Jokowi dan Pembangunan Infrastruktur

Jokowi dan Pembangunan Infrastruktur
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 7 Maret 2017

            Presiden Joko Widodo mungkin ingin dikenal sebagai “Bapak Infrastruktur Indonesia”. Hal ini tergambar dari berbagai pernyataan dan tindakannya dalam mencari investor ketika keliling di luar negeri. Ibarat “salesman” Joko Widodo (Jokowi) memang piawai “menjual” sehingga banyak negara dan sektor swasta luar negeri tertarik berinvestasi di Indonesia, terutama infrastruktur.

            Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional. Infrastruktur juga memegang peranan penting sebagai roda penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat pisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Oleh karena itu, pembangunan sektor ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya.
Pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur berkurang drastis sejak krisis moneter lalu. Menurut data Bappenas, secara total, porsi dari APBN untuk sektor ini telah turun sekitar 80% dari tingkat pra-krisis. Pada tahun 1994, pemerintah pusat membelanjakan hampir 14 milyar dolar AS untuk pembangunan, 57% diantaranya untuk infrastruktur. Pada tahun 2002 pengeluaran pembangunan menjadi jauh lebih sedikit yakni kurang dari 5 milyar dolar AS, dan hanya 30%-nya untuk infrastruktur, dan ini terus menyusut hingga sekarang.
Alokasi anggaran pembangunan infrastruktur juga masih terbatas menyebabkan kondisi infrastruktur Indonesia hingga saat ini masih tertinggal dengan negara-negara lain. Menurut Global Competitiveness Report 2009-2010, peringkat daya saing infrastrukur Indonesia berada di peringkat 96 dari 133 negara. Sedangkan Thailand (41), Malaysia (27) dan China (66). Menurut data Bappenas, alokasi anggaran infrastruktur yang ideal adalah 5-6 persen dari PDB, dan saat ini Indonesia memiliki anggaran infrastruktur sebesar sekitar 3,25 persen dari PDB.
Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat, sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan, agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Istilah umumnya merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung  jaringan struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa: jalan, kereta api, air bersih, pelabuhan, bandara, kanal, waduk, tanggul, sanitasi, pengelolaan limbah, perlistrikan dan  telekomunikasi.
Banjir Kritikan
            Melihat kondisi infrastruktur yang memprihatinkan di atas, dan mempertimbangkan kondisi APBN yang tidak memungkinkan untuk membiayai itu semua. Jokowi sebagai presiden kemudian melirik investor luar negeri. Maka jangan heran, jika kita kerap mendapati Jokowi terkadang bersikap seperti seorang “salesman” ketika berada di luar negeri.
            Dalam lawatan ke Amerika Serikat, Arab Saudi, Korea Selatan, Jepang, hingga Tiongkok, berkali-kali Jokowi menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah melakukan program pembangunan infrastruktur terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Pembangunan infrastruktur itu meliputi pembangunan pembangkit listrik 35 megawatt, 163 pelabuhan, 1.646 mil jalan raya baru, 721 mil jalan tol, 2.124 mil rel kereta api, 15 bandara, 49 bendungan, dan sistem irigasi untuk 1 juta hektar lahan. Itulah poyek-proyek pembangunan infrastruktur yang “dijual” Jokowi di luar negeri (detikfinance, 16/5.2016).
Pembangunan semua proyek infrastruktur tersebut diperkirakan memakan anggaran sekitar Rp 570 triliun. Ada sekitar 225 proyek strategis nasional yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi hingga tahun 2019 dan ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Proyek Strategis Nasional. Pembangunan proyek strategis itu tidak mengandalkan dana dari APBN (Liputan6.com, 17/2/2017).
            Gaya kepemimpinan Jokowi yang dianggap pro-investor luar negeri kemudian menimbulkan pro dan kontra dalam pandangan masyarakat Indonesia. Para pengritik, menuduhnya telah “menjual” negara, antek-antek China, robot kapitalis, tukang berutang, dan sebagainya. Tapi Jokowi tak peduli, ia tetap kerja-kerja-dan kerja terus.  
            Dalam rangkaian safari politik “Tour de Java” sektar Maret 2016, mantan Presiden SBY sempat mengkritik proyek infrastruktur pemerintahan Jokowi. SBY menyebut bahwa tidak baik menggenjot proyek infrastruktur ketika ekonomi lesu. Presiden Jokowi menanggapi kritikan itu dengan “blusukan” ke Hambalang. Mega proyek kompleks olahraga yang mangkrak pada masa pemerintahan SBY karena skandal korupsi.
            Kritik berikutnya datang dari Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati. Ia menilai strategi Jokowi membangun sebanyak-banyaknya infrastuktur mirip era kepemimpinan Presiden Soeharto di zaman Orde Baru. Dampaknya, pertama adalah menumpuknya utang luar negeri yang nantinya akan ditanggung oleh generasi selanjutnya. Kedua, pembangunan infrastruktur juga akan berdampak buruk bagi lingkungan hingga masyarakat (Kompas.com, 20/11/2016).
            Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Tomagola juga mempertanyakan pembangunan infrastruktur besar-besaran pada era pemerintahan Jokowi. Ia menilai, pembangunan infrastruktur ini cenderung menguntungkan pihak swasta atau pengusaha dan merugikan masyarakat.Thamrin mengatakan, saat ini pemerintah tidak mempunyai uang yang cukup untuk membangun infrastruktur sesuai target yang sudah ditetapkan. Akibatnya, pemerintah terpaksa melibatkan pihak swasta untuk membangun infrastruktur.
            Jika harus meminjam uang dari luar negeri, lanjut Thamrin, pemerintah harus memikirkan bunganya yang sangat besar. Akhirnya, pemerintah melibatkan swasta untuk membangun infrastruktur, seperti bandara, pelabuhan, jalan tol, dan pembangkit listrik. Pelibatan swasta justru akan merugikan masyarakat. Sebab, nantinya infrastruktur yang dibangun tersebut akan dikelola swasta yang diyakini akan lebih mementingkan keuntungan yang memberikan modal daripada pelayanan kepada publik (Kompas.com, 21/12/2016).
Keras Kepala
            Memang tidak mudah menjadi Presiden Republik Indoneisa dengan penduduk sekitar 260 juta jiwa, tersebar di 13.000 lebih pulau, terdiri dari ratusan suku dan bahasa. Semua ide, gagasan, pendapat, kritik, dan ejekan, semua bebas dikeluarkan di media sosial Indonesia. Bahkan julukan dengan menggunakan nama binatang pun dilontarkan para pembenci kepada Pak Jokowi.
            Salah satu sifat Presiden Jokowi sebenarnya adalah “koppig” alias keras kepala, hal ini merujuk pada sebutan dalam skandal “papa minta saham” beberapa tahun lalu. Dibutuhkan lebih dari sekadar ulet, giat dan tekun,  dibutuhkan “keras kepala” untuk mewujudkan sebuah mimpi.
            Bicara tentang keras kepala, mungkin manusia yang paling keras kepala di dunia adalah Thomas Alva Edison. Edison pernah memprotes sebuah surat kabar yang memuat judul berita utama: "Setelah 9.955 kali gagal menemukan bola lampu pijar, Edison akhirnya berhasil menemukan lampu yang menyala". Ia meminta judul berita itu diganti. Keesokan harinya, atas permintaan Edison, surat kabar itu mengganti judul berita utamanya menjadi: "Setelah 9.955 kali berhasil menemukan lampu yang gagal menyala, Edison akhirnya berhasil menemukan lampu yang menyala" (10 Fakta Unik Thomas Alva Edison, nationalgeographic.co.id)
            Sebagai contoh, selama ini semua pihak mengeluhkan tentang kemacetan Jakarta. Para akademisi hingga tukang kritik, hanya bisa memberikan ribuan kritik. Nol besar terhadap solusi yang riil. Jokowi ketika menjadi Gubernur DKI, langsung memberikan solusi: bangun MRT! Gubernur Jakarta Joko Widodo meresmikan pembangunan awal stasiun di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, (10/10/2013). Tidak jelas mengapa tidak diresmikan oleh Presiden SBY yang masih berkuasa kala itu (voaindonesia, 10/10/2013).
Padahal mass rapid transit (MRT) sudah dianjurkan oleh banyak ahli dari berbagai negara dunia sebagai solusi mengatasi kemacetan di ibukota sejak tahun 1980. Sudah lima  presiden RI yang menyatakan bahwa proyek ini mustahil dilaksanakan atau memang tak dipikirkan. Dana dan sumber dayanya dari mana?        Proyek MRT tahap satu ini menyerap biaya sekitar Rp 20 triliun yang merupakan pinjaman dari lembaga keuangan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dicicil selama sekitar 40 tahun.
Oleh Presiden Jokowi, MRT yang pada awalnya proyek pemerintah provinsi DKI Jakarta ini kemudian diambil alih pemerintah pusat dan ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional bahkan masuk dalam 30 proyek prioritas. Proyek ini akan selesai dan diresmikan sekitar Maret 2019. Mimpi punya MRT seperti ibukota-ibukota negara lain di dunia pun segera terwujud.
Negara adikuasa bukanlah negara yang kuat karena banyak tentara atau persenjataannya. Negara kaya atau negara makmur bukan karena kaya sumber daya alamnya. Negara adikuasa maupun negara kaya terwujud karena mereka telah kuat dan mapan dalam pembangunan infrastrukturnya.
Peran vital infrastruktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan oleh kesuksesan berbagai program ekonomi yang bertumpu pada infrastruktur, diantaranya program New Deal oleh Presiden Roosevelt, pada saat resesi di USA tahun 1933. Sebelum tahun tersebut, negara Amerika tidaklah dipandang sebelah mata oleh Eropa. Tapi setelah pogram New Deal berhasil dengan peningkatkan pembangunan infrastruktur secara signifikan, Amerika pun muncul sebagai kekuatan dunia. Infrastruktur adalah kuncinya.***