Mencermati Celoteh “Ilmuwan Tukang” di Televisi
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 1 September 2014
Kosakata “ilmuwan tukang” pertama
kali diperkenalkan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dimuat dalam
Majalah Berita Mingguan Gatra Edisi 2 Maret 1996. Gus Dur dalam tulisannya
mensinyalir banyak akademisi, ilmuwan, pakar, intelektual, atau pengamat
sosial, hukum, politik dsb yang tak obyektif dalam memandang suatu persoalan.
Gus Dur lebih jauh bahkan menuduh
jika mereka bekerja untuk kepentingan kelompok tertentu yang membayar mereka
dengan mengabaikan kaidah-kaidah etika dan ilmiah. Intelektual seperti itu
hanya menjadi tukang, ilmuwan pesanan yang akan terus berbicara untuk membela
yang bayar.
Mencermati beberapa bulan khazanah
televisi nasional kita, sejak dari pra dan pasca Pilpres kita dapat menilai
stasiun televisi mana yang kerap menampilkan para narasumber “ilmuwan tukang”.
Silakan mencermati televisi mana yang memesan survei Pilpres abal-abal, quick
count (hitung cepat) dengan hasil asal-asal, menampilkan real count (versinya
sendiri) yang kemudian hanya bual, dan analisis dari para “ilmuwan tukang” yang
hanya gombal.
Tidak jera setelah gagal total dalam
menyewa ilmuwan “tukang survei”, stasiun televisi ini kerap menggelar acara
talk show dengan menampilkan para narasumber “ilmuwan tukang”. Kita dapat
menilai dari komentar, pandangan atau analisis yang mereka sampaikan. Mereka
seakan telah menjadi provokator dan agitator bahwa Pilpres tidak sah, KPU curang,
Bawaslu curang, TNI-Polri tidak netral, aparat pemerintah berpihak dan
sebagainya.
Bahkan ketika ada proses persidangan
di DKPP dan MK, para ilmuwan tukang ini yakin 100% kalau permohonan Prabowo
akan dikabulkan. Mereka berceloteh jika saksi dan bukti yang diajukan ke MK
valid dan pasti diterima. Dan ironisnya ketika DKPP dan MK mempunyai keputusan
yang lain, lagi-lagi mereka berkomentar jika keputusan MK tidak memenuhi rasa
keadilan rakyat.
Ada seorang narasumber yang
mengibaratkan Pilpres seperti segelas air susu yang telah tercemar oleh setitik
nila. Walaupun cuma setitik, maka nila ini akan merusak segelas susu secara
keseluruhan. Sehingga jika ada kesalahan atau kecuarangan di satu TPS saja maka
secara keseluruhan Pilpres tersebut akan rusak juga, bahkan tidak legitimate. Sebuah
pendapat yang super ngawur.
Setelah putusan MK, para ilmuwan
tukang ini ternyata tidak berhenti berceloteh. Mereka selalu berkoar tentang
Pilpres yang tidak sah, tidak legitimate, dan Pilpres yang curang. Mereka
mencoba membangun opini masyarakat untuk mendelegitimasi pemenang Pilpres,
bahwa pemerintahan ke depan didirikan di atas kecurangan. Mereka seakan-akan
tidak punya rasa malu jika analisis dan prediksi mereka selama in telah salah
total.
Tapi kita harus maklum, yang namanya
ilmuwan tukang, mereka tentu akan berbicara seperti yang diinginkan yang
membayar, merasa terkenal karena kerap tampil di tv, dan merasa semakin pakar
karena kerap menjadi narasumber di tv. Mereka tidak akan berani bersuara lain
seperti yang diinginkan pihak tv. Tapi ada juga yang masih punya hati nurani
dan integritas dengan menolak bersuara sama seperti yang diinginkan oleh pihak
tv. Hanta Yudha dengan Lembaga Survei Poltracking menolak mengubah hasil survei
agar sesuai dengan pesanan sebuah stasiun televisi. Ilmuwan seperti ini yang
patut kita puji.
Obyektivitas Ilmuwan
Mendengar, melihat, dan
membaca keterangan
yang diberikan para saksi ahli pemohon dalam persidangan di MK, saya pun
bertanya-tanya, hanya segitu sajakah keilmuwan mereka? Ada dua pendapat saksi
ahli pemohon yang saya nilai benar-benar tidak masuk akal berkenaan dengan
DPKTb dan pemilu sistem ikat (noken) di Papua. Bahkan di dunia maya, ada komentar "Berapa tarif para saksi ahli tersebut?" Masyarakat
mempertanyakan obyektivitas para saksi ahli tersebut terkait dengan kedudukan
mereka sebagai ilmuwan yang seharusnya obyektif, atau sebagai tukang yang hanya
memberikan keterangan sesuai dengan keinginan pemesan?
Tidak ada salahnya jika para ilmuwan
tersebut dibayar atas buah pikirannya, bahkan mereka harus dibayar dengan harga
yang pantas untuk menghormati profesionalitas mereka. Tapi menjadi masalah,
bahkan tidak etis jika kemudian terjebak menjadi “tukang” yang hanya bekerja
dan didikte oleh sang pemesan sehingga mengabaikan etika, logika, dan kaidah
keillmuwan yang mereka miliki. Jika hal ini maka akan terjadi “pelacuran”
intelektual yang membahayakan bangsa ini.
Jika dahulu ketika zaman Gus Dur
menelorkan kosakata “ilmuwan tukang” ini karena ada fenomena para intelektual
pada masa itu tidak berani menyuarakan kebenaran. Mereka hanya tunduk dan patuh
pada kepentingan dan keinginan penguasa. Kerja mereka mirip penjilat agar
kedudukan mereka di kampus tidak terusik bahkan diharapkan akan terus naik.
Para ilmuwan tukang ini bahkan
pernah menikmati masa kejayaannya, mereka dikenal sebagai
ilmuwan dan tulisannya sering muncul di media massa.
Sehingga banyak masyarakat yang percaya. Namun
bukannya mengeluarkan pernyataan yang sesuai dengan
ilmunya dan kepentingan masyarakat banyak, mereka
membuat penelitian/pernyataan berdasarkan pesanan si
pembayar. Oleh karena itu disebut "ilmuwan tukang".
Zaman berubah, jika dahulu ilmuwan tukang dipesan oleh
penguasa sebagai alat propaganda. Kini ilmuwan tukang juga dipesan sebagai alat
pembentuk opini. Pemesannya bukan lagi pemerintah atau penguasa, pemesannya
bisa korporasi, partai politik, dan pemilik media massa.
Peran para ilmuwan tukang dalam membentuk opini ini
ternyata berhasil. Walaupun berkali-kali salah dalam membuat survei Pilpres,
quick count, dan real count, tapi masih ada saja yang percaya dengan omongan
mereka. Masih ada saja masyarakat yang mengakses berita atau narasumber dari
stasiun tv yang menyebarkan celoteh ilmuwan tukang tersebut. Inilah salah satu
keberhasilan ilmuwan tukang dalam membentuk opini publik. Banyak pendukung
fanatik yang mempercayai semua omongan mereka. Sehingga mereka akan tetap terus
tampil dan tampil lagi di stasiun tv tersebut.
Pragmatisme Tukang
Ketika opini dianggap sebagai realita maka yang terjadi
adalah distorsi informasi. Kubu Prabowo-Hatta pernah melakukan sujud syukur dan
mengadakan acara syukuran atas kemenangan dalam Pilpres lalu. Pendukung kubu
Prabowo-Hatta juga melakukan sujud syukur ketika mendengar isu bahwa gugatan
Prabowo-Hatta dikabulkan MK. Siapa yang salah?
Tujuan ilmuwan tukang tentu ingin menyenangkan
majikannya. Untuk itulah mereka membuat informasi bahwa majikannya menang
pemilu. Ilmuwan tukang di sini termasuk orang-orang yang terlibat dalam lembaga
survei, tim ahli, tim pemenangan, tim advokasi, dan para ilmuwan atau akademisi
yang dibayar untuk menyuarakan keinginan yang membayar. Biasanya mereka akan
membuat laporan ABS atau asal bapak senang. Walaupun secara realita mengalami
kekalahan, tapi laporan kepada majikan menyatakan bahwa mereka yang menang.
Jika kemudian terbukti kalah, mereka akan menyiapkan jurus berikutnya, bahwa
ada kecurangan yang mencuri kemenangan mereka.
Lebih parah lagi sang majikan tidak legowo menerima
kekalahan, dan lagi-lagi para ilmuwan tukang menghasut lagi. Masih ada cara
lain, setelah di DKPP dan MK tidak berhasil, mereka akan mengadu ke PTUN dan
MA. Bahkan ada wacana untuk melaporkan ke kepolisian dan kejaksaan dengan
melakukan gugatan baik secara perdata dan pidana kepada Ketua dan Anggota
KPU.
Inilah pragmatisme tukang, selalu ada cara untuk
memperpanjang “order” agar uang terus mengalir di saku mereka. Jika hal ini
terus diperpanjang maka niscaya tidak akan pernah usai. Bahkan setelah
keputusan MK mereka akan tetap menganggap keputusan tersebut tidak ada. Mereka
akan tetap membangun opini bahwa Pilpres 2014 telah terjadi kecurangan
secara terstruktur, sistematis, dan masif. Mereka akan tetap terus melakukan delegitimasi, bahkan ada usaha-usaha
agar pelantikan Joko Widodo - Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden
terpilih 2014-2015 ditunda.
Ilmuwan tukang saat ini memang tengah mengalami
kejayaannya. Mereka difasilitasi oleh korporasi, partai politik, dan pemilik
media. Wajah-wajah mereka kerap muncul di tv, mengalahkan wajah-wajah jelita
para pemain sinetron. Jika kita mau berpikir secara logis dan kritis maka kita
bisa menilai bahwa omongan mereka ternyata hanya sebatas celotehan untuk
menyenangkan yang membayar mereka. ***