Jalan
Terjal Reformasi PSSI
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 22 Mei 2016
Ada
kutipan yang sangat menarik di media sosial “Tidak ada yang bisa meruntuhkan rezim FIFA selain Tuhan dan Amerika
Serikat. Di Indonesia tidak ada yang
bisa meruntuhkan rezim PSSI selain Tuhan dan FIFA.”
Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) “dibekukan” oleh Menteri Pemuda dan Olahraga
(Menpora), Imam Nahrawi, sejak 17 April 2015 dan baru “dicairkan” kembali 10
Mei 2016 lalu. Sejak Menpora membekukan PSSI, FIFA kemudian memberi sanksi
kepada Indonesia sejak 10 Mei 2015. Tim Nasional maupun klub dari Indonesia
dilarang berkiprah di dunia internasional.
Tujuan
pemerintah membekukan PSSI adalah untuk melakukan pembenahan dan reformasi
total di tubuh PSSI. Tidak transparannya manajemen, tidak akuntabelnya
keuangan, konflik internal antar pengurus, semrawutnya sistem kompetisi,
hak-hak pemain yang tidak dijalankan, isu-isu mafia sepakbola dan pengaturan
skor pertandingan. “Penyakit” di tubuh PSSI sudah dianggap sangat akut. Pemerintah
pun menjatuhkan vonis pembekuan kegiatan PSSI di seluruh Indonesia.
Setelah
lebih dari setahun PSSI dibekukan, sudahkah reformasi tersebut dijalankan?
Jawabannya tidak. Selama beberapa waktu PSSI dibekukan, kompetisi terhenti, stadion
sepi, pemain menganggur, stamina dan skill pemain “drop”, beberapa klub
membubarkan tim sepakbolanya, dan para suporter kecewa.
Tidak
ada langkah-langkah nyata dari pemerintah untuk melakukan reformasi di tubuh
PSSI. Jika pun ada kompetisi sepakbola, semuanya hanya bersifat sporadis dengan
sistem turnamen jangka pendek, dan baru beberapa minggu lalu diselenggarakan
Indonesia Soccer Championship (ISC) yang menggunakan sistem kompetisi penuh.
Secara internal, pengurus PSSI dan pemilik
suara (voters) juga keras kepala. Tawaran untuk mencabut pembekuan lewat
penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) ditolak oleh para pengurus PSSI dan
pemilik suara. Pemerintah Republik Indonesia yang menguasai wilayah dari Sabang
sampai Merauke dengan rakyat lebih dari 250 juta ini tak sanggup meruntuhkan rezim
PSSI. Lalu beredarlah adagium, di Indonesia tidak ada yang bisa meruntuhkan
rezim PSSI selain Tuhan dan FIFA.
Presiden
RI melalui Menpora berkali-kali meminta agar PSSI mengadakan KLB sebagai syarat
pencabutan pembekuan, tapi lagi-lagi ditolak. Terakhir, Presiden Jokowi pernah sekali
lagi tawarkan pencabutan pembekuan, tapi PSSI tetap tolak KLB (BBC Indonesia,
1/3/2016). Pemerintah berpendapat bahwa reformasi di tubuh PSSI semestinya
berawal dari penggantian pimpinan PSSI yang bermasalah melalui KLB. Tapi
lagi-lagi pengurus PSSI menganggap bahwa desakan KLB itu merupakan bentuk
intervensi dari pemerintah, dan FIFA akan tetap menjatuhkan sanksi. Akibatnya,
pemerintah tak bisa berbuat apa-apa lagi, reformasi yang hendak dilaksanakan
pemerintah menemui jalan terjal yang berliku.
Tidak Berdampak
Jadi
jelas, bahwa pembekuan PSSI tidak berdampak apa-apa, tidak ada pembenahan atau
reformasi. Justru yang ada dampak negatif, kompetisi terhenti, para pemain
sepakbola menjadi pengangguran, dan tidak ada lagi prestasi yang dibanggakan. Efek
jera? Pengurus PSSI dan pemilik suara tampaknya tetap teguh untuk tidak
menyelenggarakan KLB.
PSSI memang didesak
pemerintah untuk menggelar Kongres Luar Biasa. Namun KLB hanya bisa digelar
jika disepakati oleh minimal dua pertiga dari 107 voter yang terdiri dari 34
Asosiasi Provinsi, 20 klub Indonesia Super League, 14 klub Divisi Utama, 14
klub Divisi I, 22 Klub Amatir (Piala Nusantara), dan 3 Asosiasi.
Wakil Ketua Umum PSSI,
Hinca Pandjaitan, yang juga politisi dari Partai Demokrat, mengatakan bahwa
pemerintah tidak boleh mengintervensi KLB PSSI. Pasalnya, KLB harusnya datang
dari gagasan anggota PSSI bukan dari unsur di luar keorganisasian. "KLB
itu kedaulatan penuh anggotanya. Kemudian ada prasyaratnya oleh si anggota itu
sendiri. Tidak mungkin kalau pemerintah mau memaksakan KLB itu, malah nanti
memperparah sanksi FIFA," ujar Hinca (Sindo Trijaya, 27/2/2016).
Ketua Umum PSSI La
Nyalla Matalitti bahkan sesumbar, “Saya tidak takut dikudeta! Tapi kalau bisa
silakan. Kalau nggak bisa, jangan mengada-ada. Aturannya (statuta) FIFA itu
kuat," kata Matalitti (BBC Indonesia, 7/3/2016).
Tapi
kini keadaannya berubah. La Nyalla Matalitti sejak April 2016 dijadikan
tersangka korupsi oleh Kejati Jawa Timur, dan hingga kini ia masih buron.
Mungkin karena tidak mau kejadian seperti masa lalu terulang kembali, ketika
PSSI diketuai oleh Nurdin Halid yang menjadi terpidana karena kasus korupsi.
Maka pemilik suara mulai menyuarakan KLB.
Pemerintah
telah mencabut pembekuan kegiatan PSSI dan mayoritas pemilik suara (voters)
menghendaki KLB, maka hal ini bisa dijadikan langkah awal perbaikan di tubuh PSSI.
Menurut
kabar, pemilik suara sampai 85 voters (dari 107 voters) sudah mengajukan surat ke PSSI dan
FIFA untuk melakukan perbaikan melalui penyelenggaraan KLB.
Kelompok 85'
mengaku mewakili 28 asprov (asosiasi provinsi), 13 klub Liga Super Indonesia,
14 klub Divisi Utama, 13 klub Divisi Satu, serta 17 klub dari Liga Nusantara
dan dua suara milik asosiasi pelatih serta pemain. Mereka meminta KLB digelar
setelah Kongres FIFA 12-13 Mei di Mexico. Menurut ketentuan PSSI, KLB bisa
digelar apabila didukung sedikitnya 2/3 pemilik hak suara di PSSI dan kelompok
85 sudah memenuhi syarat walaupun harus diverifikasi dulu keabsahan suara dari
85 voters tersebut.
Menpora
kembali menyatakan, meski pembekuan PSSI dicabut, bukan berarti reformasi
sepakbola nasional berhenti. Setelah ini agenda perbaikan tata kelola justru
dimulai. Sebab, sebagian besar pemilik suara di PSSI juga menghendaki
perbaikan. Ketua Dewan Kehormatan PSSI, Agum Gumelar, menegaskan kembali bahwa FIFA
akan mencabut sanksi terhadap PSSI apabila pemerintah Indonesia terlebih dahulu
mencabut pembekuan PSSI.
Mengubah Cara Pandang
Sebelum
melaksanakan reformasi PSSI lewat KLB, perlu ada perubahan mindset atau cara pandang bagi PSSI, baik pengurus dan seluruh anggotanya.
PSSI, terutama para pengurusnya jangan lagi bersikap eksklusif dan anti-kritik,
seolah-olah mereka tinggal di “negaranya” sendiri.
Selama
ini para pengurus selalu berlindung di balik FIFA. Artinya,
eksklusif itu sedikit-sedikit FIFA, sedikit-sedikit berlindung di balik statuta
FIFA. Padahal ketergantungan PSSI pada pemerintah itu sangat tinggi. Tapi pemerintah
dianggap tidak berhak sedikit pun mengkritik PSSI, dan bagi PSSI pemerintah
dianggap tidak ada dalam urusan sepakbola.
Padahal PSSI berada di
negara Indonesia yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Jika pemerintah
“marah” bisa apa PSSI? Secara hukum administratif, PSSI bisa saja menang di
PTUN hingga ke MA terhadap putusan pembekuan kegiatan PSSI oleh Menpora. Tapi
PSSI bisa apa?
Bisakah PSSI mengadakan
kompetisi tanpa izin dari pemerintah? Bisakah PSSI mengadakan pertandingan
sepakbola di stadion tanpa izin dan jaminan keamanan dari pihak kepolisian?
Stadion-stadion di Indonesia nyaris semuanya milik pemerintah, klub-klub hanya
mengontrak. Untuk itu, bagaimanapun pemerintah harus dihormati. Selama itu
kritik dan saran (bukan intervensi), maka PSSI harus menerimanya, bukan malah
menantangnya.
Selanjutnya, para
pemilik suara harus memilih pengurus dan ketua umum yang tepat. Hendaknya
dipilih orang-orang yang tidak berafiliasi kepada partai politik tertentu.
Selama ini para pengurus berisi orang-orang parpol sehingga PSSI rentan
dipolitisasi dan dijadikan alat politik untuk mencapai tujuan tertentu.
Selama beberapa tahun
belakangan ini yang “merusak” PSSI dan sepakbola nasional adalah orang-orang
parpol yang berkuasa di PSSI. Ketika pemerintah yang berkuasa bukan dari parpol
yang sama dengan para pengurus PSSI, maka PSSI dibuat seolah-olah sebagai
“oposisi” oleh para pengurus tersebut. Hal ini tentu tidak sehat bagi
perkembangan sepakbola di Indonesia. Perlu dibuat aturan baru agar PSSI
terbebas dari orang-orang parpol.
Pembekuan PSSI oleh
pemerintah selama lebih dari satu tahun, seharusnya menimbulkan efek jera,
terutama pengurus PSSI. Pengurus PSSI tidak bisa “mentang-mentang” lagi terhadap
pemerintah. Suporter? Hanya bisa protes di jalanan dan media sosial. Toh,
banyak juga yang mendukung pembekuan tersebut karena PSSI memang dianggap sudah
bobrok.
Pemerintah telah
mencabut pembekuan PSSI dan para pemilik suara telah bertekad menyelenggarakan
KLB untuk menggantikan rezim PSSI yang lama. Selanjutnya kita menunggu
keputusan FIFA. Jalan terjal reformasi PSSI sebenarnya telah dilewati, kini
tinggal para pemilik suara yang akan menentukan langkah berikutnya. ***