Anggaran Siluman di Setiap Sendi Kehidupan

Anggaran Siluman di Setiap Sendi Kehidupan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 9 Maret 2015

            Beberapa minggu ini, pemberitaan nasional diramaikan perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau akrab dipanggil Ahok versus DPRD DKI Jakarta. Perseteruan ini disebabkan adanya tudingan Ahok soal anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun dalam APBD DKI Tahun Anggaran 2015 yang diduga ‘dimainkan’ oleh oknum-oknum tertentu. Perseteruan berbuntut pada ekses politik dan hukum, DPRD DKI menggulirkan hak angket sementara Ahok melaporkannya ke KPK.

            Tulisan ini tidak akan membahas perseteruan Ahok vs DPRD DKI lebih lanjut. Perseteruan tersebut menyadarkan kepada publik bahwa anggaran siluman sebenarnya telah menjadi ‘makanan pokok’ baik pihak eksekutif (kepala daerah dan jajarannya) juga pihak legislatif (anggota DPRD). Hanya baru kali ini Ahok sebagai gubernurlah yang berani mengungkap borok tersebut.    
            Anggaran siluman sebenarnya telah ada di setiap sendi kehidupan kita. Anggaran siluman secara sederhana adalah anggaran yang berasal pendapatan daerah (dari pajak yang kita bayarkan dan pendapatan daerah lainnya) yang diperuntukan untuk pembangunan yang nilainya tidak sebanding dengan bentuk jasa atau barang yang telah dianggarkan.
            Beberapa tahun lalu, sekolah tempat saya mengajar mendapat anggaran pembangunan gedung perpustakaan. Pemenang tender telah ditentukan, pihak sekolah hanya menentukan letak dan terima kunci saja. Nilai proyek anggaran Rp 181 juta untuk membangun gedung perpustakaan ukuran 6 x 8 meter.
            Perpustakaan memang selesai pada waktunya, tapi nilai Rp 181 juta tersebut nyata-nyata tidak sebanding dengan kualitas gedung yang dibangun. Lantai keramik murahan, kusen jendela dan pintu dari kayu bermutu rendah bahkan tidak bisa dikunci dengan baik, plafon asbes yang retak, dinding juga dicat asal-asalan, atap seng biasa, tidak ada jaringan kabel listrik, dan kejanggalan lainnya.
Ketika saya bertanya kepada seorang pemborong bangunan, dia berkata bahwa anggaran Rp 210 juta tersebut kemahalan. Kalau dia yang mendapat borongan tersebut, dia berani kasih harga Rp 150 juta, dan itu bisa tiga kali lebih bagus dan berkualitas dari pemenang tender yang mengerjakannya asal-asalan.
Setelah mendapat anggaran gedung perpustakaan, sekolah juga mendapat anggaran satu unit komputer, laptop, dan printer dengan besaran anggaran Rp 32 juta. Tapi spesifikasi komputer, laptop dan printer tersebut jauh dari harganya. Harga pasaran untuk ketiga barang tersebut di pasaran cuma di kisaran Rp 12 juta. 
Kita juga patut bertanya, cukup pantaskah satu unit UPS (Uninteruptable Power Supply) untuk sekolah-sekolah seharga Rp 5,6 miliar? Padahal dengan spesifikasi yang sama, harga UPS tersebut di pasaran ditambah dengan biaya pemasangan maksimal hanya Rp 300 juta.       
Praktik Lama
            Praktik anggaran siluman sebenarnya telah berlangsung lama yang melibatkan kongkalikong antara eksekutif dan legislatif. Nilai anggaran tinggi tapi hasil yang dikerjakan mengecewakan. Sudah menjadi rahasia umum jika proyek-proyek dalam APBD, pemenang tender selalu dikuasai kerabat dekat dari kepala daerah atau pihak anggota DPRD.
Akibatnya, kita sering merasa pemerintah tidak pernah hadir di dalam kehidupan kita. Jalan-jalan di kampung atau pinggiran kota hancur selama bertahun-tahun tanpa pernah diaspal. Jalan tersebut kemudian diurus warga sendiri dengan bergotong royong. Supaya jalanan aman dari begal motor, warga  harus mencantol kabel PLN secara ilegal dengan lampu neon urunan warga.
Meminjam ungkapan Rhenald Kasali yang dimuat dalam Kompas.com (2/3/2015). Pemerintah kita kerap bertindak seperti “orang bodoh”. Kita juga sering melihat betapa “bodohnya” pemerintah memberikan hibah peralatan yang sama sekali tak bisa dipakai. Pengusaha UMKM mendapat alat potong tempe, tetapi pisaunya kebesaran. Rumah sakit mendapatkan alat-alat kesehatan, tetapi jarumnya setebal jarum suntik  sapi, sarung tangan operasi untuk ukuran tangan orang Afrika, atau plester operasi yang lengket. Praktik seperti itu sudah lama kita dengar dan lihat sendiri.
Sekarang borok-borok yang sudah lama kita rasakan itu hendak dibuka oleh Gubernur DKI. Dan saya hampir memastikan tidak ada gubernur, bupati atau walikota yang seberani Ahok dalam membuka modus anggaran siluman ini. Kita berharap media massa tidak buru-buru menutup kasus ini. Kita harus memasang lampu yang terang di tengah-tengah sarang tikus, memasang jerat yang kuat dan memasang sistem pencegahan baru yang tak bisa lagi ditembus oleh para siluman dan mafia anggaran. Negeri ini tengah disandera para mafioso dari atas sampai ke bawah. 
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sebagian besar peserta tender barang-barang dan jasa pemerintah adalah pengusaha abal-abal. Selain alamat kantornya tidak jelas, pengurusnya pun tak dikenal. Apalagi kehandalan teknisnya. Mereka umumnya punya beberapa perusahaan yang dipakai dengan satu tujuan memenangkan lelang tender.
Dalam kasus pengadaan UPS seharga Rp 5,6 miliar per unit untuk 49 sekolah di Jakarta  kebanyakan adalah perusahaan siluman. Alamat perusahaan tidak jelas, pemiliknya tidak diketahui siapa, bahkan legalitas perusahaan patut dipertanyakan. Perusahaan pemenang tender setelah dicek ternyata beralamat di sebuah gudang tepung ikan, ada yang beralamat tempat rental PS (Playstation), ada yang cuma rumah kontrakan, bahkan ada yang tidak diketahui alamatnya. Bukankah pemerintah sangat-sangat bodoh? 
Praktik Balik Modal
   Anggaran siluman juga menyangkut proyek “yang mengada-ada” yang seharusnya memang tidak perlu ada. Banyak barang-barang yang diberikan negara bukanlah barang yang dibutuhkan rakyat. Perpustakaan kami memang butuh buku untuk anak-anak SD, tapi yang diberikan pemerintah buku-buku yang cocok untuk siswa SMA atau mahasiswa. Rakyat butuh jalan aspal, tapi yang diberikan pemerintah pembangunan gapura jalan. Petani membutuhkan pupuk bersubsidi dan benih unggul, tapi yang diberikan buku-buku pertanian.
Anggaran siluman menyebabkan kualitas barang dan jasa yang diterima rakyat tidak sesuai dengan nilainya. Rakyat selalu dirugikan. Harga yang dibayar sangat mahal untuk barang berkualitas sangat buruk. Bayangkan saja harga UPS sebesar Rp 5,6 miliar padahal harga yang wajar hanya Rp 300 juta. UPS seharga Rp 5,6 miliar itu pun kemudian tidak bisa dipakai oleh sekolah-sekolah, tiga bulan pakai sudah bermasalah. Pemerintah memberi kursi, meja dan lemari (mobiler) untuk sekolah-sekolah. Tapi sebulan dipakai sudah rusak karena kayunya kualitas rendah.  
Ada juga pengadaan laptop seharga Rp 15 juta dengan merek abal-abal, padahal di pasaran dengan spesifikasi yang sama cuma Rp 4 juta. Harga gedung sekolah seharusnya Rp 250 juta, dimark up menjadi Rp 1 miliar. Harga perahu fiberglass nelayan mahal menjadi Rp 200 juta per unit dan ketika dipakai lima bulan sudah rusak. Padahal harga di pasaran cuma Rp 100 juta itupun sudah kualitas terbaik tahan 5 tahun. 
Anggaran siluman dalam APBD merupakan praktik ‘membalikkan modal’. Eksekutif atau kepala daerah merasa perlu membalikkan modal setelah habis-habisan bertarung dalam pilkada. Legislatif atau para anggota DPRD juga harus membalikkan modal setelah modalnya banyak terkuras dalam pileg. Maka yang terjadi adalah sektor-sektor dalam APBD dikapling oleh pihak-pihak tersebut lewat tender-tender proyek. Si A dapat proyek apa, si B dapat proyek apa, dan seterusnya sudah ada kapling-kaplingnya.

Anggaran siluman memang telah merasuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita. Mulai dari pengadaan sarana jalan, jembatan, fasilitas pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan sebagainya. Setiap pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah selalu tak lepas dari praktik kolusi dan koruspi lewat mark up atau penggelembungan harga.  Inilah sebenarnya musuh besar kita bersama pasca-reformasi, korupsi dan kolusi yang massif dan berjamaah.  ***