Menyoal
Ambang Batas Parlemen
Oleh : Fadil Abidin
Dibanding
isu ambang batas pencalonan presiden (presidential
threshold), ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) kalah seksi, tidak mejadi bahan pembicaraan, bahkan nyaris
terlupakan. Para politisi saat ini lebih bersemangat menggugat RUU Pemilu
tentang pasal yang memuat aturan presidential threshold 20% untuk perolehan
kursi di parlemen.
Tujuannya sangat jelas,
banyak pihak yang sangat bernafsu menjadi calon presiden, ketimbang membangun
partai politik yang sehat. Toh, dengan ikut pemilu walaupun tanpa bukti
dukungan suara rakyat atau nol kursi di parlemen bisa menjadi capres atau
cawapres. Pilpres laksana playing games
field, tempat bermain yang mahal karena pemilu yang berharga triliunan
rupiah itu dibiayai oleh uang rakyat.
RUU
Pemilu telah menetapkan bahwa ambang batas parlemen sebesar 4% perolehan suara
sah di pemilu legislatif (DPR). Angka 4% ini pun seharusnya patut dipersoalkan
seperti halnya angka 20%, atas dasar apa angka tersebut ditetapkan. Soal ambang
batas parlemen ini beberapa kali digugat ke MK tapi tidak pernah dikabulkan. MK
berpendapat persoalan ambang batas parlemen adalah sebagai open legal policy (kebijkan politik terbuka), domain politik pembuat
UU.
Semangat
penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien menjadi dasar diberlakukan
ambang batas parlemen. Pada pemilu 1955 jumlah peserta pemilu, baik parpol
maupun perseorangan mencapai ratusan. Di era Orde Baru tidak ada ambang batas
parlemen, tapi peserta pemilu dibatasi hanya tiga. Di era Reformasi, Pemilu
1999 diikuti 48 parpol dan Pemilu 2004 diikuti 24 parpol, saat itu terjadi
kegaduhan politik yang luar biasa.
Pertambahan
parpol menjadi tidak terkendali, yang terdaftar di Kementerian Hukum mencapai
ratusan. Pemilu 2009 pada awalnya diikuti 38 parpol yang memenuhi syarat. Tapi ada
gugatan di PTUN, 16 parpol peserta pemilu 2004 yang tidak lolos verifikasi kemudian
ikut pemilu juga, sehingga Pemilu 2009 diikuti 44 parpol. Pemberlakuan ambang
batas parlemen 2,5% mengakibatkan hanya 9 parpol meloloskan wakilnya di
parlemen.
Pemilu
2014 pada awalnya diikuti 10 parpol di tingkat nasional. Tapi lagi-lagi ada keputusan
PTUN, mengabulkan Partai Bulan Bintang dan PKPI untuk ikut juga. Pemilu
2014 akhirnya diikuti 12 parpol dengan
ketentuan ambang batas parlemen 3,5%. Hasil pemilu menetapkan 10 parpol yang
berhak mendudukkan wakilnya di parlemen.
Pemilu
2019, parpol yang telah memastikan ikut adalah parpol yang telah lolos ambang
batas parlemen pemilu 2014 yaitu 10 parpol. Kemunculan partai baru yang akan
lolos verifikasi KPU dan berhak ikut pemilu mungkin sekitar 1-3 parpol. Ambang
batas parlemen dinaikkan menjadi 4%.
RUU
Pemilu
Ketika
membahas RUU Pemilu, Pansus RUU Pemilu telah menggelar rapat dengar
pendapat dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Idaman, Perindo, dan
Partai Berkarya. Keempat partai baru itu diminta untuk memberikan masukan terkait
revisi UU Pemilu (08/02/2017).
Salah satu fokus yang dibahas dalam
pertemuan itu adalah soal ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary
threshold (PT) dan syarat presidential
threshold. Dalam rapat dengar pendapat tersebut, ada ambiguitas politik yang
terjadi. Di satu sisi mereka menolak adanya aturan presidential threshold, tapi
di sisi lain menerima ketentuan parliamentary threshold. Bagi mereka yang
terpenting adalah bisa mengusung capres/cawapres, walaupun nanti tidak
mendapatkan kursi di parlemen.
Pro-kontra
soal ketentuan syarat ambang batas parlemen memang tidak sepanas pembahasan presidential threshold. Kursi
keperesidenan mungkin dipandang jauh lebih “seksi” ketimbang kursi di parlemen.
Sepuluh partai politik yang lolos parliamentary
threshold pada Pemilu 2014 tidak terlalu ngotot meributkan soal
ketentuan ini. Pada awalnya ada yang mengusulkan 0%, 3,5%, 5%, 7%, hingga 10%.
Tidak jelas dari mana ketentuan angka-angka ini didapat.
Sebenarnya
dalam ilmu ketatanegaraan, hukum tata negara, maupun sistem pemerintahan yang
berlaku di negara manapun, tidak ada ketentuan persentase parliamentary
threshold maupun presidensial threshold seperti “made in Indonesia” ini. Sudah
beberapa kali permasalahan ini digugat ke MK, tapi MK selalu menolak dengan
alasan ketentuan tersebut adalah open legal policy pembuat UU sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Menyederhanakan
Jumlah Parpol
Parliamentary
threshold boleh dibilang lahir dari trauma kekisruhan politik akibat terlalu
banyaknya parpol yang ikut Pemilu di era Reformasi. Salah satu tujuan pemberlakuan ambang batas parlemen adalah untuk
menciptakan sistem multipartai sederhana. Hanta Yuda dalam buku Presidensialisme
Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (2010) menulis bahwa parlementary
treshold merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus
diperoleh partai untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Aturan tersebut mulai diterapkan pada Pemilu 2009. Sedangkan
pada Pemilu 2004 yang diberlakukan bukan parlementary treshold,
melainkan electoral threshold atau ambang batas persyaratan
minimal yang harus diperoleh partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Pengalaman pada Pemilu 2004 dengan memberlakukan electoral
threshold ternyata tidak efektif untuk menyederhanakan partai. Hal
ini dikarenakan para pemimpin partai yang tidak lolos electoral
threshold masih bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya.
Hanta mengatakan, electoral threshold tidak memiliki implikasi
terhadap penyederhanaan kekuatan politik di parlemen.
Dalam konteks logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan
jumlah parpol peserta pemilu yang harus dibatasi, tapi jumlah ideal kekuatan
parpol yang perlu diberdayakan dan dirampingkan di parlemen. Karena dalam
praktik politik keseharian, pemerintah sebenarnya tidak berhadapan dengan semua
partai politik yang berada di parlemen. Tapi kerap “kerepotan” tatkala
berhadapan dengan parpol yang bukan pendukung pemerintahan.
Karena itu, penerapan aturan ambang batas parlemen dianggap jauh
lebih efektif ketimbang penerapan electoral threshold dalam
menyederhanakan kompleksitas dan faksional politik di parlemen. Menurut Hanta, parlementary treshold lebih efektif mengurangi
jumlah partai politik peserta pemilu, karena lebih jelas konsekuensi
politiknya.
Selain menerapkan aturan ambang batas parlemen, upaya untuk
menyederhanakan sistem kepartaian juga dilakukan dengan mengecilkan alokasi
kursi pada setiap daerah pemilihan. Nico Handani Siahaan dalam “Formula
Penyederhanaan Jumlah Partai Politik di Parlemen Pada Pemilihan Umum Indonesia”
di Jurnal Politika (Vol. 7, No.1, April 2016) menulis bahwa
tujuan penyederhanaan jumlah parpol tidak hanya terfokus pada pendirian partai,
tapi juga pada saat parpol akan memasuki parlemen.
Hal tersebut dikarenakan hanya parpol di parlemen yang
memiliki kekuasaan legislasi untuk membuat perundang-undangan untuk menentukan
berapa persentase ambang batasnya. Untuk lolos ke parlemen, parpol harus mampu
melewati angka ambang batas yang telah ditentukan secara politik dalam UU
Pemilu.
Selain itu, parpol juga harus bersaing di daerah pemilihan
untuk mendapatkan kursi. Pada pemilu 2004, misalnya, alokasi kursi di dapil
sebesar 3-12 kursi. Lalu, pada pemilu 2009 dan pemilu 2014 alokasi kursi di dapil
dikecilkan menjadi 3-10 kursi saja, dan hal ini juga berlaku di Pemilu 2019.
Alokasi kursi yang semakin kecil pada setiap daerah pemilihan
juga membentuk sistem kepartaian yang lebih efektif. Sehingga hanya partai
politik yang memiliki basis dukungan yang besar dan mengakar pada daerah
pemilihan yang akan mendapatkan kursi. Semakin sedikit jumlah partai peserta
pemilu, maka angka ambang batas alamiah juga semakin tinggi.
Persoalan utak-atik persentase ambang batas parlemen memang selalu
menjadi bahan perdebatan di DPR setiap ada kesempatan merevisi UU Pemilu.
Pengajuan judicial review oleh partai-partai baru atau yang tidak lolos di
pemilu sebelumnya ke MK selalu ditolak. Persoalan persentase ambang batas
parlemen, sistem pemilu, metode penghitungan suara, alokasi dan konversi kursi,
hingga jumlah kursi di DPR atau daerah pemilihan adalah open legal policy atau
kebijakan politik yang terbuka dan menjadi hak bagi pembuat UU untuk
mengaturnya. ***