Munaslub dan Akhir Konflik Partai Golkar
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 9 Mei 2016
Setahun lebih dirundung konflik
internal, Partai Golongan Karya (Golkar) bakal menggelar Musyawarah Nasional
Luar Biasa (Munaslub) dalam beberapa waktu ke depan. Munaslub diharapkan dapat
mewadahi rekonsiliasi di tubuh partai berlambang beringin ini.
Terlepas berbagai kontroversi yang
melekat pada dirinya, Partai Golkar telah mewarnai dinamika politik negeri ini
selama lebih dari empat dekade. Banyak tokoh-tokoh nasional, lahir dan besar di
partai ini. Meski sempat dicaci-maki dan bahkan dituntut untuk dibubarkan oleh
sebagian aktivis prodemokrasi di awal reformasi, Golkar justru tetap berkibar, bahkan
meraih kemenangan dalam Pemilu Legislatif 2004.
Konflik internal di Partai Golkar jika
ditarik ke belakang berakar pada melembaganya oligarki dalam kepemimpinan
partai. Fenomena ini mulai tampak dalam kepengurusan Golkar hasil Munas Riau
2009 yang kurang mengakomodasi para lawan politik Aburizal Bakrie, ketua umum
terpilih pada waktu itu. Akhirnya, tokoh hebat seperti Surya Paloh, keluar dari
Golkar dan memilih mendirikan Partai Nasdem, mengikuti jejak mantan beberapa tokoh
elite Golkar sebelumnya, seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Wiranto
(Partai Hanura), dan almarhum Edi Sudrajat (PKP, kemudian PKPI).
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 adalah
titik kulminasi munculnya konflik internal. Partai Golkar yang finish di urutan kedua Pemilu Legislatif
(Pileg) justru bimbang mencapreskan Aburizal Bakrie (ARB). Di eksternal partai
ada dua kutub kekuatan yang tengah bersaing sengit: Jokowi versus Prabowo.
Golkar yang diharapkan dapat membuat kutub yang baru, justru terhanyut dalam
polarisasi tersebut.
Golkar sangat lamban menentukan arah,
apakah akan mencapreskan ARB, mendukung Prabowo atau Jokowi. Golkar pun
kehilangan momentum, ketika parpol-parpol lain telah menentukan koalisi dalam
Pilpres, Golkar belum beranjak ke mana-mana. Golkar pada awalnya sempat akan
berkoalisi dengan PDIP-Nasdem-PKB-Hanura. Bahkan ada semacam pra-deklarasi di
sebuah pasar tradisional, tapi tiba-tiba wacana koalisi tersebut kandas tanpa
alasan yang jelas. Konon ARB meminta konsesi atas syarat dukungannya, inilah
yang ditolak Jokowi. ARB dan Golkar akhirnya memutuskan mendukung Prabowo.
Lepas dari ARB, Jokowi cukup cerdik
dengan memilih Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden. Jusuf Kalla adalah
mantan Ketua Umum Golkar dan masih punya pengaruh kuat di lingkungan Partai
Golkar. Di sinilah konflik mulai terkuak. Sebagian tokoh-tokoh Golkar
menyayangkan ARB yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Beberapa tokoh penting
dan tokoh muda Golkar akhirnya justru mendukung Jokowi-Jusuf Kalla.
Ancaman pemecatan pun dilancarkan.
Sejak awal telah diprediksi, jika Prabowo-Hatta memang, maka ARB akan dianggap
berhasil dalam pertaruhan politiknya. Tapi jika Jokowi-JK berhasil memenangi
Pilpres, maka habislah ARB.
Munas Bali
Pasca kekalahan di Pilpres, Partai
Golkar mengadakan Musyawarh Nasional (Munas) di Bali 30 November - 3 Desember
2014. Suara-suara agar ARB mundur atau tidak mencalonkan diri sebagi ketua umum
lagi bergaung. Sebagian tokoh Golkar merasa kurang nyaman berperan sebagai
partai oposisi terhadap pemerintahan. ARB dianggap harus bertanggung jawab atas
kekalahan dalam Pilpres 2014, ARB juga dianggap melanggar keputusan Rapimnas yang
berkewajiban mencapreskan Ketua Umum Partai Golkar dalam Pilpres 2014, tapi
justru mendukung calon dari partai lain.
Mendapat serangan bertubi-tubi, pengelolaan
partai tidak lagi demokratis. Para calon ketua umum yang ingin berkompetisi
dalam Munas Bali tidak memperoleh akses yang setara, fair, dan terbuka.
Realitas inilah yang menimbulkan kekecewaan sebagian jajaran Golkar, sehingga
mendorong berlangsungnya Munas Golkar di Jakarta, hanya berselang seminggu
kemudian, yakni pada 6-8 Desember 2014. Konflik internal terjadi secara
berkepanjangan.
Meski sejumlah langkah hukum ditempuh
kedua pihak, konflik tak kunjung usai. Tim Transisi yang dibentuk Mahkamah
Partai Golkar menawarkan Munas sebagai solusi penyelesaian konflik Golkar. Di
luar dugaan, tawaran tersebut akhirnya direspon positif oleh kubu ARB yang
menyelenggarakan Rapimnas pada 23-25 Januari 2016 yang lalu dengan mengusulkan
Munas “luar biasa”. Pemerintah pun akhirnya memfasilitasi upaya islah tersebut
melalui perpanjangan masa jabatan kepengurusan Golkar hasil Munas Riau pada
2009 hingga enam bulan ke depan. Munaslub akan digelar sekitar 15-17 Mei 2016
di Bali.
Mahar 1 Miliar
Sesuai dengan komitmen kedua kubu untuk rekonsiliasi setelah konflik
setahun lebih, Munaslub pun digelar. Aburizal Bakrie dan Agung Laksono tak akan
ikut bertarung sebagai calon ketum. Persaingan menjadi terbuka dan banyak calon
ketum yang mendaftar.
Menyelenggarakan Munaslub di Bali ternyata membutuhkan biaya yang sangat
banyak. Hitung-hitungan panitia, jika semua pengurus DPD provinsi dan
kabupaten/kota yang hadir diberikan uang saku, Munaslub akan menguras dana hingga
Rp 66,9 miliar. Jumlah peserta yang diundang mencapai 2.500 orang.
Rincian uang saku, DPD I mendapat Rp 100 juta per DPD (delegasi tujuh
peserta dan 10-20 peninjau). DPD II mendapatkan Rp 25 juta per DPD (lima
peserta delegasi). Tanpa uang saku, biaya munaslub menyusut menjadi Rp 47 miliar. Namun, tetap ada uang transport untuk peserta. Besaran
uang transport itu disesuaikan dengan asal peserta.
Untuk menutupi biaya tersebut, awalnya
Panitia Munaslub akan mensyaratkan kewajiban setoran Rp 5 miliar-10 miliar bagi
siapa saja yang ingin mendaftar sebagai calon ketua umum. Tapi kemudian syarat
“mahar” itu dikorting menjadi Rp 1 miliar saja. Syarat ini pun mengundang
reaksi pro-kontra. Ada yang menolak dan ada pula yang menerima. Mayoritas calon
yang mendaftar justru bersedia membayar Rp 1 miliar. Bagi mereka tidak menjadi
masalah menyetor uang sebanyak itu untuk pertarungan menjadi ketua umum Partai
Golkar.
Tapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat lain. KPK menilai
setoran Rp 1 miliar yang dijadikan syarat bagi bakal calon ketua umum Partai Golkar tersebut merupakan bentuk politik
uang atau gratifikasi. Apalagi calon yang mendaftar dan panitianya adalah para
pejabat negara, ada yang berstatus kepala daerah dan anggota DPR, akan ada
sanksi hukum bagi mereka yang melakukannya.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung mempertanyakan
aturan yang mewajibkan calon ketua umum membayar mahar Rp1 miliar. Akbar
khawatir aturan tersebut akan dicontoh oleh pengurus ketika menggelar pemilihan
calon ketua Partai Golkar di tingkat daerah.
Akbar Tanjung khawatir ini menjadi preseden. Kalau sudah dimulai di
pusat bukan tidak mungkin dilakukan di provinsi, bukan tidak mungkin lagi
dilakukan di kabupaten, kota dan bahkan dalam pemilihan pengurus kecamatan,
bahkan juga pengurus desa (Kompas.com, 3/5/2016). Dia menilai mahar Rp1 miliar
juga bertentangan dengan ruh organisasi partai yang penuh semangat idealisme
dan perjuangan.
Dalam prespektif tersebut, kata Akbar, orang yang memiliki idealisme
perjuangan biasanya datang dari latar belakang yang tidak memiliki sumber dana
besar. Tentu saja iuran akan menyulitkan orang-orang yang punya keterpanggilan
dalam politik menjadi pemimpin. Jadi semangat uang itu bukanlah hal yang biasa
dalam organisasi politik. Kalau misalnya biaya cukup besar, Munaslub bisa dipindahkan
dari Bali ke Asrama Haji di Jakarta, ujar Akbar Tanjung.
Ikrar Nusa Bakti, profesor riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
mengatakan, politik uang nyaris sudah menjadi “the name of the game” dalam
setiap pemilihan ketum partai politik. Ada istilah “hujan duit” untuk para peserta
pemilik suara. Bahkan, berdasarkan informasi yang diterima Ikrar dari
teman-temannya di Golkar pada Munas Riau 2009 duit yang beredar secara
akumulatif mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Jika info itu benar,
kata Ikrar, sudah pasti uang sebesar itu tidak seluruhnya berasal dari kocek
kandidat. Dengan kata lain, pasti ada satu atau banyak orang yang
"menyumbang" para kandidat itu, yang dalam bahasa Indonesia bisa
disebut "cukong", "pengijon", atau agak lembut disebut
"tangan-tangan yang tak tampak" (the invisible hands).
Ikrar mengatakan,
seperti layaknya pengijon yang membantu para petani atau peladang yang
membutuhkan dana, dalam politik bantuan para cukong kepada para calon ketum
Golkar itu tentunya tidaklah gratis alias no
free lunch. Para cukong tentunya meminta imbalan balik yang lebih besar
lagi dari para politisi yang mendapatkan bantuan itu. Bisnis politik kotor ini
dalam terminologi politik dikenal dengan sebutan bribe and kickbacks.
Berganti Arah
Secara internal, Munaslub dapat
mewadahi rekonsiliasi dua kubu Partai Golkar yang bertikai jika prosesnya
berlangsung secara transparan, fair, dan demokratis. Artinya tidak ada lagi
upaya rekayasa oleh individu atau kelompok tertentu untuk memenangkan
kelompoknya. Sebaliknya, Munaslub bisa menjadi sumbu konflik baru apabila para
pihak yang bertikai cenderung memaksakan kehendak kelompok masing-masing untuk
menguasai kepemimpinan Partai Golkar. Setelah
Prabowo, Edi Sudrajat, Wiranto, dan Surya Paloh, akankah ada tokoh dari
Golkar yang akan mendirikan partai politik baru setelah kalah dalam perebutan
ketua umum?
Secara eksternal, pasca Munaslub Partai
Golkar perlu menjernihkan format relasi dengan partai politik lainnya. Apakah berganti
arah dan bergabung dengan koalisi pemerintahan (Koalisi Indonesia Hebat) atau
tetap menjadi oposisi di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Atau Golkar hendak
bermain di dua kaki seperti lazimnya? Inilah tantangan kepemimpinan Golkar
hasil Munaslub mendatang.***
http://harian.analisadaily.com/opini/news/munaslub-dan-akhir-konflik-partai-golkar/235645/2016/05/10