Selamat Datang Oligarki !
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 10 Oktober 2014
Sudah enam puluh sembilan tahun kita merayakan usia kemerdekaan, dan enam belas tahun usia
reformasi, namun kita belum sepenuhnya menjadi negara demokrasi. Bagaimana
mungkin kita menyatakan diri sebagai negara demokrasi, jika dalam kenyataannya, oligarki yang berkuasa.
Demokrasi yang kita praktikkan
selama ini hanya menyediakan “panggung” bagi bertakhtanya oligarki.
Secara umum,
oligarki adalah bentuk
pemerintahan yang secara efektif dipegang oleh sekelompok orang atau sebagian kecil
dari masyarakat. Kita seharusnya sadar, bahwa negara kita selama ini dikuasai
oleh hanya segelintir orang, yaitu elit-elit partai politik yang bercokol di
legislatif maupun eksekutif. Negara kita telah dikuasai oleh ketua-ketua umum
partai.
Lihatlah di Gedung DPR maupun DPRD, anggota-anggota dewan terhormat yang
kita sebut sebagai wakil rakyat tak lebih dari sekadar boneka dari ketua-ketua
partai. Jika sang ketua umum partai memerintahkan A, maka atas nama loyalitas anggota
DPR/DPRD akan berbuat A juga. Walaupun apa yang diperintahkan ketua partai
tersebut bertentangan dengan keinginan rakyat.
Anggota DPR tak lebih dari boneka sang ketum partai dapat kita lihat
dalam pengesahan RUU Pilkada dan Sidang Paripurna DPR dalam menentukan pimpinan
DPR. Sebagian besar anggota DPR tidak berani berbeda pendapat dengan ketua umum
partainya. Ibarat paduan suara, mereka bersuara sama. Maka yang terjadi adalah
oligarki absolut, kekuasaan telah beralih kepada ketua-ketua umum partai.
Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan demokrasi kita selama enam belas tahun reformasi.
Capaian demokrasi kita hanya sebatas
melaksanakan demokrasi prosedural dalam kontestasi politik merebut kekuasaan, baik kekuasaan legislatif
maupun eksekutif. Realitas politik kita menunjukan, jika substansi demokrasi tentang bagaimana seharusnya kedaulatan rakyat didahulukan, tidak dapat diwujudkan oleh para elit. Yang ada hanyalah
kedaulatan partai yang kemudian melahirkan oligarki.
Oligarki
telah melahirkan demokrasi semu. Elit parpol dengan sesuka hati menafsirkan
dasar negara Pancasila maupun konstitusi UUD 1945 sesuai dengan keinginan
mereka. Atas nama Pancasila sila ke-4 dan UUD 1945, mereka merampok hak-hak
rakyat dalam memilih pemimpinnya lewat pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara
langsung. Lambat namun pasti, hak rakyat dalam memilih presiden di masa akan
datang niscaya akan direnggut juga.
Atas nama
Pancasila sila ke-4 yang berdasarkan permusyawaratan dan perwakilan, mereka akan melaksanakan pemilihan presiden
cukup melalui DPR saja. Sekelompok elit ini ingin agar presiden berasal dari
kelompoknya, tidak peduli jika mayoritas rakyat menolaknya. Para elit ini
trauma karena telah kalah dalam pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.
Maka cara satu-satunya untuk berkuasa adalah merampok hak rakyat dalam memilih
pemimpinnya lewat anggota DPRD. Amandemen UUD pun tengah dirancang oleh suatu
koalisi agar Pilpres secara langsung dihapus dan digantikan lewat pemilihan
oleh anggota DPR/MPR seperti masa lalu. Inilah oligarki!
Pemerintahan Oligarki
Sistem
pemilihan kepala daerah apalagi pemilihan kepala negara secara tidak langsung
dan kemudian diserahkan kepada segelintir elit politikus merupakan perwujudan
pemerintahan oligarki yang nyata. Hak-hak dan partisipasi rakyat dalam
menentukan pemimpin dan kebijakan telah diambil sekelompok elit yang merasa
dirinya sebagai wakil rakyat.
Tidak
ada satu partai pun ketika pemilu legislatif mengkampanyekan pilkada tidak
langsung. Pilkada tidak langsung merupakan reaksi dari kekecewaan mereka
terhadap kekalahan Pilpres secara langsung. Dalam benak mereka tentu ada suatu
pemikiran, jika seandainya Pilpres dilaksanakan secara tidak langsung tentu
capres/cawapres mereka akan terpilih. Agenda pertama mereka adalah pilkada
tidak langsung, agenda selanjutnya adalah pilpres tidak langsung juga.
Oligarki menutup akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik
bagi warga masyarakat yang bukan merupakan bagian dari “geromboloan elit” tersebut. Akibatnya,
akses ekonomi dan politik hanya
berputar di sekeliling mereka,
para oligarki. Maka yang akan
menjadi kepala daerah maupun kepala negara di masa depan adalah orang-orang
tertentu yang punya kekuatan finansial, kekuasaan politik, dan tokoh-tokoh
parpol yang punya kemampuan melobi para elit oligarki lainnya.
Untuk
menjadi kepala daerah dalam pilkada tidak langsung tidak perlu popularitas,
tidak perlu prestasi, tidak perlu kapabilitas dan integritas, tidak perlu
kampanye, tidak perlu memaparkan visi dan misi, tidak perlu mendekat kepada
rakyat, tidak perlu ada debat kandidat, dsb. Yang perlu hanyalah uang dan
pendekatan kepada anggota DPRD! Jika anggota dewan 100 orang, cukup pendekatan
dengan 51 anggota saja. Tiap anggota diberi Rp 3-5 miliar, selesai sudah
pemilihan kepala daerahnya. Dan untuk selanjutnya kepala daerah tidak perlu
mengurusi rakyat karena sang kepala daerah hanya menjadi “sapi perah” yang
harus melayani keinginan para anggota dewan.
Adalah sangat berbahaya jika kekuasaan di
negara ini jatuh pada para oligarki. Jika kepala daerah apalagi kepala negara
dipilih oleh DPRD dan DPR/MPR, maka yang terjadi adalah kepala daerah dan
kepala negara hanya sibuk melayani para anggota DPRD dan DPR/MPR. Logikanya
sederhana, jika para pemimpin tersebut dianggap tidak bisa memuaskan para
anggota dewan, maka bisa diganti setiap waktu. Sebab, pengangkatan dan
pemberhentian mereka ada di tangan anggota dewan. Rakyat akan diabaikan karena
para elit sibuk berbagi kompensasi. Ini keadaan yang genting, sehingga sangat
wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu untuk
mengembalikan kembali hak-hak rakyat dalam memilih pemimpin daerahnya.
Bahaya Oligarki
Oligarki
menjalankan pemerintahan dengan bersandar pada kepentingan sekompok orang.
Kekuasaan dalam oligarki mengikuti postulat kekuasaan Duverger (1993) bahwa
kekuasan terdiri dari seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan
otoritas, yang berarti ada dominasi beberapa orang terhadap orang lain. Ada institusi
(jabatan), ada otoritas (kewenangan/kekuasaan) dan ada obyek yang akan dikuasai
atau didominasi. Obyek yang dikuasasi itu adalah rakyat, yang kesadaran
politiknya masih “hijau”, yang
tidak tahu jika hak-hak politiknya telah dirampas.
Kekuasaan digunakan untuk mengokohkan kepentingan politik
oligarki hingga selama-lamanya. Keuntungan politik dan ekonomis dikeruk dan
digunakan semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri. Oligarki tidak berpijak
pada kepentingan kolektif, tapi kepentingan kelompok atau orang perorang.
Demokrasi bertentangan dengan oligarki. Jika dalam demokrasi,
kekuasaan tertinggi adalah rakyat, maka dalam oligarki, kekuasaan tertinggi
berada ditangan para elit.
Rakyat hanya pada posisi sub-ordinat kekuasaan oligarki. Segala tindakan dan
keputusan yang dibuat, semata-mata ditujukan bagi kepentingan mereka, para
oligarki itu. Mereka selalu
memanipulasi atas nama kepentingan rakyat.
Oligarki berbahaya bagi kelangsungan demokrasi karena memicu
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang sangat luas, terstruktur
dan masif. Oligarki memicu pemerintahan yang korup karena tidak bersandar pada
prinsip pemerintahan yang baik (good governance).
Namun walaupun sangat berkuasa, oligarki memiliki “cacat”
atau kelemahan. Oligarki tidak akan tumbuh dan berkembang sangat kuat dalam
masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Karena masyarakat sipil
paham bahaya oligarki. Oligarki hanya kuat dalam kondisi masyarakat yang lemah
secara ekonomi dan politik. Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah
kunci suskesnya oligarki. Maka tidak ada kata lain, untuk mencegah berkuasanya
oligarki, masyarakat sipil harus kuat.
Untuk itu
masyarakat sipil harus disadarkan bahwa ada kekuatan besar di republik ini yang
telah merencanakan dan tengah bergerak untuk mewujudkan sistem oligarki
kekuasaan di negeri ini. Segelintir elit ini berambisi agar segenap kekuasaan
yang ada di negeri ini berada di tangan mereka. Jika kita tidak mau tahu, tidak
mempunyai kesadaran akan hal ini, atau bahkan malah mendukung mereka,
ucapkanlah,”Selamat datang oligarki!” ***