Menyoal Inflasi di Bulan Ramadan

Menyoal Inflasi di Bulan Ramadan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 8 Juni 2016

Tidak ada bulan suci tanpa inflasi. Bulan Ramadan tinggal menghitung hari, tapi harga-harga komoditas pangan telah mendahului berfluktuasi menimbulkan keresahan, terutama masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Hal ini terjadi berulang-ulang setiap tahun pada semua komoditas pangan, seperti harga beras, daging ayam dan sapi, telur, gula, cabai, bawang, sayur-mayur dan buah melambung tinggi.

Selama ini data menunjukkan, setiap bulan Ramadan selalu terjadi inflasi di setiap kota di Indonesia. Inflasi menurut teori ekonomi adalah suatu keadaan terjadinya kenaikan harga barang-barang secara umum dan terus menerus berkaitan dengan mekanisme pasar (permintaan dan penawaran). Secara umum ada 2 faktor penyebab inflasi, yaitu yang dikenal dengan istilah cost push inflation, dan demand pull inflation.
Cost push inflation secara singkat dapat diartikan dengan inflasi yang terjadi akibat kenaikan biaya suatu komoditas. Satu contoh yang paling sering terjadi di Indonesia adalah kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya produksi dan transportasi meningkat, dan pada akhirnya berujung pada kenaikan harga barang.
Sementara itu, demand pull inflation merupakan inflasi yang terjadi karena meningkatnya permintaan barang/jasa oleh masyarakat, yang biasanya terjadi pada saat-saat tertentu. Satu contohnya adalah inflasi yang terjadi saat bulan Ramadan. Berdasarkan teori inflasi dan fakta yang selama terjadi, tingginya angka inflasi karena melonjaknya permintaan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan selama bulan puasa. Atau dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak menghabiskan uangnya pada bulan puasa dibanding bulan lainnya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya muslim, tingginya inflasi di bulan Ramadan menurut penulis adalah suatu fenomena yang harus direnungkan. Bukankah di bulan Ramadan kita sedang berpuasa dan diajarkan untuk mengendalikan hawa nafsu, tapi mengapa justru tingkat konsumsi barang dan jasa malah meningkat?
Ada beberapa kebiasaan muslim Indonesia yang menurut penulis menjadi penyebab terjadinya fenomena ini. Di antaranya yaitu, pola konsumsi umat Islam yang justru meningkat saat bulan puasa. Kebiasaan aji mumpung dengan “memanjakan diri”, “balas dendam”, ataupun “lapar mata”, sering menghinggapi umat Islam pada saat menjalankan ibadah puasa dan menjelang hari raya Idul Fitri.
Masalah Sosial-Mental
            Padahal sudah beribu-ribu kali para ustaz maupun para pemuka agama menghimbau agar kaum muslim mengendalikan diri selama bulan Ramadan. Ribuan khutbah maupun ceramah di masjid, televisi, radio, maupun media cetak, tampaknya tak mampu membendung hasrat untuk tetap berkonsumsi secara berlebih.
            Memang sangat susah mengubah mindset ini, umat muslim sering “memanjakan diri” pada saat bulan puasa. Konsumsinya juga di luar kebiasaan sehari-hari, membuat kolak, membuat es, membuat bubur, membuat masakan ini dan itu, membuat atau membeli aneka macam kue atau panganan berbuka puasa, dan sebagainya. Pokoknya, apa yang tak pernah dimakan atau diminum pada hari biasa, dilampiaskan harus ada pada saat berbuka puasa.   
            Kemudian yang kerap terjadi adalah pola konsumsi “balas dendam”. Dalam kondisi perut yang lapar saat berpuasa, menimbulkan keinginan untuk mencicipi semua makanan yang terlihat sangat nikmat dan menggoda. Kondisi ini menyebabkan kita terdorong untuk membeli atau membuatnya, demi memenuhi khayalan kita akan nikmatnya makanan tersebut. Tak heran bila di sore hari meja makan di rumah kita ibarat “medan tempur” yang dipenuhi oleh “barisan makanan” yang siap menyerang perut kita saat berbuka tiba.
Padahal, saat waktu berbuka puasa tiba, dari semua hidangan yang ada, ternyata hanya sebagian makanan saja yang dapat ditampung oleh perut kita. Pada akhirnya, sisa makanan yang tidak termakan tersebut, akan bermuara pada tong sampah, yang menjadikan diri kita menjadi orang yang tergolong melakukan perbuatan mubazir. Inilah satu penyebab jumlah sampah di kota-kota di Indonesia pada umumnya mengalami peningkatan setiap bulan Ramadan.
Kebiasaan lainnya yang menyebabkan masyarakat menjadi lebih konsumtif adalah “lapar mata” dan adanya keinginan “tampil beda” menjelang Idul Fitri atau Lebaran. Penampilan diri diupayakan sesempurna mungkin, mulai dari pakaian, model rambut, dan juga perhiasan. Selain penampilan diri, kadang ada juga yang memiliki program khusus mendekorasi rumah atau taman, dengan menghabiskan uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Ada juga yang khusus melakukan pergantian kendaraan dalam menyongsong datangnya Lebaran. 
Memang tidak ada yang salah dengan semua kebiasaan tersebut, karena mungkin kita memang memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan sepanjang itu semua sesuai dengan yang dibutuhkan. Namun, yang patut kita waspadai adalah munculnya sifat serakah, sombong, pamer, berlebihan, atau bermegah-megahan atas kebiasaan yang selama ini kita lakukan tersebut.
Celakanya lagi, ada kecenderungan sifat-sifat koruptif meningkat menjelang Lebaran. Karena ingin mendapat uang lebih, siapa saja tiba-tiba mudah disuap atau meminta suap, pungli juga merajalela, kejahatan pencurian juga meningkat. Sudah menjadi rahasia umum, jika menjelang Lebaran para pejabat kasak-kusuk mencari THR dari para pengusaha. Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK juga banyak terjadi karena kiriman THR maupun parcel ke penyelenggara negara yang ternyata adalah uang suap untuk mendapatkan proyek tertentu.
Jadi, yang salah bukan puasa atau bulan Ramadan-nya, tapi sikap mental dan sikap sosial kita yang menyebabkan lingkaran setan ini selalu terjadi dan terjadi lagi. Ramadan dan Lebaran justru dijadikan panggung untuk memuaskan hawa nafsu dan sikap hedonisme. Barangkali, hanya sedikit yang menjalani ibadah puasa dengan khusyuk, berbuka secara sederhana, lebih banyak berzikir dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini memang sudah diprediksikan oleh Rasulullah SAW, bahwa banyak di antara umat muslim yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapatkan apapun dari puasanya, kecuali lapar dan haus.  
Keniscayaan Inflasi
Inflasi dan Ramadan seolah menjadi semacam dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sehingga adagium  ‘tidak ada bulan suci tanpa inflasi’ adalah suatu keniscayaan. Menjelang Ramadan, pemerintah selalu menyatakan pasokan cukup, jalur distribusi aman namun tetap saja ketika Ramadan tiba, harga-harga kebutuhan pokok masyarakat tetap melonjak.
Kita pun jadi bingung, keniscayaan inflasi ini terjadi karena kelalaian pemerintah, atau karena kebiasaan buruk masyarakat yang terlalu berlebihan? Atau memang karena kesalahan keduanya?
Tapi yang pasti, inflasi jenis ini sudah menjadi tipikal atau 'langganan' di saat Ramadan dan Lebaran, dan pemerintah masih saja kedodoran mengantisipasinya. Dalam kajian ilmu ekonomi, inflasi terjadi karena ada deviasi atau gangguan pada faktor konsumsi, produksi, dan distribusi.
Faktor konsumsi. Harus diakui, bahwa selalu ada paradoks konsumsi di bulan Ramadan. Secara logika, ketika kita mulai berpuasa pukul sekitar 04.30 dan berbuka pukul 18.00 harusnya kita kehilangan satu waktu makan kita (makan siang) karena makan pagi sudah diganti dengan makan sahur dan makan malam sudah diganti dengan makan saat berbuka puasa. Dengan hitungan semacam itu, harusnya pola konsumsi agregat menurun.
Namun faktanya tidak demikian, hal-hal yang terjadi justru telah disebutkan pada tulisan di atas. Walaupun sebenarnya pasokan pangan cukup, tapi karena ada faktor-faktor psikologis, bahwa masyarakat menilai bahwa harus beli sekarang karena menjelang Lebaran harga akan naik lagi, maka terjadilah ekspektasi inflasi. Meskipun pemerintah mengatakan pasokan aman, secara psikologis pelaku ekonomi akan menyesuaikan diri dengan ekspektasi inflasi tersebut, dan kemudian inflasi justru benar-benar terjadi.
Faktor produksi. Teori ekonomi dasar menyatakan bahwa permintaan yang lebih besar dibandingkan penawaran akan membuat harga barang naik. Untuk menjaga harga barang agar tetap stabil, sisi produksi harus diperhatikan. Kalau sudah dipahami bahwa konsumsi di bulan Ramadan meningkat, maka produksi harus ditingkatkan pula. Pemerintah punya andil dalam menghimbau agar para produsen bisa meningkatkan produksinya serta mendistribusikannya secara benar.
Produsen yang menginginkan untung pasti berusaha menaikkan kapasitas produksinya karena mengetahui permintaan akan barang yang diproduksinya naik, yang jadi masalah ketika produsen menginginkan untung yang lebih dengan memanfaatkan celah. Mereka berusaha menahan terlebih dahulu barang yang diproduksinya sambil menunggu harga naik, setelah harga naik mereka baru melepas barang yang ditahannya tersebut. Pengawasan pemerintah diperlukan dalam hal ini. Para spekulan dan penimbun barang harus ditindak tegas untuk menimbulkan efek jera.
            Faktor distribusi. Sentra konsumsi bergeser ketika Ramadan tiba, tidak lagi terpusat di kota-kota besar saja. Hampir merata. Oleh sebab itu pergeseran pola ini harus diantisipasi dengan sistem distribusi yang baik. Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan kementerian lain misalnya Kementerian Perhubungan dan Pekerjaan Umum untuk memastikan bahwa jalur distribusi tidak terganggu.

Pada akhirnya stabilisasi harga di bulan Ramadan sangat membutuhkan kerjasama semua pihak. Bank Indonesia bekerjasama dengan TPI (Tim Pengendali Inflasi) baik pusat maupun daerah, dan kementerian terkait lainnya, agar harga-harga kebutuhan pokok menjelang, selama Ramadan dan menjelang Lebaran dapat terjangkau oleh masyarakat. Selanjutnya, rakyat hanya bisa berharap agar pemerintah bisa bekerja dengan baik. Sehingga setiap tiba bulan Ramadan, rakyat tidak selalu dipaksa untuk memaklumi inflasi adalah suatu keniscayaan.***