Menyoal
Ranperda Kepala Lingkungan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 19 September 2016
Ciri
khas kota Medan dalam hirarki pemerintahan paling bawah adalah adanya Kepala
Lingkungan (Kepling). Penamaan Kepling ini kemudian banyak diikuti oleh banyak
daerah atau kota lain di Indonesia. Jika kita berkunjung ke kota-kota lain di
Indonesia di bawah tahun 90-an, maka nyaris tidak ada sebutan Kepala Lingkungan
di sana.
Sebenarnya penamaan
Kepling bukanlah hal yang baru karena tercantum dalam UU No.5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Pasal 1 (d) menyebutkan Lingkungan
adalah bagian wilayah dalam Kelurahan yang merupakan lingkungan kerja
pelaksanaan pemerintahan Kelurahan.
Pasal 31
ayat (1), untuk memperlancar jalannya pemerintahan Kelurahan di dalam Kelurahan
dapat dibentuk Lingkungan yang dikepalai oleh Kepala Lingkungan sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Kepala Lingkungan adalah
unsur pelaksana tugas Kepala Kelurahan dengan wilayah kerja tertentu. (3) Kepala
Lingkungan adalah Pegawai Negeri yang diangkat dan diberhentikan oleh
Bupati/Walikota atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dengan
memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kepegawaian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tapi dalam
kenyataannya, UU ini tidak dipatuhi oleh banyak daerah dan UU ini kemudian
diubah beberapa kali. Banyak daerah yang menetapkan wilayah RT/RW sebagai hirarki
pemerintahan terbawah. DKI Jakarta contohnya, tidak mengenal jabatan Kepling. Sementara
Kotamadya Medan (dulu) menamakannya sebagai Kepala Lorong (Keplor). Sekitar
pertengahan 80-an berganti nama menjadi Kepala Lingkungan (Kepling).
Tapi
pergantian Keplor menjadi Kepling tidak lantas membuat perubahan status
kepegawaian. Kepling bukanlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana diamanatkan
UU No.5 Tahun 1979. Kepling boleh dibilang sebagai pegawai harian lepas (PHL),
tidak ada ketentuan honorariun tertentu secara rutin bulanan, tapi hanya berupa
insentif kerja tertentu. Kepling kemudian dianggap sebagai tokoh masyarakat dan
pemimpin informal.
Kepling di
kota Medan diakui secara formal eksistensinya di awal tahun 2000. Adalah
Walikota Medan, Drs.H.Abdillah yang membuat gebrakan. Beliau kemudian membuat
Peraturan Walikota tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepling. Abdillah
membuat diskresi tentang pemberian honorarium secara rutin bulanan, walaupun
dalam APBD tidak ada anggaran khusus untuk honorarium Kepling.
Di masa
Abdillah, Kepala Lingkungan diberdayakan secara maksimal. Selain diberi
honorarium, mereka diberi seragam layaknya PNS dan diberi handy talkie (HT)
agar rutin melaporkan kondisi di lingkungan masing-masing, tentang keamanan,
masalah sampah, masalah kesehatan warga, lampu penerangan jalan, parit
tersumbat, banjir, laporan kebakaran, dll.
Butuh Kepling
Sebagai warga kota Medan, kita tentu sangat membutuhkan
peran Kepling. Mulai dari urusan administrasi, pengurusan KTP, KK, Surat Nikah,
Surat Pindah, Surat Keterangan Kematian, Surat Keterangan Miskin, dan lain
sebagainya.
Tanggung
jawab Kepling tidak hanya sebatas urusan administrasi saja, tetapi juga soal
kesejahteraan masyarakat. Jika ada kasus DBD (demam berdarah dengue), Kepling
biasanya akan melapor ke pihak terkait agar dilaksanakan fogging. Kepling juga
dapat membantu kepolisian dalam mendampingi atau memberi informasi soal
kejahatan, semisal kasus pencurian, asusila hingga peredaran narkoba. Pihak
kepolisian biasanya akan memberitahu kepada Kepling soal penangkapan warga yang
terlibat kriminal.
Secara tidak langsung Kepling adalah asisten
dari Lurah. Masyarakat biasanya tidak sempat berurusan ke kantor Kelurahan.
Lurah pun terkadang tidak ada di tempat karena harus tugas di luar kantor,
berkeliling wilayah, atau mengikuti rapat dengan camat, SKPD, atau walikota.
Maka masyarakat dapat berurusan dengan Kepling yang ada di sekitar tempat
tinggalnya.
Menimbang
kewajiban dan tanggung jawab yang dipikulnya, maka sangatlah wajar jika
kemudian para Kepling ini dilindungi dan harus diperjelas tugas pokok dan
fungsinya. DPRD Kota Medan kemudian berinisiatif mengajukan Rancangan Peraturan
Daerah (Ranperda) tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Lingkungan.
Ranperda
Kepling selama setahun ini tak kunjung selesai dibahas dan disahkan menjadi
Perda. Sempat terjadi polemik bahkan penolakan oleh pihak Pemko Medan. Walaupun
kemudian Pemko Medan menerima Ranperda ini dengan catatan bahwa Perda tentang
Lingkungan harus juga dibuat.
Alasannya
sangat logis, bahwa sebelum ada Kepala Lingkungan bukankah lebih baik dibuat
peraturan terlebih dahulu tentang apa dan bagaimana Lingkungan serta
definisinya. Kepling adalah “penguasa” sementara Lingkungan adalah “wilayah
kekuasaan”, dan keduanya tidak bisa dipisahkan sehingga Kepala Lingkungan dan
Lingkungan harus dibuat Perda-nya masing-masing. Bagaiman ada “penguasa” jika
belum ada “wilayah” ?
Wakil Walikota Medan
Ir. Akhyar Nasution, M.Si dalam rapat paripurna lanjutan mengenai Ranperda
Kepling di gedung DPRD Medan (22/2/2016) menyatakan, "Menurut saya sangat
bijak andai ada barometer bentuk wilayah sebelum dibentuknya peraturan daerah
soal Kepala Lingkungan. Artinya nakhodanya sudah ada, tapi busnya belum ada.
Kita berharap Perda pembentukan lingkungannya dahulu. Nakhoda ada, tapi
wilayahnya belum ada. Kita tidak bisa suka-suka memimpin daerah ini. Harus ada
regulasinya," jelas Akhyar.
Kepala Lingkungan
Memang ada polemik
seperti pertanyaan, mana terlebih dahulu, ayam atau telur ayam. Untuk itu DPRD
Kota Medan dan Pemko Medan jangan terjebak dengan pola ini, mana yang lebih
penting Lingkungan atau Kepala Lingkungan? Jika DPRD Kota Medan menyatakan
bahwa Kepala Lingkungan lebih penting, sementara Pemko Medan menyatakan bahwa
pembahasan Lingkungan lebih penting, maka tidak akan ada titik temunya.
Kedua-duanya penting
diatur dalam Perda. Tapi mengingat Perda Kepling sudah lama dan sudah terlebih
dahulu dibahas di DPRD maka alangkah lebih bijak jika kemudian Perda ini
terlebih dahulu disahkan. Perda Lingkungan dapat dibahas menyusul kemudian.
Pengangkatan
dan pemberhentian Kepling di Kota Medan melalui Peraturan Walikota (Perwal),
dinilai telah banyak menyimpang terkait masalah usia maksimal,
masa jabatan, syarat pendidikan formal, dan tidak
jelas proses pengangkatannya.
Masa
jabatan Kepling selama ini dianggap seumur hidup, sehingga tidak heran jika
banyak Kepling yang berumur 60 tahun ke atas. Kepling tidak akan diganti jika
belum meninggal dunia. Bahkan jika meninggal dunia, jabatan Kepling sepertinya
bisa “diwariskan” dari bapak kepada anak-anaknya, dari suami ke isteri, dari
saudara kepada saudara, dan seterusnya.
Masalah
tingkat pendidikan formal para Kepling juga patut dipertanyakan. Masih banyak
Kepling yang berpendikan formal di bawah SLTA sederajat. Banyak
Kepling yang gagal dan tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
disebabkan pengangkatan Kepling tidak benar-benar selektif berdasarkan
kompetensi dan kemampuan.
Para Kepling kerap pula
mengalami politisasi. Pada Pilkada, Pileg, atau Pilpres para Kepling juga kerap
mengalami tekanan atau memihak calon kepala daerah tertentu (biasanya pihak
petahana). Ada pula yang menjadi tim sukses dan menjadi anggota parpol
tertentu. Dalam proses politik, Kepling seharusnya netral, dan jangan menjadi
kaki tangan pihak tertentu.
Ada pula Kepling yang
rangkap jabatan atau rangkap pekerjaan. Ada beberapa PNS atau pegawai BUMN/BUMD
yang menyandang jabatan sebagai Kepling, atau pekerjaan lain yang menyita waktu
sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak maksimal. Masyarakat ingin berurusan
dengan Kepling, tapi Keplingnya sibuk tak punya waktu dan sering tidak ada di
rumah. Ada pula Kepling yang tidak berdomisili di lingkungannya.
Dalam Perda nantinya,
harus ada kriteria tentang siapa, apa, dan bagaimana tugas pokok dan fungsi
dari Kepling. Saat ini kedudukan Kepling ada
yang tidak memenuhi rasio jumlah penduduk dan luas wilayah. DPRD Kota Medan
menyebutkan, rasio Kepling harus memimpin 1.500 jiwa dengan luas wilayah
13 hektar. Rasio itu berdasarkan asumsi luas Medan 26.150 hektar dan jumlah
penduduk sekitar 3 juta jiwa, dibagi 2001 kepling yang terdaftar di Medan.
Saat ini ada wilayah Lingkungan
yang akibat perkembangan perumahan dan perkantoran, menjadi berkurang
penduduknya, sehingga tidak memenuhi rasio lagi. Bahkan DPRD Kota Medan
menemukan ada Kepling di Kelurahan Anggrung, Kecamatan Medan Polonia, yang hanya
mempunyai warga tak sampai 5 Kepala Keluarga (KK). Ditemukan juga Kepling di
Kelurahan Simpang Tanjung Kecamatan Medan Sunggal, hanya memiliki 30 KK.
Dalam Ranperda yang
diinisiasi oleh DPRD Kota Medan sebenarnya telah diatur untuk menjadi Kepling
minimal berpendidikan SMA/sederajat, sudah berumah tangga, berusia minimal 25
tahun dan maksimal 60 tahun. Pengangkatan Kepling dilaksanakan pemilihan
langsung oleh masyarakat (dipilih warga). Begitu juga masa jabatan Kepling
adalah 3 tahun dan maksimal menjabat sebanyak 2 kali periode. Kepling juga
harus berdomisilli di lingkungan yang dipimpinnya. Kepling dilarang
berpoligami. Kepling juga dilarang menjadi anggota OKP, dan anggota Parpol.
Perda Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Lingkungan sejatinya
adalah untuk kepentingan masyarakat secara luas, termasuk juga melindungi hak-hak
dan kewajiban para Kepling. Bagi Pemko Medan, Perda ini juga akan memayungi
secara hukum dalam pengeluaran pos anggaran honorarium para Kepling dalam
APBD.
Selama
ini anggaran honorarium para Kepling adalah diskresi atau kebijakan yang dapat
berdampak hukum dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemko Medan dalam
hal ini Walikota. Alokasi pengeluaran di luar APBD ini bisa menjadi temuan
penyimpangan anggaran. Jadi tidak semestinya, Ranperda Kepling ini
ditunda-tunda pengesahannya.***