NKRI
Masih Rentan Intoleransi
Oleh : Fadil Abidin
Intoleransi dan radikalisme di Indonesia dinilai kian masif kemunculannya,
baik kelompok maupun individu yang intoleran semakin bertambah secara
signifikan. Berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi mengakibatkan
semakin mudahnya individu mengakses internet dan mengikuti perbincangan di
jejaring media sosial.
Jika dahulu, secara konvensional kelompok-kelompok radikal dan intoleran
berkembang dari mulut ke mulut, mengadakan pertemuan langsung, dan melakukan
rekrutmen. Tapi sekarang melalui situs atau jejaring sosial, rekrutmen bisa
dilaksanakan secara online. Simpatisan atau afiliasi dari kelompok ini juga
semakin berkembang di dunia maya.
Beberapa kasus intoleran di tanah air juga kerap dipicu oleh media sosial.
Hasutan, provokasi, dan ujaran kebencian terhadap suku atau agama yang lain melalui
media sosial mampu menciptakan kerusuhan massa. Mengapa masyarakat begitu
mudahnya terprovokasi oleh isu-isu SARA?
Saat ini reproduksi wacana intoleransi dan radikalisme di Indonesia
berjalan secara sistematis dan masif. Pelakunya kebanyakan adalah media-media
online yang berada di luar mainstream.
Provokasi dan ujaran kebencian dari media-media ini sering kemudian menjadi
bahan rujukan dan disebar melalui media sosial.
Beberapa tahun lalu, pemerintah lewat Menkominfo pernah “membredel”
media-media online yang dianggap radikal dan berafiliasi kepada
kelompok-kelompok teroris. Tapi kebijakan ini dianggap kontroversial dan
ditentang banyak pihak karena dianggap memberangus kebebasan berpendapat. Tidak
ada tindak lanjut dari kebijakan tersebut, dan semakin suburlah ujaran-ujaran
radikalisme dan intoleransi di dunia maya.
Indonesia sebagai negara multi etnis dan
agama, sebenarnya masih menghadapi persoalan intoleransi. Walaupun ada UUD
1945, Pancasila, dan slogan Bhinneka Tunggal Ika, tapi secara laten benih-benih
intoleransi itu masih tetap ada. Potensi-potensi kerawanan sosial yang dipicu
persoalan SARA kerap mengancam, kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja.
Survei Wahid
Foundation
Kerawanan intoleransi di Indonesia menjadi
temuan utama survei nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme
Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid
Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) di dan telah
dirilis (1/8/2016) lalu.
Survei ini melibatkan 1.520 responden yang
tersebar di 34 provinsi. Responden adalah umat Islam berusia di atas 17 tahun
atau sudah menikah. Survei yang digelar dari 30 Maret sampai 9 April 2006 itu
menggunakan metode random sampling dengan margin
error sebesar 2,6 persen dan tingkat keyakinan 95 persen.
Paparan hasil survei tersebut bertujuan
memberikan masukan kepada Pemerintah dalam menangani persoalan intoleransi dan
radikalisme. “Karena itu jika ada potensi penguatan intoleransi di Indonesia,
itu menjadi peringatan besar bagi kita semua untuk berhati-hati ," ujar
Yenny Wahid ketika merilis hasil survei tersebut (Kompas.com, 1/8/2016).
Putri sulung Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) itu
memaparkan survei tersebut sengaja memilih populasi khusus umat Islam karena
isu toleransi dan intoleransi memang tengah menjadi persoalan tersendiri di
tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia.
Yenny mengatakan toleransi dalam survei kali
ini dimaknai dengan tidak menghalangi kelompok lain, baik sesama muslim maupun
nonmuslim, yakni dalam pemenuhan hak sosial keagamaannya, dan makna intoleransi
berlaku sebaliknya.
Hasilnya, survei tersebut menemukan sejumlah
data yang cukup mengkhawatirkan. Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9
persen memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka
yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan
selainnya.
Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2
persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat
pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4 persennya bahkan tak rela anggota
kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
Dari sisi radikalisme sebanyak 72 persen
umat Islam Indonesia menolak untuk berbuat radikal seperti melakukan
penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain atau melakukan sweeping tempat yang dianggap
bertentangan dengan syariat Islam.
Dan hanya sebanyak 7,7 persen yang bersedia
melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4 persen justru
pernah melakukan tindakan radikal. Namun Yenny mengingatkan meski hanya sebesar
7,7 persen, persentase tersebut cukup mengkhawatirkan.
Sebab persentase tersebut menjadi proyeksi
dari 150 juta umat Islam Indonesia. Artinya jika diproyeksikan, terdapat
sekitar 11 juta umat Islam Indonesia yang bersedia bertindak radikal.
"Bisa kita bayangkan ada sekitar 11
juta orang yang bersedia bertindak radikal. Itu sama dengan jumlah umat Islam
di Jakarta dan Bali yang siap bertindak radikal, itu mengkhawatirkan,"
tutur Yenny.
Kendati demikian Yenny menyampaikan ada
temuan positif dalam survei kali ini. Sebanyak 67,3 persen mendukung
pemberlakuan sistem demokrasi di Indonesia dan 82,3 persen menyatakan
dukungannya kepada Pancasila dan UUD 1945. "Itu artinya kita
tetap memiliki peluang untuk mempertahankan dan terus menyebarkan toleransi
kepada umat Islam Indonesia," ujar Yenny.
Penyebab terjadinya intoleransi dan
radikalisme di tubuh umat Islam Indonesia selain ideologi ialah alienasi dalam
sektor sosial dan ekonomi. Sebagian besar mereka yang terlibat tindakan
radikalisme berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Dia pun menilai
saat ini intoleransi dan radikalisme masih menjadi permasalahan penting di
Indonesia.
Rekomendasi
Survei Wahid Foundation
tersebut menunjukan Indonesia masih rawan perialku intoleran dan radikal. Dari
paparan survei, Manajer Riset Wahid Foundation Aryo Ardi Nugroho memberikan
enam rekomendasi untuk menanggulangi kedua hal tersebut.
Pertama, Nugroho
menyatakan Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Kementerian Agama perlu mengembangkan modul pembelajaran penguatan toleransi
dan perdamaian. Kedua, Nugroho menyampaikan DPR juga diharuskan merevisi
undang-undang (UU) yang bertentangan dengan semangat toleransi dan perdamaian.
Ketiga, peran
pemerintah daerah. Pemerintah daerah (Pemda) merupakan pihak yang kerap
kongkalikong dengan kelompok radikal. Sebab kelompok radikal dengan jumlah
massa yang banyak kerap menjanjikan dukungan saat pemilihan kepala daerah. Karenanya,
pemerintah pusat harus membuat aturan tegas agar Pemda tak memberi uang
(melalui Bansos) dan ruang aktivitas bagi kelompok radikal.
Keempat, Kepolisian perlu
menindak tegas tindakan radikal di masyarakat. Jika tidak, menandakan
kepolisian bersikap permisif kepada kelompok radikal. Jika kepolisian tidak
tegas maka kelompok radikal itu akan semakin berani melakukan tindakan radikal
seperti merusak rumah ibadah umat agama lain, melakukan sweeping, dan lainnya.
Kelima, kelompok
masyarakat sipil, khususnya yang berlatarbelakang Islam seperti NU dan
Muhammadiyah memperkuat pengaruhnya melalui penguatan pemahaman anggotanya
terhadap nilai toleransi dan perdamaian.
Keenam, kembali pada
penguatan warga negaranya sendiri, yakni semua warga negara diharuskan
menjunjung tinggi nilai toleransi dan bersikap inklusif dimana pun.
Mungkin sebagai
tambahan di sini, pemerintah harus lebih tegas dalam menindak orang-orang atau
pihak yang melakukan provokasi, hasutan, atau ujaran kebencian melalui media
sosial. Pemerintahan dalam hal kepolisian harus membentuk satgas-satgas cybercop yang mampu mendeteksi media
online, situs, blog, jejaring sosial, facebook, twitter, instagram, dll yang
telah melakukan ujaran kebencian dan wacana intoleransi di tanah air.
Efek destruktif dari
ujaran kebencian melalui media sosial di dunia maya lebih dahsyat ketimbang
ujaran kebencian secara verbal di dunia nyata. Orang-orang yang sebelumnya
toleran, bisa menjadi intoleran karena banyak terpapar oleh media-media yang
mengobarkan semangat intoleransi dan radikalisme.
Failed
State
Sejak dulu, umat
Islam di Indonesia sebenarnya umat Islam paling moderat di dunia. Sebabnya umat
Islam Indonesia dikenal mampu hidup berdampingan dengan umat beragama lainnya.
Sementara tidak sedikit, negara-negara yang mayoritas muslim di dunia menjadi
negara gagal (failed state) karena
ketidakmampuan pemerintahnya dalam meredam kelompok-kelompok intoleran dan
radikal.
Di
negara-negara failed state tersebut,
jangankan menghadapi umat yang beragama lain, berhadapan dengan sesama muslim
tapi berlainan suku, mazhab atau aliran, sudah mampu meletupkan peperangan. Dan
tak sedikit faham-faham intoleran dan radikal tersebut kemudian dibawa ke
Indonesia oleh pihak-pihak tertentu yang tidak ingin melihat NKRI bersatu, rukun
dan, damai.
Indonesia masih
menjadi salah satu lahan subur tumbuhnya paham radikalisme. Butuh peran aktif
seluruh komponen masyarakat untuk membendung benih-benih tersebut. Salah satu
cara untuk membendung paham intoleransi dan radikalisme adalah lewat keluarga
dan pendidikan.
Pemahaman
antiradikalisme harus dimulai dari keluarga sehingga anak dan generasi muda
tidak gampang terpengaruh ajaran-ajaran radikal yang diterimanya dari luar. Di
luar rumah, maka peran pendidikan di sekolah, madrasah, dan lainnya tak kalah
besarnya pula.
Sementara
itu, para ulama harus memberikan pengayaan tentang ajaran agama yang benar
kepada umat muslim melalui majelis taklim, remaja masjid, pengajian, khotbah,
dan berbagai komunikasi sosial lainnya. Ulama harus bisa memberikan pengayaan
dalam kapasitasnya sebagai obor masyarakat. Bukan obor sebagai pengobar
kebencian tapi obor sebagai penerang di kegelapan. ***