Negeri Para Pencaci di Media Soial

Negeri Para Pencaci di Media Soial
Oleh : Fadil Abidin

            Beberapa waktu lalu ada seorang mahasiswa yang ditangkap polisi dan dikeluarkan dari kampusnya akibat postingan percakapan di media sosial yang dianggap menistakan agama. Ini bukan yang pertama dan terakhir, banyak kasus pidana yang berawal dari percakapan atau perdebatan yang semakin panas dan akhirnya saling mencaci suku dan agama lawan bicaranya.

            Media sosial adalah sebuah media online dengan para penggunan yang bisa dengan mudah ikut berpartisipasi dan berbagi lewat jejaring sosial melalui dunia virtual (maya). Pengguna media sosial di Indonesia, berdasarkan lembaga peringkat Alexa (2015) ada sekitar 60 juta pengguna Facebook (keempat terbanyak di dunia), dan pengguna Twitter sekitar 20 juta orang (ketiga terbanyak di dunia), belum lagi Path, Instagram, WhatsApp, Line, dan sebagainya.
            Sejak mencuatnya kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hingga vonis penjara 2 tahun yang dijatuhkan kepadanya akibat pasal penistaan agama, kondisi dunia maya maupun dunia nyata di Indonesia memang tengah tercabik-cabik. Pihak yang pro dan kontra saling serang. Amunisi untuk menyebarkan fitnah, caci-maki, dan buruk sangka seakan tidak ada habisnya.
            Gaung terhadap desintegrasi sosial, gejala intoleransi yang semakin meningkat, dan ancaman terhadap kebhinekaan sebenarnya telah disuarakan. Pernyataan Presiden Jokowi bahwa kita bersaudara, seusai bertemu dengan toko-tokoh lintas agama, ternyata tidak juga menurunkan tensi yang ada. Bahkan Presiden Jokowi menyatakan kekesalannya bahwa bangsa kita ini lebih sibuk mengurusi fitnah ketimbang hal yang membangun bangsa.
            Masyarakat kita mudah terhasut, gampang tersulut amarahnya, dan mudah sekali merasa tersinggung. Kita membuat status di media sosial yang bersifat netral pun dianggap pro atau kontra terhadap sebuah kubu. Status kita pun dibanjiri komentar yang tidak-tidak, dari cacian hingga hinaan.
Cobalah saat anda membaca status-status teman-teman anda di jejaring media sosial, atau mungkin secara tidak sengaja muncul di timeline/beranda facebook atau twitter anda. Bahkan mungkin di berbagai pemberitaan kontroversial, maka dengan begitu mudah kita bisa melihat mereka yang tanpa saling kenal saling caci dan saling memaki dengan sebebas-bebasnya.
Atau mungkin adakah anda menemukan teman anda sendiri atau justru anda sendiri tanpa disadari sedang sibuk mencaci maki orang lain melalui akun media sosial mereka? Kalaupun tidak mencaci maki temanya, biasanya sedang sibuk mencaci-maki para pemimpin dan pejabatnya atau tokoh idola temannya melalui komentar-komentar di berbagai pemberitaan media.
Saling Mencaci
Jadi misalnya dalam sebuah pemberitaan media, jika tokoh A diberitakan buruk, maka para pendukung tokoh B akan begitu bersemangat untuk mencaci maki dan mengolok-olok tokoh A sekaligus juga para pendukung fanatik dari tokoh A.Sebaliknya, jika ada pemberitaan jelek tentang tokoh B, maka giliran para pendukung fanatik tokoh A akan berbalas menghina dan saling mencaci maki para pendukung tokoh B.
Di antara para pelaku yang ternyata memang memiliki hobi untuk saling mencaci dan memaki di media sosial. Mereka seolah tidak ingin ketinggalan momen terbaik mereka agar bisa melampiaskan kepuasan mereka untuk bisa mencari pihak-pihak yang layak dicaci maki. Ironisnya, hal itu bisa kita temukan dengan teramat sangat mudah setiap hari dan bahkan mungkin setiap menit dan detiknya.
Memang sudah diketahui banyak orang bahwa budaya saling mencaci maki atau memuji yang berlebihan terhadap seorang tokoh sudah terjadi sejak musim kampanye Pilpres 2014 yang lalu. Entah mengapa sejak saat itu, negeri ini menjadi bangsa pencaci di media sosial. Kita ini seolah-olah jadi mudah sekali saling mencaci maki. Dan kondisi ini semakin bertambah parah ketika menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Yang membuat kita miris lagi, hal ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang  awam masyarakat biasa. Tapi ternyata masih tetap dilakukan oleh orang-orang yang berstatus tokoh agama sekalipun. Boleh saja para tokoh agama tersebut ketika membicarakan hal-hal yang buruk tentang tokoh lainnya dengan dalih membela agamanya.
Sah-sah saja mereka lakukan pembelaan semanis apapun untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Tapi tetap saja dengan mudah terbaca bahwa mereka memang menikmati begitu melihat penderitaan tokoh yang mereka benci. Bahkan ada selebrasi ketika tokoh yang dibencinya itu kalah atau mendapat hukuman.
Padahal belum tentu tokoh yang mereka benci setiap hari itu lebih buruk dari dirinya yang memang hanya sibuk mencari kesalahanya dan selalu mengabaikan hal positif yang sudah dilakukan tokoh tersebut. Sedangkan di sudut yang lain ada juga kelompok yang tetap sibuk memuji tokoh-tokoh mereka yang sebenarnya mungkin secara hukum sang tokoh tersebut memang telah melakukan kesalahan.
Kembali
Seharusnya sudah saatnya kita kembali pada suasana ketika belum muncul antar kubu saat pemilu 2014 yang lalu. Ingatlah bahwa opini saat pemilu atau pilkada yang lalu mungkin sebenarnya adalah ulah para tim sukses yang memang tujuanya supaya tokoh mereka diberikan dukungan, tapi dengan cara membunuh karakter lawan politiknya.
Di dunia politik semuanya adalah halal dilakukan asal tujuan tercapai. Teman bisa menjadi kawan, kawan bisa menjadi lawan. Jika isu-isu yang rasional tidak mempan mengena maka-maka isu-isu rasial atau SARA pun digaungkan. Politisasi agama pun dianggap sah-sah saja. Padahal yang membawa isu-isu agama itu bukanlah seratus persen manusia suci.  
Semoga saja kisah negeri para pencaci dan pencela di media sosial ini segera berakhir. Dukungan terhadap tokoh-tokoh tertentu saat ini sudah mengarah kepada kultus individu. Ada yang menganggap mereka sebagai manusia suci, dan ada pula yang menganggapnya sebagai nabi. Sedikit saja komentar negatif terhadap mereka, maka bersiap-siaplah dicaci maki atau dibully. Apakah kita akan terus-menerus seperti ini?  

Karakter dan kecerdasan seseorang individu sebenarnya dapat terlihat dari hal-hal yang mereka posting di media sosial. Apakah mereka mampu membuat kata-kata yang baik atau tidak. Atau tipe pemalas yang hanya sekedar tukang copy paste atau menyebarkan tautan berita dari sumber-sumber yang tidak jelas alias hoax. Benarlah jika ada yang mengatakan "You are what you post." Kamu adalah apa yang kamu tuliskan di media sosial. ***