Saatnya Menyurvei Lembaga Survei

Saatnya Menyurvei Lembaga Survei
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 12 Juli 2014

            Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) telah usai, hasil resmi siapa pemenangnya baru akan diumumkan KPU pada 22 Juli 2014. Hasil hitung cepat (quick count) Pilpres 9 Juli menghadirkan sejumlah fenomena politik baru di tanah air. Kredibilitas kinerja lembaga survei dipersoalkan karena ada sejumlah hasil quick count dari lembaga survei yang mempublikasikan hasil yang berbeda-beda. Masing-masing pihak pun saling klaim kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat tersebut.

 Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, Rabu (9/7/2014), ada 8 dari 12 lembaga survei yang menyatakan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang Pilpres. Sedangkan 4 lembaga survei lainnya menyatakan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang unggul.
Berikut hasilnya: Pertama, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari 98,05% suara yang masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 46,7% dan Jokowi-JK meraih 53,3%.
Kedua, Center for Strategic and International Studies (CSIS)-Cyrus Network menyebutkan, dari 99,90% suara yang masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 48,1% dan Jokowi-JK meraih 51,9%.
Ketiga, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menyebutkan, dari 99,3% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 47,09% dan Jokowi-JK meraih 52,91%.
Keempat, Survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas menyebutkan, dari 100% suara masuk,  Prabowo-Hatta memperoleh 47,66 dan Jokowi-JK meraih 52,34%.
Kelima, Indikator Politik menyebutkan, dari 99,5% masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 47,06% dan Jokowi-JK meraih 52,94%.
Keenam, Survei Radio Republik Indonesia (RRI) menyebutkan, dari 97% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 47,40% dan Jokowi-JK meraih 52,60%.
Ketujuh, Populi Center menyebutkan, dari 98,95% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 49,06% Jokowi-JK meraih 50,94%.
Kedelapan, Jaringan Suara Indonesia (JSI) menyebutkan, dari 91,35% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 50,16% dan Jokowi-JK meraih 49,84%.
Kesembilan, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) menyebutkan, dari 93,41% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 52,05% dan Jokowi-JK meraih 47,95%.
Kesepuluh, Lembaga Survei Nasional (LSN) menyebutkan, dari 96,51% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 50,56% dan Jokowi meraih 49,44%.
Kesebelas, Indonesia Research Centre (IRC) menyebutkan, dari 100% suara masuk, Prabowo-Hatta memperoleh 51,11% dan Jokowi meraih 48,89%.
Keduabelas, Pol Tracking Institute, yang menyebutkan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 46,63%, sedangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) 53,37%.
Tindakan KPU
Yang unik, media televisi TVOne dan Anteve (dari Grup Bakrie), RCTI, GlobalTV, MNCTV, DeliTV (dari MNC Grup) hanya menayangkan hasil survei dari lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta. Sedangkan MetroTV hanya menayangkan lembaga survei yang memenangkan Jokowi-Hatta.
Sedangkan stasiun televisi lainnya seperti SCTV, Indosiar, TVRI, TransTV, Trans7, dan NetTV cukup berimbang dengan menayangkan hampir seluruh hasil quick count dari lembaga survei. Sementara stasiun televisi asing mayoritas mempublikasikan Jokowi-JK sebagai pemenang.
 Perbedaan hasil quick count Pilpres 2014 menimbulkan kecurigaan adanya manipulasi yang menyebabkan lahirnya perbedaan hasil hitung cepat tersebut. Untuk itu KPU harus berani melakukan evaluasi dan mengaudit lembaga-lembaga survei tersebut. Jika ada  lembaga survei yang terbukti melakukan manipulasi data, KPU harus mencabut akreditasi lembaga survei tersebut dari peliputan Pemilu.
Perbedaan hasil quick count ini dikhawatirkan akan mempengaruhi opini publik terhadap hasil Pilpres. Perbedaan ini dapat menimbulkan potensi konflik di tengah masyarakat jika tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang transparansi dan metodologi survei yang dilakukan. Apalagi jika hasil survei yang telah dimanipulasi tersebut secara gencar ditayangkan di beberapa stasiun televisi.
Padahal metode quick count pada awalnya ditujukan memberikan informasi yang lebih dini kepada masyarakat. Hasil hitung cepat yang secara metodologis sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan validitas dan akurasinya, dan semula dimaksudkan untuk mengontrol munculnya tindak kecurangan praktik pemilihan umum seperti pilpres ini, justru menjadi klaim politik secara positif maupun negatif. Kalau kemudian masing-masing pasangan capres-cawapres mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang pemilu presiden versi hitung cepat, maka saat ini kita memiliki dua presiden terpilih versi hitung cepat.
Sampai di sini banyak pihak berharap KPU bertindak dan bersikap independen dan profesional untuk memastikan suara rakyat yang akan diumumkan pada 22 Juli mendatang tidak dicurangi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat. KPU harus berani bertindak setelah 22 Juli nanti dengan memblack list lembaga survei maupun orang-orang yang terlibat di dalamnya yang terbukti melakukan manipulasi.
Hukuman Publik
            Selain lembaga survei yang perlu diaudit oleh KPU, maka stasiun-stasiun televisi juga harus diberi peringatan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menyiarkan pemberitaan yang tidak berimbang, berisi fitnah, atau berita yang berisi kebohongan.
            Tapi tidak mungkin untuk melakukan kedua hal tersebut di atas karena akan terkesan sangat otoriter bahkan bisa dianggap sebagai menghalangi kebebasan berpendapat dan menghalangi kebebasan pers. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya, tidak akan lahir dalam suasana politik yang masih otoriter. Demikian pula dengan undang-undang penyiaran, keterbukaan informasi publik dan lain sebagainya. Maka tesis McNair (2011) tentang kompleksitas hubungan politik, media dan demokrasi adalah keniscayaan yang patut diperhatikan secara lebih mendalam.
Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication (5th Edition, 2011) menegaskan bahwa media tidak lagi sekadar saluran komunikasi untuk praktik-praktik politik yang dijalankan, lebih dari semuanya media telah menjadi bagian penting dalam proses politik yang terjadi. Media, dengan demikian juga memilih jalan politiknya sendiri untuk berpihak atau tidak berpihak pada isu-isu politik yang sedang berlangsung.
Keberpihakan sejumlah media cetak, televisi dan media online pada kedua pasangan capres-cawapres pada pemilu kali ini menjadi sangat kentara, dan patut dimaklumi karena faktanya para pemilik media tersebut adalah orang-orang penting di belakang kontestasi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Fenomena ini menjelaskan tesis McNair bahwa saat ini media (sebagai teks dan konteks) adalah aktor politik itu sendiri.
Jadi media massa sudah saatnya terbuka, media massa secara bebas bisa memilih jalan hidupnya sebagai lembaga independen atau lembaga yang telah terafiliasi oleh kekuatan politik tertentu. Keberpihakan atau ketidakberpihakan ini sangat perlu, agar distorsi pemberitaan yang ada dapat dimaklumi oleh masyarakat. Sehingga masyarakat dapat menilai bahwa suatu media telah berpihak atau tidak berpihak.

Demikian juga dengan lembaga survei, harus terbuka dan transparan tentang metodologi, jumlah sampling, margin error, sebaran demografis, sponsor, dan afiliasi politiknya kepada publik. Penjelasan tentang hal ini akan memberikan gambaran kepada publik dalam memahami hasil survei. Masyarakat lebih lanjut dapat menyurvei lembaga survey, bahkan jika perlu melakukan penghukuman kepada lembaga survei yang telah memanipulasi data untuk melakukan kebohongan publik. Dengan cara apa? Dengan stigmatisasi dan jangan mempercayai lembaga survei tersebut. ***