Meningkatkan
Kewenangan BNN
Oleh : Fadil Abidin
"Saya ingin ada langkah pemberantasan narkoba yang lebih gencar lagi, yang
lebih berani lagi, yang lebih gila lagi, yang lebih komprehensif dan dikakukan
secara terpadu," ujar Jokowi di saat memimpin rapat di Kantor Presiden,
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (24/2/2016).
Presiden Jokowi menginginkan agar semua kementerian dan lembaga menghilangkan ego sektoral,
semuanya harus bersatu melawan narkoba. Narkoba saat ini telah
menjadi musuh utama yang harus dihadapi pemerintah selain persoalan korupsi dan
terorisme. Semua harus
sinergi bergerak bersama mulai dari BNN, Polri, TNI, Kemenkumham, Bea Cukai,
Kemendikbud, dan Kementerian Sosial, semuanya harus melakukan langkah yang
terpadu.
Menyahuti perintah Presiden yang ingin
agar pemberantasan narkoba “lebih gila” lagi, pemerintah melalui Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan mewacanakan
status Badan Nasional Narkotika (BNN) menjadi setingkat kementerian. Selama ini
BNN sebagai badan yang bertugas memberantas peredaran narkoba mempunyai banyak
kekurangan. Peningkatan status BNN setingkat kementerian berimplikasi pada
peningkatan kewenangan, sumber daya manusia, jumlah personil, anggaran,
teknologi, sarana, dan lain sebagainya.
Banyak kalangan yang menginginkan agar
BNN mempunyai wewenang seperti KPK yaitu berwenang untuk melakukan penyadapan
terhadap terduga bandar-bandar narkoba. Penyadapan ini sangat penting dalam
tindakan pencegahan, penindakan, hingga ke tahap penyidikan. Selama ini BNN
kesulitan memantau transaksi dan komunikasi yang dilakukan jaringan pengedar
narkoba, sehingga belum mampu membongkar sindikat tersebut secara tuntas.
Untuk itu sangat penting agar BNN
diberi kewenangan untuk menyadap dan diberi teknologi yang mumpuni agar bisa
melakukan penyadapan secara baik. Sindikat narkoba biasanya mempunyai jaringan
hingga ke luar negeri dan biasanya melakukan transfer barang di tengah lautan,
sehingga BNN harus diberi teknologi penyadap dan mesin pelacak yang canggih.
BNN juga diharapkan mempunyai sumber
daya manusia dan personil yang terpilih. Tidak semua anggota kepolisian RI bisa
menjadi anggota BNN. BNN harus diisi anggota Polri yang benar-benar
berintegritas, antinarkoba, dan tak mempunyai rekam jejak masa lalu yang
bersinggungan dengan narkoba maupun berkompromi dengan pengedarnya.
BNN juga perlu membentuk satuan tugas
khusus, pasukan elit BNN seperti satgas khusus antiteror Densus 88 yang
dilengkapi alat dan senjata yang lengkap. Saat ini bandar narkoba selalu
memberikan perlawanan jika hendak ditangkap, bahkan mereka bisa memprovokasi
massa agar mau melawan polisi. Banyak anggota kepolisian kita yang gugur ketika
hendak menangkap bandar narkoba.
Kemanfaatan
BNN perlu juga membentuk satuan tugas
K-9 (anjing pelacak antinarkoba). K-9 ini sangat penting untuk mengendus
barang-barang narkoba yang disembunyikan para pelaku. Kita tahu bahwa para
pengedar biasanya menyembunyikan barang haram tersebut di tempat-tempat yang
sulit ditemukan ketika ada penggerebekan atau razia.
Pembentukannya jangan mengimpor anjing-anjing
dari luar negeri yang sudah jadi. Selain mahal, jenis anjing tersebut belum
tentu bisa menyesuaikan dengan iklim Indonesia. Anjing-anjing lokal yang
terpilih harus dilatih menjadi pelacak narkoba. Biaya perawatan yang dibutuhkan
untuk anjing lokal juga lebih
murah. Anjing
lokal dikasih
ikan asin dicampur nasi sudah doyan, jika anjing
impor itu makanannya dog food.
Harganya lebih mahal dari makanan personil
kepolisian itu sendiri.
Satgas
K-9 tidak memerlukan anjing impor semacam Herder atau Dobberman yang
berperawakan besar, karena fungsinya bukan untuk menghalau atau menakuti massa.
Fungsinya adalah untuk mengendus dan melacak keberadaan narkoba. Postur
anjing yang terlalu besar, justru
akan menyulitkan. Postur
anjing yang kecil jauh lebih cocok untuk mengendus narkoba, karena bisa masuk ke kolong, terowongan, pintu rahasia, atau
lorong-lorong sempit.
Penyalahgunaan
narkoba saat ini telah merasuk ke semua sendi kehidupan masyarakat, semua level
profesi, tingkat ekonomi, semua tingkat umur, dan nyaris semua kota di
Indonesia telah mempunyai “kampung narkoba”. Akibat narkoba kesehatan jasmani
dan rohani masyarakat jadi terganggu, ada yang menjadi cacat bahkan terganggu
mentalnya. Akibat kecanduan, orang tidak bisa maksimal bekerja, menjadi malas,
lemah, tidak produktif, menjadi beban keluarga dan masyarakat. Akibat narkoba
banyak terjadi kejahatan, pencurian, perampokan dan pembunuhan dengan tujuan
untuk mendapatkan narkoba.
Narkoba
telah nyata meningkatkan kemiskinan, kebodohan, kejahatan, dan merusak tatanan
masyarakat. Akibat narkoba, anggaran pemerintah untuk merehabilitasi para
pecandu setiap tahun meningkat. Kita patut cemas bahwa akibat narkoba satu
generasi bangsa ini akan hilang. Inilah yang disebut negara darurat
narkoba.
Untuk
mengantisipasi hal-hal tersebut, sangatlah logis jika kewenangan dan kekuasaan
BNN sebagai badan pemberantas peredaran narkoba ditingkatkan selevel
kementerian. Peningkatan kewenangan dan anggaran BNN sebanding bahkan lebih
besar manfaat dan kebaikannya ketimbang bahaya dan kerugian yang ditimbulkan
akibat peredaran narkoba.
Kelembagaan
BNN adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang mempunyai tugas
melaksanakan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan zat-zat adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung
jawab langsung kepada
Presiden melalui koordinasi Kapolri. Dasar hukum pembentukan BNN adalah UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Sebelumnya, BNN merupakan
lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Kepres No. 17 Tahun 2002, yang kemudian
diganti dengan PP No. 83 Tahun 2007.
Penanggulangan bahaya narkotika di Indonsia boleh dibilang sangat
ketinggalan dibanding negara-negara tetangga. Penulis masih ingat sekitar awal tahun
1980-an, masa itu penulis kerap menonton acara di televisi Malaysia (RTM).
Setiap jedah acara, sosialisasi pemerintah Malaysia kepada rakyatnya tentang
bahaya narkotika (dadah) sangatlah gencar dan intensif. Bahkan ada “ancaman”
yaitu penerapan hukuman gantung bagi pengedar narkoba walaupun hanya beberapa
gram saja (gambar tali gantungan juga ditampilkan). Pokoknya kita akan
merinding melihat “iklan” antinarkoba ala pemerintah Malaysia pada waktu itu.
Sementara di tahun yang sama,
pemerintah kita memandang bahaya narkotika hanya sebagai masalah kecil yang tak
perlu diperhatikan secara serius. Pemerintah Orde Baru
terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkotika di Indonesia tidak akan berkembang
karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis.
Pandangan ini ternyata
membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya
narkotika. Permasalahan
narkotika meledak
secara massif bertepatan
dengan krisis
ekonomi pada
tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia tidak siap untuk menghadapinya. Penyalahgunaan narkotika dengan aneka jenis bahan
madat lainnya telah berurat akar di tengah masyarakat sehingga semakin sulit
diberantas.
Menghadapi permasalahan
narkoba, pemerintah
mengesahkan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Berdasarkan kedua UU,
Presiden Abdurahman Wahid membentuk
Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Kepres No. 116 Tahun 1999.
BKNN diketuai oleh
Kapolri secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personel dan
alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Mabes
Polri, sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai badan koordinasi
dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin
serius. Oleh karenanya berdasarkan Kepres No.
17
Tahun 2002, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Mulai tahun 2003, BNN baru mendapatkan alokasi
anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya
meningkatkan kinerjanya.
Namun
karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan
hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak
dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang
terus meningkat dan makin serius.
Pemerintah lalu menerbitkan PP No. 83 Tahun 2007 tentang Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan anggota BNN terkait dalam satuan
tugas. Tapi,
penyalahgunaan narkoba ternyata semakin meluas. Merespon hal itu, atas rekomendasi MPR, pemerintah dan DPR melakukan
perubahan atas UU No. 22 Tahun 1997 menjadi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. BNN diberikan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika.
Tapi peredaran narkoba masih juga semakin meluas. Peran dan kewenangan
BNN masih dianggap belum cukup sehingga dianggap perlu meningkatkan status BNN
selevel kementerian. Mengubah status kelembagaan adalah hak
prerogratif presiden. Namun berdasarkan Undang-Undang Kementerian, jumlah kementerian termasuk kementerian koordinator
maksimal sebanyak 34 kementerian. Saat ini jumlah kementerian sudah berada pada
batas maksimal itu. Jika BNN ditingkatkan menjadi kementerian, berarti harus ada kementerian yang diubah atau digabung. Jadi, kita tunggu
bagaimana kebijakan presiden terhadap masalah ini. ***