Menyoal Revisi UU MD3
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 18 Juli 2014
Di tengah konsentrasi rakyat
Indonesia menghadapi Pilpres 9 Juli lalu, ternyata wakil-wakil rakyat kita di
Senayan dalam hal ini anggota DPR telah memutuskan kebijakan yang sangat
kontroversial. Melalui proses voting dalam sidang paripurna DPR (8/7/2014), mereka merevisi UU No.27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang kemudian dikenal dengan UU
MD3.
Ada dua hal pokok yang harus dipersoalkan dalam revisi UU
MD3. Pertama, Pasal 84 yang menetapkan
calon ketua DPR dan keempat wakilnya harus diajukan gabungan fraksi dan dipilih
anggota DPR masa bakti 2014-2019 dalam sidang paripurna. Perubahan pasal ini mempunyai implikasi pada kursi ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi serta merta diserahkan kepada partai
pemenang pemilihan umum legislatif (Pileg) dalam ini PDIP.
Sebelumnya dalam UU MD3 yang lama,
pimpinan DPR maupun alat kelengkapan diberikan secara proposional sesuai hasil Pileg. PDIP dipastikan akan kehilangan jatah kursi Ketua DPR.
Namun kader PDIP di DPR masih tetap dapat menjabat Ketua DPR jika berhasil
memenangkan pemilihan pimpinan DPR.
Tapi hal tersebut tidaklah mudah, karena koalisi PDIP, PKB, Partai
Nasdem, dan Partai Hanura, akan kalah suara melawan koalisi Partai Gerindra,
Partai Golkar, PAN, PPP, PKS (dan kemungkinan juga Partai Demokrat). Pemilihan
pimpinan DPR sendiri baru akan berlangsung pasca anggota DPR periode 2014-2019
dilantik 1 Oktober 2014.
Sekadar diketahui,
sejak Pileg
1999, PDIP belum pernah menduduki
kursi
Ketua DPR. Ketua DPR periode 1999-2004 dijabat oleh politikus Partai Golkar
Akbar Tanjung. Kemudian
pada 2004 lahirlah UU MD3 yang menjadi kesepakatan bersama bahwa yang menjadi
Ketua DPR berasal dari partai pemenang Pileg. Maka Ketua
DPR periode 2004-2009 dijabat politikus Golkar Agung Laksono karena Partai Golkar memenangkan Pileg 2004.
Sedangkan Ketua DPR periode 2009-2014 dijabat politikus Partai Demokrat Marzuki
Alie karena Partai
Demokrat menang pada Pileg 2009.
Berdasarkan fakta historis inilah kita patut menduga ada konspirasi
untuk menjegal langkah politikus dari PDIP untuk menjadi ketua DPR. Ada nuansa
penzaliman dan ketidakadilan yang menimpa PDIP. Jika dalam dua Pemilu sebelumnya,
pemenang Pileg otomatis menjadi ketua DPR. Kini ketika PDIP memenangi Pileg,
aturan tersebut mendadak diubah dengan mekanisme voting, yang tentu PDIP dan
koalisinya kalah suara.
Keputusan sidang paripurna DPR untuk tidak
lagi menyerahkan kursi ketua DPR kepada partai pemenang pemilu mencerminkan
sikap politisi yang lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek yang
berorientasi pada kekuasaan daripada kepentingan
rakyat secara umum. DPR tidak lebih dari
segerombolan orang yang siap melakukan apa saja untuk membela kepentingan
pribadi, golongan dan partainya.
Kebal Hukum
Kedua, yang patut dipersoalkan dalam revisi UU MD3 adalah
menjadikan anggota DPR sebagai manusia yang kebal hukum. Seperti
diketahui dalam revisi UU MD3 tersebut
ada pasal
kontroversi yang mengatur
bila anggota DPR akan diperiksa untuk kasus pidana harus ada izin dari Dewan
Kehormatan DPR.
Dalam
UU MD3, Pasal
245 ayat 1 UU menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ayat 2 disebutkan
bahwa persetujuan tertulis diberikan oleh MKD Dewan paling lama 30 hari.
Namun
ada pengecualian pada ayat 3 yaitu pihak kepolisian, kejaksaan dan KPK tidak
perlu meminta izin dari MKD untuk
memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b)
disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan
dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup (c) disangka
melakukan tindak pidana khusus.
KPK mempertanyakan manfaat revisi UU MD3 yang
salah satunya memuat aturan mengenai perlunya izin MKD saat penegak hukum ingin memanggil dan permintaan
keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Bagi KPK malah menjadi potensi kerugian karena dengan izin MKD yang paling lambat 30 hari itu bukti bisa hilang,
padahal penegakkan hukum harus cepat.
Ketua KKPK, Abraham Samad, dalam siaran persnya (11/07/2014) menilai
pengesahan revisi UU MD3, merupakan
bukti sikap DPR yang anti dan
tidak mempunyai keinginan terhadap pemberantasan korupsi di
Indonesia. "Karena
dia berusaha membuat aturan yang membentengi dirinya sendiri," kata Abraham.
Revisi UU MD3, hanya untuk membatasi ruang gerak aparat
penegak hukum untuk menjerat anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi. Melalui UU MD3, anggota DPR seolah mendapatkan
kekebalan hukum. Padahal, kekebalan hukum tersebut seharusnya tidak boleh ada. Karena azas persamaan di depan hukum harus tegak
untuk semua warga negara.
Dari
langkah-langkah ini kita dapat menilai, mana partai yang pro pada pemberantasan
korupsi, dan mana yang enggan memberantas korupsi. Revisi UU MD3 diprakarsai
oleh koalisi tenda besar yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PPP, PKS, dan Partai Demokrat.
Sementara PDI Perjuangan, Hanura
dan PKB memilih “walk out” dari sidang paripurna. Dan DPR
tetap mengesahkan revisi UU MD3 tersebut.
Uji Materi
Selain KPK, banyak pihak yang menyayangkan
waktu pengambilan keputusan. Setiap
pascapemilu atau menjelang pelantikan anggota DPR RI atau presiden-wakil
presiden, selalu ada perubahan-perubahan yang dilakukan secara mendadak.
Seharusnya rumusan undang-undang yang dihasilkan bukan untuk kepentingan jangka
pendek dengan orientasi kekuasaan.
Sebagai contoh, bagaimana
pada pemilu 2004-2009 ada
usulan partai pemenang pemilu legislatif langsung mendapat jatah untuk mengirimkan
wakilnya menjadi ketua DPR. Memang, apapun yang
dilakukan atau diperdebatkan di parlemen pasti sarat dengan motif politik. Namun, satu
hal yang harus dipikirkan politisi adalah perasaan masyarakat, bagaimana
kepentingan nasional ke depan, tidak hanya memikirkan periode 2014-2019.
Sehingga, kalaupun pasal harus diubah, itu berdasarkan berbagai perspektif yang
argumentasinya bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai pada pemilu 2019
direview dan diubah kembali karena
pemenangnya telah berbeda.
Ke depan,
karena UU MD3 ini masih berupa draft revisi rancangan undang-undang, maka kita
sebagai warga negara dapat mendorong berbagai elemen dalam masyarakat untuk
bersiap-siap mengajukan uji materi terhadap RUU MD3 ini setelah diterbitkan
sebagai undang-undang (UU) ke Mahkamah Konstitusi.
PDIP sebagai
pihak yang berkepentingan karena hak-hak konstitusional untuk menduduki kursi
ketua DPR telah dirampas, tentu akan mengajukan uji materi ke MK. Selain itu untuk
pasal yang memberi kekabalan hukum kepada para anggota DPR, tentu banyak elemen
masyarakat, LSM, akademisi, dan pegiat antikorupsi yang juga akan mengajukan
uji materi UU MD3 ini. Gerakan-gerakan pengumpulan petisi juga tengah marak di
dunia maya melalui media sosial maupun penggalangan dukungan di jalanan. ***