnya, di dalamnya terdapat unsur penipuan,
penggelapan, pencurian, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan amanah, dan
unsur penggelapan uang riba atau rente dari dana jemaah haji. Jadi para pejabat
itu, sudah menggelembungkan biaya, memakan uang riba pula.
Penyelenggaraan
haji saat ini telah menjadi megabisnis konglomerasi yang sangat menguntungkan
para pihak yang terlibat di dalamnya. Dana Abadi Umat (DAU) dari akumulasi keuntungan
bunga setoran haji selama puluhan tahun penyelenggaraan haji ini telah mencapai
Rp 27 triliun. Dana masyarakat dalam bentuk tabungan haji sekitar Rp 70 triliun
yang tersimpan di beberapa bank, cash
flow dengan uang masuk (dari pendaftaran calon haji yang baru) dan uang
keluar (biaya dari pelaksanaan haji) mencapai Rp 10 triliun per tahun
(detikfinance, 25/3/2014).
Separuh dari tabungan haji itu
tersimpan di perbankan konvensional dalam bentuk deposito, dan separuhnya lagi diinvestasikan
dalam bentuk sukuk negara. Bunga deposito rata-rata 5-7% per tahun dan bunga
sukuk negara sekitar 6% per tahun. Ada sekitar Rp 450 miliar hasil bunga dari
tabungan haji tersebut per tahun. Karena para jamaah haji tidak menuntut bunga
tersebut, maka hasilnya entah dinikmati oleh siapa.
Selain
penggelapan uang riba, Indonesian Corruption Watch (ICW) mempublikasikan beberapa
modus operandi dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama
(tribunnews.com, 23/05/2014). Modusnya, permainan kurs nilai mata uang
dalam penyelenggaran haji. Terdapat
tiga mata uang yang dipakai, yaitu rupiah, dollar Amerika
Serikat (AS) dan riyal. ICW menemukan bahwa
Kementerian Agama menggunakan nilai kurs rupiah yang lebih rendah dari realisasinya. Sehingga ketika dikonversi menjadi
dollar, jamaah itu membayar dengan kurs dolar yang lebih tinggi. Sehingga ada kerugian para jamaah haji
sekitar Rp55 miliar dari ketidak-wajaran kurs tersebut.
Temuan kedua adanya permainan
kurs juga terjadi ketika perumusan komponen biaya langsung (direct cost) yang
harus ditanggung jamaah dalam BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Otoritas perbankan Arab Saudi
menetapkan satu dollar AS itu sama dengan 3,745 riyal. Tetapi ketika merumuskan perhitungan beban, Kemenag menggunakan nilai kurs
3,72.
Mark Up Biaya
Ketika
penyelenggaraan ibadah haji telah menjadi proyek, maka yang terjadi adalah mark up atau penggelembungan biaya-biaya
yang harus ditanggung calon jamaah haji. Biaya pengadaan barang dan jasa sudah
menjadi hal biasa untuk digelembungkan. Biaya barang perlengkapan ibadah haji,
seragam, tas, dsb. Biaya penerbangan yang cukup tinggi karena Kemenang
sebagai penyelenggara ibadah haji tidak melakukan tender terbuka terhadap maskapai penerbangan.
Selain
itu, pemilihan pemondokan di Makkah dan Madinah juga tidak transparan. Mungkin karena kebodohan negosiasi
panitia haji atau mungkin karena mark up,
biaya pemondokan jamaah haji kita relatif lebih mahal. Rata-rata biaya
pemondokan sekitar 5.000 riyal per jamaah, dengan biaya sebesar ini seharusnya
pemondokan sekelas hotel berbintang satu. Tapi kebanyakan jamaah mendapatkan
pemondokan sekelas losmen yang dipunyai penduduk lokal sekitar dan diduga
diperoleh melalui pihak ketiga. Alasannya, panitia haji tidak berhasil
mendapatkan pemondokan yang sesuai karena telah lebih dulu dibooking jamaah
dari negara lain.
Soal
penyediaan konsumsi atau katering merupakan salah satu pintu korupsi. Beberapa
tahun lalu kita membaca berita tentang korupsi katering jamaah haji, disusul
tahun berikutnya katering yang tidak layak makan alias sudah basi, disusul
tahun berikutnya katering yang terlambat datang, katering yang tidak sesuai
dengan spesifikasi mutu, menu yang tidak sesuai dengan makanan sehari-hari jamaah
haji Indonesia, dan sebagainya.
Padahal
biaya konsumsi ini sangat mahal, jika dihitung setiap jamaah membayar 30 riyal
untuk sekali makan. Padahal dengan menu yang sama, jika jamaah haji membeli
makanan di luar cuma 10 riyal. Dengan biaya 30 riyal seharusnya jamaah mendapat
hidangan prasmanan ala hotel berbintang, tapi kenyataannya katering sekelas
warung nasi padang.
Mahalnya
pelayanan pemondokan dan konsumsi terhadap jamaah haji tak terlepas dari kolusi
dan nepotisme. KPK menemukan adanya indikasi
penggunaan sisa kuota haji untuk para pejabat dan keluarganya. Lembaga
antikorupsi itu juga mencium praktik nepotisme dalam penunjukan panitia
penyelenggaran ibadah haji (PPIH). Penunjukan PPIH yang bukan orang profesional karena
bersifat nepotisme dan tidak sesuai ketentuan.
Seolah-olah sudah ada kapling
korupsi untuk menentukan siapa yang ‘mengolah’ proyek bunga tabungan haji, kurs
mata uang, administrasi, pengadaan barang, transportasi, pemondokan/akomodasi,
dan konsumsi jamaah haji. Orang-orang yang terlibat di dalamnya tentu para
pejabat di Kemenag, kolega di partai, atau seperti yang diduga KPK, korupsi
dana haji juga mengalir di antara anggota DPR.
Tak Lepas Dikorupsi
Jika
urusan ibadah keagamaan dikorupsi, mau dibawa ke mana negeri ini? Sudah
bobrokkah mental, moralitas, dan iman para pejabat tersebut? Saya yakin dan
percaya bahwa yang melakukannya adalah ahli dalam agama, tahu mana yang halal
dan mana yang haram. Tapi mengapa masih dilakukan juga?
Tanpa
sadar para jamaah haji Indonesia sesungguhnya telah menjadi korban perampokan
yang terstruktur dan terorganisasi dari para pejabat yang berwenang. Para
jamaah haji telah dirampok uangnya dari konversi kurs mata uang, dicopet
uangnya dari biaya tiket pesawat, diambil tempat teduhnya di Makkah dan
Madinah, dan dicuri jatah makanannya.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyayangkan
terjadinya tindak pidana korupsi terkait penyelenggaran haji yang menjerat
Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Menurut Bambang, korupsi terkait
pelaksanaan haji sangat merugikan dan melukai hati para calon jemaah
haji (kompas.com,
23/05/2014).
KPK telah menetapkan SDA sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
penyelenggaraan haji tahun 2012/2013 melalui surat perintah
penyidikan yang ditandatangani pimpinan KPK 22 Mei 2014. KPK menjerat SDA dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 Kesatu juncto
Pasal 65 KUHP.
Ketua Umum PPP ini terancam hukuman pidana penjara seumur hidup. Unsur
dalam Pasal 2 ayat 1 UU, antara lain, adalah memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau korporasi dan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Adapun
unsur dalam Pasal 3 UU Tipikor salah satunya menyalahgunakan wewenang.
Penetapan SDA
sebagai tersangka korupsi tentu memperburuk kredibilitas pemerintahan SBY,
khususnya jajaran Kementerian Agama. Kita masih ingat kasus yang menjerat
mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar, terkait dana alokasi umat
(DAU) tahun 2006. Selain itu kasus korupsi pengadaan Alquran yang menjerat
pejabat Kemenag dan
anggota DPR. Korupsi pengadaan
alat dan laboratorium untuk madrasah di seluruh Indonesia. Kemudian,
potensi korupsi dari tradisi
pungli di Kantor Urusan Agama (KUA). Berulangnya kasus korupsi di
kementerian agama menunjukkan kementerian ini tak pernah berbenah serius.
Buruknya tata
kelola di Kementerian Agama juga tergambar dalam beberapa kajian dan survei.
Misalnya survei integritas 2011 oleh KPK menyebutkan Kementerian Agama sebagai
lembaga paling korup di Indonesia. Survei itu menemukan praktik korupsi di
sejumlah titik pada sektor pelayanan publik. Suap, gratifikasi dan pungutan
liar merupakan modus pelanggaran hukum yang sering dilakukan aparatur di
lapangan. Buruknya tata kelola diperparah oleh lambatnya kementerian agama menerapkan
program reformasi birokrasi. Implikasinya, celah korupsi tidak berhasil ditutup
dengan cepat dan kasus demi kasus kembali terulang.
Lagkah ke Depan
Untuk
mengakhiri praktik korupsi dana haji sebenarnya sangat mudah, asalkan
pemerintah punya niat dan aksi yang nyata untuk memberantasnya. Kata kuncinya
adalah transparansi dalam menentukan item-item pembiayaan penyelenggaraan
ibadah haji.
Jika
perjalanan ibadah haji dikelola secara profesional seperti layaknya biro
perjalanan wisata, alangkah lebih baiknya. Jika kita mendaftar ingin berwisata
keluar negeri dengan menggunakan jasa biro perjalanan, semuanya telah diatur.
Kita diberi brosur perincian harga tiket (naik pesawat apa dan kelas berapa),
akomodasi hotel (bisa pilih hotel berbintang atau hostel), kurs valas di tempat
tujuan berapa, transportasi antar jemput di tempat wisata, jadwal makan dan
menunya, tour guide, asuransi, dan sebagainya. Semuanya serba terperinci. Jika
ada yang tidak sesuai dengan brosur atau perjanjian, maka kita bisa mengajukan
keberatan, kompensasi, atau ganti rugi.
Maka
seharusnya para jamaah haji harus diperlakukan sama. Mereka harus diberi brosur
rincian tentang item-item pembiayaan, fasilitas apa yang harus mereka terima
selama menunaikan ibadah haji, dan jika tabungan haji mereka berbunga, bunga
tersebut disalurkan ke mana, dsb. Jika ada penyimpangan, para jamaah bisa
mengajukan keberatan, keluhan, dan sebagainya. Keberatan dan keluhan ini bisa
menjadi sinyal awal dari praktik penyelewengan penyelenggaraan haji.
Kita
juga menginginkan komisi independen yang mengawasi penyelenggaraan ibadah haji
dan umroh. Melaksanaan haji dan umroh adalah perjalanan ibadah, tapi dalam
praktiknya telah menjadi ajang bisnis yang sangat menguntungkan sehingga kerap
diselewengkan, sehingga untuk itu diperlukan pengawasan. ***