Pilpres dan Manipulasi Survei

Pilpres dan Manipulasi Survei
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 7 Juli 2014

            Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) akan digelar 9 Juli nanti. Tapi sejak April hingga awal Juli berbagai lembaga survei telah mengumumkan hasil jajak pendapat tentang siapa presiden terpilih. Ada yang mempublikasikan pasangan Prabowo-Hatta memenangi Pilpres, tapi yang lainnya mempublikasikan Jokowi-Kalla yang memenangi Pilpres. Mana yang benar?

            Perbedaan hasil di tiap lembaga survei adalah hal wajar, masing-masing lembaga survei mempunyai metodologi, jumlah sampling, cakupan wilayah, sebaran demografis, kondisi ekonomi, gender, dan waktu survei yang berbeda-beda. Kondisi ini bertambah bias ketika lembaga survei terafiliasi oleh pasangan capres. Atau bisa juga lembaga survei tersebut memang sengaja dibiayai oleh tim sukses pasangan capres tertentu.  
               Maka yang terjadi adalah publikasi survei menjadi alat kampanye untuk menaikkan elektabilitas pasangan capres. Publikasi survei biasanya dirilis melalui media, baik cetak, elektronik, maupun elektronik. Media online, televisi, atau surat kabar juga telah terafiliasi oleh dukungan terhadap pasangan capres, sehingga publik sulit untut menuntut independensi.
Hasil Survei   
            Jika kita browsing di dunia maya, maka secara garis besar saat ini ada sembilan lembaga survei yang kerap mempublikasikan survei Pilpres, dengan hasil sebagai berikut: hasil survei Populi Center yang dipublikasikan pada (4/6) menyebutkan Prabowo-Hatta mengumpulkan 36,9% sedangkan Jokowi-JK sebesar 47,5% dan suara yang masih mengambang 14,4%.
Publikasi survei SSSG atau Soegeng Sarjadi School of Government (5/6) menyebutkan Prabowo-Hatta mengumpulkan 28,35% sedangkan Jokowi-JK sebesar 42,65% dan suara mengambang 29%. Hasil survei ARC (Alvara Research Center) yang dipublikasikan pada (5/6) menyebutkan Prabowo-Hatta mendapatkan 29% dan Jokowi-JK mendapatkan 38,8% serta suara mengambang 32,3%.
Cyrus Network menyebutkan Prabowo-Hatta mendapatkan 41,1% sedangkan Jokowi-JK mendapatkan 53,6% dan suara mengambang 5% (10/6). Hasil survei Lembaga Survei Nasional atau LSN (12/6) menyebutkan Prabowo-Hatta mendapatkan 46,6% dan Jokowi-JK mendapatkan 38,8% sedangkan suara mengambang 14,9%. Lembaga survei PDB (Pusat Data Bersatu) menyebutkan (14/6) Prabowo-Hatta mendapatkan 31,8% dan Jokowi-JK mendapatkan 29,9% sedangkan suara mengambang 17,2% dan suara yanbg masih rahasia sebesar 19,4%.
Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan Prabowo-Hatta mendapatkan 38,7% dan Jokowi-JK mendapatkan 45% serta suara mengambangg 14,4% (15/6). Survei Pol Tracking Institute menyebutkan Prabowo-Hatta mendapatkan 41,1% dan Jokowi-JK mendapatkan 48,05%, sedangkan suara mengambang 10,4% (15.6). Terakhir survei Indo Barometer menyebutkan Prabowo-Hatta mendapatkan 36,5% dan Jokowi-JK mendapatkan 49,9%, suara mengambang 11% dan suara yang masih rahasia sebesar 1,5% (17/6).
Dengan demikian dari sembilan lembaga survei itu hanya LSN dan PDB menempatkan Prabowo-Hatta sebagai pemenang, sedangkan tujuh lembaga survei lainnya menempatkan Jokowi-JK tetap teratas. Mana yang benar? Kita tunggu saja tanggal 9 Juli nanti.
Lembaga Survei
            Lembaga survei saat ini tengah menghadapi ujian kredibilitas, hal ini disebabkan banyak lembaga survei yang menjadikan prinsip independen hanya sebagai pajangan. Jika benar-benar independen, seharusnya lembaga survei berani menyatakan ke publik sebagai lembaga independen serta membuka semua informasi tentang sumber dana, sponsor, dan kepentingan survei.
            Kemudian harus ada pembelajaran kepada rakyat tentang apa itu survei, dan harus tetap kritis saat menerima siaran pers atau mengikuti jumpa pers yang agendanya pemaparan hasil survei. Harus paham apa itu sampling error dan nonsampling. Jadi, jangan melulu disajikan berapa margin error saja, tapi juga bagaimana pertanyaan, pemilihan responden, kualitas interviewer, dan sebagainya. Media (yang indpendenden) sebenarnya bisa melindungi masyarakat dari informasi survei yang menyesatkan.
            Secara ilmiah, seharusnya setiap hasil survei bisa dipertanggung jawabkan. Karena ini menyangkut kredibilitas penelitinya. Tetapi saat ini sangat susah mencari kejujuran yang sepertinya sudah tergadai dengan berbagai kepentingan. Hasil survei bisa diarahkan dan publikasikan agar bisa dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan apa saja, termasuk meningkatkan atau menurunkan elektabilitas siapapun. Karenanya, masyarakat harus lebih waspada dan menyimak dengan lebih seksama. Jadi, jangan asal percaya hasil survei, apalagi yang tidak clear secara metodologi dan rekam jejak lembaganya tidak jelas.
            Mengutip David W. Moore (2008), mantan editor senior lembaga survei opini publik terkemuka Gallup Poll dalam buku "The Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polls". Di buku itu, Moore menelanjangi apa yang sebenarnya kerap berlaku di lembaga poling (survei), bahwa mereka lebih tertarik pada pabrikasi atau pembentukan opini publik dengan menarik perhatian media massa, ketimbang mengungkap opini masyarakat yang sebenarnya.
Dari bukunya, Moore melihat bahwa kebanyakan poling tidak bertanggungjawab pada apakah responden sudah memahami isu yang menjadi subjek survei. Mereka juga terlalu berani menyimpulkan sikap publik sebagai konstan padahal pandangan publik terus berubah. Lembaga poling juga sering mengabaikan responden yang belum menentukan pilihan, padahal kelompok ini kerap menentukan dan menjadi bagian terbesar pemilih.
Karena memfokuskan pada siapa calon terkuat dan siapa kuda hitamnya, lembaga survei kerap mengabaikan keadaan sebenarnya bahwa pada bulan-bulan sebelum pemilu berlangsung, banyak pemilih belum menentukan sikap dan tak terjaring oleh survei. Tak hanya itu, kebanyakan jajak pendapat kerap menyamakan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai subjek survei dan menyederhanakan samarnya perilaku pemilih dengan menguburnya melalui narasi heboh yang melenceng dari hasil survei.
Karena begitu mudahnya memanipulasi survei, hasil survei pun sering keliru. Ini diperparah oleh konflik kepentingan dan agenda laten dari pensponsor survei sehingga kesimpulan yang valid mengenai apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat sulit diperoleh. Survei pun menjadi terlihat mengancam tatanan kehidupan berdemokrasi karena membuat peta perpolitikan ditentukan oleh data yang cacat, rapuh dan tidak valid.

Opini publik kemudian mengalami distorsi karena adanya rekayasa yang terorganisir. Demokrasi yang hendak dikembangkan pada akhirnya digerogoti konspirasi oleh lembaga survei demi memuluskan mereka yang diinginkan berkuasa oleh pelaku survei. Ironisnya, dengan pongah lembaga survei menetapkan hasil polingnya sebagai standar arah kecenderungan opini publik. Celakanya, ini dikunyah bulat-bulat oleh politisi dan media massa kita, bahkan disiarkan secara berulang-ulang untuk mencuci otak para pemirsanya. ***