Pendidikan Seks
Sejak Usia Dini, Perlukah?
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat di
OPINI Harian Analisa Medan, 8 Mei 2014
Kasus
kekerasan seksual di Jakarta International School, kasus pelecehan seksual oleh
guru privat di Medan, kasus pelecehan seksual dengan tersangka Andri Sobari
alias Emon di Sukabumi dengan jumlah korban sekitar 89 anak (dan konon masih
akan bertambah lagi), dan masih banyak kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan
seksual, dan pemerkosaan terhadap anak yang belakangan ini kian marak.
Sebagai guru Sekolah Dasar, saya
pernah menghadapi kasus pemerkosaan yang menimpa salah seorang murid kelas V
yang justru dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Kejadian tersebut telah
berlangsung sejak korban masih kelas III. Kasus ini kemudian ditangani oleh
pihak kepolisian, dan si ayah durjana ini dihukum ‘hanya’ 7 tahun penjara.
Si
anak tersebut kemudian tidak bersekolah, dibawa pindah ibunya entah ke mana
karena tak tahan menanggung malu. Walaupun bukan sebagai guru langsung dari
anak tersebut, karena saya mengajar di kelas VI. Saya merasa kecolongan dan menyadarkan
saya bahwa pengetahuan seks bagi anak sejak dini perlu disampaikan dengan
sebaik mungkin di ruang kelas.
Saya
pun mengadakan survei kecil-kecilan dengan metode tanya jawab dengan sasaran
kelas VI A, kelas VI B dan kelas VI C (kelas paralel) dengan jumlah murid 102
orang. Pertanyaannya dengan siapa mereka tidur ketika malam? 6 murid menjawab
mereka masih tidur bareng (seranjang) bersama kedua orang tuanya. 27 murid
masih tidur dengan kakak perempuan atau abang laki-lakinya. 7 murid tidur
bareng dengan paman, bibi, kakek, atau neneknya. 62 murid tidur secara mandiri
(punya kamar sendiri atau tidur di ruang tamu untuk anak laki-laki).
Coba
Anda bayangkan, murid SD kelas VI yang berumur sekitar 11-13 tahun masih tidur
bareng dengan kedua orang tua. Selama bertahun-tahun, di malam-malam tertentu
mereka pasti akan melihat ayah-ibunya lagi berhubungan badan. Kemudian tidak
terbayang pula bila mereka (terutama murid perempuan) harus berbagi kamar dan
tempat tidur dengan abang, paman, kakek atau laki-laki dewasa lainnya. Tidak
ada ruang privasi bagi anak di dalam rumah.
Saya
pun kemudian menganjurkan agar mereka tidur sendiri-sendiri, kelas VI itu sudah
menjadi ‘anak besar’, sudah mulai remaja bukan anak-anak lagi sehingga tidak
pantas masih tidur bareng sama ayah-ibu atau orang dewasa lainnya. Kemudian
untuk anak perempuan jangan mau lagi tidur bareng dengan laki-laki (siapa pun
itu).
Pendidikan Seks
Di
kelas VI ada pelajaran IPA yang materi pelajarannya tentang perkembangbiakan
makhluk hidup (tumbuhan, hewan, dan manusia). Nah, pada sub pokok bahasan perkembangbiakan
manusia itulah pengetahuan seks perlu disampaikan agar mempunyai korelasi
antara pelajaran sekolah dengan kenyataan yang akan dihadapi murid. Materi
pelajaran tentang fase pubertas, menstruasi, ‘mimpi basah’, hingga kehamilan.
Materi ini sebenarnya pendidikan seks bagi anak SD dan harus dikemas secara
apik oleh guru. Materi ini harus disajikan secara komprehensif, disertai contoh
kasus dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempunyai makna yang mendalam.
Walaupun
telah berganti kurikulum, saya menganggap materi-materi ini tetap perlu
disampaikan di kelas VI bahkan jika perlu telah ada di kelas V. Jika pada masa
saya dulu, fase pubertas biasanya di SMP, itu pun setelah duduk di kelas II.
Tapi di zaman ini, di mana pola makan anak-anak yang kian bergizi, tontonan,
informasi lewat majalah, televisi, vcd/dvd, telepon selular, smartphone, internet,
dsb membuat anak lebih cepat dewasa dari usianya. Dan terbukti, ketika saya
mengadakan survei (metode pertanyaan tertutup dengan kertas survei) di kelas V
dan kelas VI ada belasan anak yang sudah menstruasi (bagi murid perempuan) dan
‘mimpi basah’ bagi anak laki-laki.
Jadi
materi pelajaran dan penjelasan yang komprhensif tentang fase pubertas,
menstruasi, dan ‘mimpi basah’ ini perlu disampaikan karena mereka telah dan
akan mengalami. Saya pun memberi pengertian tentang kehamilan. Untuk itu harus
menjaga kehormatan diri, jangan sembarangan bergaul, jangan berpakaian
asal-asalan (terbuka/tidak menutup aurat), jangan menampakkan bagian anggota
tubuh tertentu, jangan biarkan orang lain menjamah bagian tertentu dari tubuh
kita, dan sebagainya. Kemudian juga ditegaskan, bahwa perempuan yang telah
mengalami menstruasi atau haid akan bisa hamil jika berhubungan badan dengan
laki-laki. Jadi harus hati-hati!
Kadang
ketika saya menyampaikan materi, ada saja murid yang menimpali. Ada yang
melapor bahwa si A (laki-laki) mencolek dada si B (perempuan), ada yang
menjamah (maaf) bagian pantatnya. Kemudian ada juga yang mengadu si C
(laki-laki) suka memperlihatkan kelaminnya kepada anak perempuan. Ada juga
laporan si D (perempuan) kalau duduk sembarangan sehingga (maaf sekali lagi!)
celana dalamnya sering nampak.
Kemudian
ada juga yang mengadu kalau si E (perempuan) sudah punya ‘cowok’ anak SMA dan
sering diajak jalan-jalan. Ada yang mengaku punya kenalan lawan jenis lewat
Facebook dan aplikasi chatting lainnya. Ada yang mengadu kalau si X suka
menggambar alat kelamin dan menuli-nulis kata kotor. Ada yang melapor kalau
hape si Z ada gambar dan film pornonya. Bahkan saya sendiri berkat laporan
anak-anak lainnya mendapati salah seorang murid
membawa kaset vcd porno.
Beginilah anak-anak SD zaman
sekarang, sudah hampir remaja tapi masih polos. Perkembangan fisik, saraf, dan
hormon-hormon yang ada di tubuh mereka begitu cepat. Tapi perkembangan jasmani
ini tidak diikuti dengan perkembangan mental dan daya pikir yang dewasa. Mungkin
hal ini karena faktor makanan, tontonan, perkembangan teknologi, dan lingkungan
yang membuat tubuh fisik mereka matang sebelum waktunya.
The Underwear Rule
Sebenarnya tidak perlu merasa risih
atau tabu membahas pengetahuan atau memberikan pendidikan seks sejak usia dini.
Penyampaiannya tentu harus melihat situasi perkembangan fisik dan mental anak.
Di banyak negara pendidikan seks justru sejak dini telah diperkenalkan sejak
usia 3-4 tahun.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada,
hanya tidak secara tegas jika itu dinamakan pendidikan seks. Di kurikulum
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-Kanak (TK) serta di kelas
rendah Sekolah Dasar, kelas I s/d III. Ada tema-tema pelajaran seperti Diriku
(dulu diberi tema Diri Sendiri). Tema ini mengajarkan bagian-bagian tubuh anak
itu sendiri. Kemudian mengajarkan perbedaan jenis kelamin, sifat, perilaku,
kegemaran, dan sebagainya akibat perbedaan jenis kelamin tersebut.
Di
banyak negara pendidikan seks usia dini dikenalkan dengan istilah “The
Underwear Rule”. Saya sebagai guru dan orang tua ingin berbagi informasi dengan para orang tua lain
dalam hal pendidikan seks di usia sedini mungkin kepada anak-anak sehingga
dapat menjadi bekal atau pencegahan para orang tua terhadap anak-anak kita
tercinta dalam kehidupan sehari-hari. Informasi ini saya sadur dan alih bahasakan dari situs
internet www.underwaerrule.org.
“The Underwear Rule” adalah petunjuk sederhana untuk
mengajarkan para orang tua untuk menjelaskan kepada anak mereka dimana orang
lain tidak boleh menyentuh mereka, bagaimana harus bereaksi dan bagaimana cara
mencari bantuan. Apakah The Underwear Rule? Sangat sederhana, seorang anak
tidak boleh disentuh oleh orang lain di bagian tubuh tertentu yang ditutupi
oleh pakaian dalam mereka. Dan mereka juga tidak boleh menyentuh area tersebut
pada orang lain. Ini juga membantu menjelaskan kepada anak-anak bahwa tubuh
mereka adalah milik mereka sendiri, bahwa ada rahasia baik dan buruk dan
sentuhan baik dan buruk di dalamnya.
The Underwear Rule dikembangkan untuk
membantu para orang tua, guru, pendidik, dan mereka yang peduli dengan
anak-anak. Ini dapat menjadi alat komunikasi yang efektif untuk mencegah
terjadinya pelecehan seksual. The Underwear Rule mempunyai beberapa aspek, antara lain:
1. Tubuhmu milikmu sendiri. Anak-anak harus
diajari bahwa tubuh mereka milik mereka sendiri dan tidak seorangpun boleh
menyentuhnya tanpa seizin mereka. Komunikasi terbuka dan langsung pada usia
dini mengenai seks dan “area pribadi” tubuh mereka,menggunakan nama yang benar
untuk alat vital dan bagian lainnya akan membuat anak-anak mengerti mana yang
tidak boleh dan mana yang boleh. Anak-anak mempunyai hak untuk menolak ciuman atau sentuhan, bahkan dari orang
yang mereka sayangi sekalipun. Anak-anak harus diajari untuk mengatakan “tidak”
secara langsung dan tegas kapan saja. Pada kontak fisik yang tidak semestinya
untuk menjauhkan diri dari situasi yang tidak aman dan memberitahukannya kepada
orang dewasa yang dia percaya.
2. Sentuhan baik – sentuhan buruk. Anak-anak tidak
selalu dapat mengenali mana sentuhan yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Katakan kepada anak-anak bahwa seseorang tidak boleh melihat atau menyentuh
bagian tubuh pribadi mereka, atau meminta anak-anak itu untuk melihat dan
menyentuh bagian tubuh pribadi orang lain tersebut. The Underwear Rule membantu mereka untuk
mengenali batasan yang jelas dan yang mudah dikenali pada pakaian dalam (The
Underwear). Jika anak-anak mendapati sikap yang mencurigakan dari
orang lain, maka yakinkanlah bahwa mereka harus mencari bantuan dari orang
dewasa yang bisa mereka percayai. Orang tua dapat menjelaskan kepada anaknya
bahwa orang dewasa lain seperti perawat atau dokter kadang harus
menyentuh mereka, namun anak-anak juga harus diyakinkan bahwa mereka boleh
berkata “tidak” jika mereka merasa tidak nyaman.
3. Rahasia yang baik - rahasia yang buruk. Bertindak secara rahasia adalah taktik utama seorang pelaku
pelecehan seksual. Oleh karena itu sangat penting untuk mengajarkan kepada
anak-anak tentang perbedaan rahasia baik dan rahasia buruk, sehingga dapat
membangun kepercayaan diri mereka. Setiap rahasia yang membuat anak-anak resah,
tidak nyaman, merasa takut atau sedih adalah tidak baik dan tidak boleh
disimpan, harus dibicarakan kepada orang dewasa yang dapat dipercaya seperti
orang tua, polisi, guru, atau dokter. Rahasia yang baik contohnya adalah
surprise party (pesta kejutan) sedangkan rahasia yang buruk adalah yang dapat
membuat resah, takut dan tidak nyaman.
4. Pencegahan dan perlindungan merupakan tanggung jawab orang
dewasa. Pada saat anak-anak dilecehkan mereka merasa malu, bersalah
dan takut. Para orang dewasa harus bisa membuat percakapan seputar seks bukan
hal yang tabu, dan memastikan anak-anak mereka mengetahui kemana harus mengadu
saat mereka merasa khawatir, resah dan sedih. Anak-anak selalu dapat merasakan
ada yang salah terhadap dirinya. Orang dewasa harus selalu bersedia dan terbuka
dalam menerima keluhan dan sikap mereka, karena bisa jadi seorang anak
cenderung tidak mau menyampaikannya kepada orang dewasa lain atau temannya. Ini
harus dihargai, karena seorang anak harus selalu merasa bahwa mereka bisa
bicara apa saja pada orang tua mereka tanpa dihakimi oleh masalah yang
menimpanya. Mencegah terjadinya kekerasan seksual adalah prioritas dan tanggung
jawab utama orang dewasa dan sangat penting untuk tidak menaruh banyak beban
pada pundak anak-anak mereka.
Anak-anak harus mengerti bahwa ada beberapa profesional yang
dapat secara khusus membantu seperti guru, pihak sekolah, pekerja sosial, aparat pemerintah, dokter, psikiater, polisi dan beberapa
pihak untuk mencari bantuan. Komunikasi yang baik dengan anak-anak adalah kuncinya. Ini
menunjukkan keterbukaan, determinasi, langsung, dan secara pertemanan dengan
suasana non-intimidasi.
Tidak pernah ada kata
terlalu dini untuk mengajari seorang anak tentang pendidikan sejak usia dini dan
pengetahuan The Underwear Rule, karena pelecahan dapat terjadi di barbagai usia, kapan saja, di mana saja, dan
oleh siapa saja. Kita harus mencegah anak-anak kita,
murid-murid kita, atau orang-orang yang kita lindungi dan kasihi dari para paedofil
dan predator seks yang ada di sekitar kita.