Konversi
Suara Menjadi Kursi
Oleh : Fadil Abidin
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat
dalam OPINI Harian Analisa Medan, 9 April 2014
Metode perhitungan perolehan kursi DPR dan DPRD Pemilu Legislatif
(Pileg) 2014 tidak sama dengan Pemilu
2009. Sistem perhitungan kursi di Pileg 2014 kembali lagi ke metode perhitungan
kursi di Pemilu 2004. Tujuannya, untuk menghindari sengketa pemilu perolehan kursi.
Metode perhitungan perolehan kursi tiap-tiap
parpol diatur dalam UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Dari UU Pemilu ini kemudian diatur secara teknis melalui Peraturan
KPU No. 29
Tahun 2013 tentang Penetapaan
Hasil
Pemilu, Perolehan
Kursi,
Calon Terpilih, dan Penggantian
Calon Terpilih.
Metode perolehan kursi di Pemilu
2009 cukup rumit dan membingungkan sehingga metodenya dikembalikan seperti
Pemilu 2004 karena penghitungannya lebih mudah, lebih rinci dan sederhana. Pada
Pemilu 2009 metode perhitungan kursi dilakukan
dari tahap I, II, sampai tahap III tingkat provinsi. Sementara, metode
perhitungan kursi suara di Pemilu 2014 hanya dilakukan di tahap I dan tahap II,
tidak dilakukan sampai tahap III tingkat provinsi.
Sebelum perhitungan kursi dimulai, maka perlu
diketahui dulu jumlah kursi di tiap-tiap daerah pemilihan (dapil). Tulisan ini
hanya mencoba mengulas pembagian kursi di DPR dan DPRD. Pasal 21 UU No.8/2012 menyatakan jumlah
kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 kursi. Daerah
pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Jumlah kursi setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi.
Pasal 23, jumlah kursi DPRD Provinsi
ditetapkan paling sedikit 35 dan
paling banyak 100. Jumlah kursi
DPRD provinsi didasarkan pada representasi
jumlah penduduk
provinsi yang bersangkutan. Semakin
banyak penduduknya maka semakin banyak pula kursi anggota DPRD provinsi.
Jumlah kursi yang diperebutkan di
DPRD provinsi dibagi dalam beberapa dapil di dalam provinsi. Dapil anggota DPRD provinsi
adalah kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Jumlah kursi setiap dapil anggota DPRD provinsi paling sedikit 3 kursi dan paling
banyak 12 kursi.
Pasal 26, jumlah kursi DPRD
kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 dan paling banyak 50 kursi. Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota
didasarkan pada jumlah penduduk
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan, atau gabungan
kecamatan. Jumlah kursi setiap dapil anggota DPRD
kabupaten/kota paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi.
Parliamentary
Threshold
Untuk
mendapatkan kursi di parlemen, maka berlaku aturan Pasal 208, yaitu partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Partai
politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara 3,5%, tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah
pemilihan.
Artinya,
jika ada satu parpol yang ‘menang’ di beberapa dapil sehingga seharusnya berhak
mendapatkan mayoritas kursi di DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota tertentu.
Tapi berhubung secara nasional perolehan suaranya tidak mencapai 3,5%, maka
hanguslah kursi tersebut. Maka suara yang diperoleh parpol yang tidak mencapai
ambang batas 3,5 % tersebut pun dianggap hangus alias dianggap tidak ada.
Jadi, suara untuk
penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di
suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh parpol dikurangi jumlah
suara sah parpol yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara.
Dari hasil
penghitungan suara sah yang diperoleh parpol di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) untuk DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan
cara membagi jumlah suara sah yang
diperoleh parpol dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
Setelah ditetapkan angka BPP
maka ditetapkan
perolehan jumlah kursi tiap parpol di suatu dapil, dengan ketentuan:
(a)
apabila jumlah suara
sah suatu parpol sama
dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama
diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan
dihitung dalam penghitungan tahap kedua; (b) apabila jumlah suara sah suatu parpol
lebih kecil daripada
BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah
suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam
penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah
pemilihan yang bersangkutan.
Penghitungan perolehan kursi tahap
kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam
penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum
terbagi kepada parpol satu
demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari parpol yang mempunyai sisa suara
terbanyak.
Simulasi Perhitungan
Misalkan
di Provinsi XY di Dapil II, jika
suara sah di Dapil
II sebanyak 100.000
suara dan alokasi kursinya
10, maka BPP-nya
adalah 100.000: 10 = 10.000. Jadi, BPP di Dapil II adalah 10.000. Artinya
pada tahap I, parpol yang mendapat 10.000 suara otomatis mendapat 1 kursi, dan
berlaku untuk kelipatannya. Sisa kursi berikutnya akan diperhitungkan pada Tahap
II.
Misalkan
hasil perolehan suara parpol adalah sebagai berikut: Partai A (11.200), Partai
B (9.700), Partai C (4.200), Partai D (27.500), Partai E (1.100), Partai F
(5.700), Partai G (3.600), Partai H (18.000), Partai I (7.500), Partai J
(5.500), Partai K (3.500), dan Partai L (2.500). Jumlah suara sah di Provinsi
XY di Dapil II adalah 100.000.
Untuk
memudahkan perhitungannya maka perlu diurutkan perolehan suara dari yang
terbesar ke terkecil, yaitu: Partai D (27.500), Partai H (18.000), Partai A
(11.200), Partai B (9.700), Partai I (7.500), Partai F (5.700), Partai J
(5.500), Partai C (4.200), Partai G (3.600), Partai K (3.500), Partai L
(2.500), dan Partai E (1.100).
Dari
hasil urutan di atas maka perolehan kursi Tahap I, dimana yang berlaku adalah 1
kursi “dihargai” 10.000 suara. Parpol yang mempunyai suara di atas 10.000 dan
kelipatannya secara otomatis berhak mendapat 1 kursi, yaitu : Partai D mendapat
2 kursi dengan sisa suara 7.500, Partai H mendapat 1 kursi dengan sisa suara
8.000, dan Partai A mendapat 1 kursi dengan sisa suara 1.200.
Pada
Tahap I yang terbagi adalah 4 kursi dari 10 alokasi kursi di Dapil II, sehingga
yang tersisa adalah 6 kursi yang akan diperhitungkan pada Tahap II. Partai D,
Partai H, dan Partai A ikut kembali dalam perhitungan di Tahap II karena masih
mempunyai sisa suara (setelah suaranya masing-masing dibagi 10.000).
Maka
pada Tahap II, urutan perolehan suara partai dari yang terbesar ke terkecil
adalah sebagai berikut : Partai B (9.700), H (8.000, yang merupakan sisa suara
dari Tahap I), D (7.5000, yang merupakan sisa suara dari Tahap I), I (7.500), F
(5.700), J (5.700), C (4.200), G (3.600), K (3.500), L (2.500), A (1.200, yang
merupakan sisa suara dari Tahap I), E (1.100). Dari hasil ini maka urutan 1 s/d
6 yaitu Partai B, H, D, I, F, dan J masing-masing mendapat 1 kursi.
Maka
hasil perolehan kursi DRPD Provinsi XY untuk Dapil II adalah: Partai A (1
kursi), Partai B (1 kursi), Partai D (3 kursi), Partai F (1 kursi), Partai H (2
kursi), Partai I (1 kursi), dan Partai J (1 kursi). Sementara Partai C, E, G,
K, dan L tidak mendapatkan kursi.
Ironi Proporsional
Setelah
perolehan kursi ditetapkan untuk masing-masing parpol, selanjutnya untuk siapa
kursi-kursi tersebut? Pemilu 2014 menganut sistem proporsional terbuka sehingga
yang terpilih adalah calon anggota legislatif (caleg) yang memperoleh suara
terbanyak di Daftar Caleg Tetap (DCT) dalam satu partai.
Misalkan
Partai D di atas yang berhak atas 3 kursi, maka yang berhak duduk di dewan
perwakilan adalah caleg yang mempunyai suara terbanyak 1, 2, dan 3 di DCT
parpolnya. Nomor urut tidak berlaku, sedangkan sisanya akan diurutkan ke angka
selanjutnya sebagai calon “cadangan” atau calon pengganti antar waktu (PAW)
jika yang terpilih mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan.
Tapi
ada kalanya sistem proporsional juga meninggalkan sebuah ironi besar. Bisa saja
caleg yang memperoleh suara terbanyak di dapilnya justru tidak terpilih. Dari
contoh di atas, misalnya Caleg OP dari Partai C yang berhasil meraih 4.000
suara (total perolehan suara partainya 4.200). Caleg OP ini tidak mendapatkan
kursi dan kalah dari Caleg NN dari Partai D yang hanya memperoleh 2.000 suara.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Perolehan
total suara Partai D lebih banyak (27.500 suara), walaupun perolehan suara
masing-masing caleg bisa saja rata-rata hanya 2.000. Hal ini terjadi karena
suara perolehan parpol lebih besar (pemilih lebih banyak mencoblos tanda gambar
di Partai D, ketimbang mencoblos nama caleg).
Kemungkinan
lain adalah bisa saja seorang caleg memperoleh paling banyak suara di dapilnya
atau mugkin mendapat suara paling banyak di seluruh Indonesia. Tapi karena
partai pengusungnya tidak lolos parliamentary
threshold atau ambang
batas perolehan suara 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional,
maka suara yang diperolehnya akan dianggap hangus atau tidak ada. Dan yang
lebih ironi lagi, jika ada caleg yang tidak tahu bagaimana cara menghitung
perolehan suara yang dikonversikan menjadi kursi.***