Petrus, Narkoba, dan Duterte

Petrus, Narkoba, dan Duterte
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 24 Agustus 2016

            Salah satu janji kampanye Rodrigo Duterte ketika kampanye pemilihan presiden Filipina adalah memberantas narkoba yang telah merasuk ke setiap sendi kehidupan rakyat Filipina. Janji ini kemudian dibuktikan oleh Duterte.

            Duterte memenangi pemilihan presiden, dan dilantik sebagai Presiden Filipina ke-16 pada 30 Juni 2016. Dalam pidato pelantikannya, ia bersumpah akan memerangi kejahatan narkoba. Bahkan dengan nada provokatif, ia memerintahkan semua rakyat Filipina membunuh mereka yang terlibat narkoba tanpa terkecuali. “Saya mengingatkan, jangan terlibat, sekalipun kamu polisi, karena saya akan sungguh-sungguh membunuhmu," kata Duterte seperti dikutip Channel News Asia (01/07/2016).
            Seruan memberantas narkoba ini pun bergaung. Pemerintah Filipina membentuk semacam pasukan rahasia untuk menghabisi para penjahat narkoba. Dulu ketika zaman Orde Baru, kita mengenal “petrus” atau penembak misterius yang membunuh di tempat para penjahat, bomocorah, residivis, preman, atau orang-orang bertato. Sepak terjang petrus di zamannya memang menakutkan para penjahat kala itu. 
            “Petrus” ala Presiden Duterte ini pun tak kenal ampun, juga dibantu masyarakat sipil anti-narkoba yang dipersenjatai. Baru 3 bulan terpilih menjadi presiden, operasi pemberantasan narkoba ini telah menewaskan lebih 1.500 orang. Dari jumlah itu, 665 dibunuh oleh “petrus” dalam 'operasi yang sah' sementara 889 lainnya oleh kelompok sipil bersenjata. Para korban tak hanya gembong narkoba kelas kakap atau pengedar kelas teri, tapi menyasar juga para pemakai. Jasad-jasad mereka ditinggalkan begitu saja di jalanan, dan diberi tulisan “ini pengedar narkoba”.

            Presiden Rodrigo Duterte tanpa sungkan juga mengumumkan kepada publik lebih dari 150 nama hakim, walikota, anggota parlemen dan personel militer yang terlibat dalam perdagangan narkoba. Mereka pun diminta untuk segera menyerahkan diri kepada petugas berwenang. Jika tidak menyerahkan diri, Duterte mengancam akan mengirimkan “petrus” kepada mereka.

            Banyak para pengedar narkoba dan kalangan lainnya, termasuk pejabat yang melindungi mafia obat-obatan terlarang, akhirnya memilih menyerahkan diri karena tak ingin ditembak mati. Hal ini telah menyebabkan penjara-penjara di Filipina penuh sesak. Bahkan, sejumlah media menyebutkan penjara di Manila merupakan penjara paling mengerikan di dunia karena mengabaikan aspek kemanusiaan. Teramat sesaknya, para narapidana tidak bisa tidur di lantai. Mereka tidur bertumpuk seperti ikan kembung rebus yamg disusun dalam satu keranjang bambu.
Dikritik PBB
            Presiden Duterte tidak peduli dengan kondisi tersebut. Bersikap keras dan tegas dengan komentar kontroversial kerap dilontarkannya, bahkan ketika masih menjabat walikota Davao dulu. Ia mengatakan perang terhadap narkoba di Filipina, ia mengklaim akan bertindak lebih brutal ketimbang ISIS. Presiden Duterte kemudian dijuluki “The Punisher” oleh media lokal dan internasional.
            Tindakan Duterte ini dinilai berlebihan oleh Mahkamah Agung Filipina. Tapi Duterte malah mengancam akan memberlakukan darurat militer jika kebijakan perang melawan narkoba diganggu. Duterte justru berdalih, tindakannya adalah untuk menyelamatkan negara dan bangsa Filipina yang saat ini telah mengalami darurat narkoba.  
            Kritik pun bermunculan dari kelompok pelindung HAM dan PBB. Utusan khusus para pakar HAM PBB mengatakan bahwa seruan Presiden Duterte untuk membunuh tanpa jalur hukum para tersangka pengedar narkoba sebagai hal yang tidak bertanggung jawab, esktrem, dan tergolong kriminal. Namun, Duterte tak peduli bahkan menyebut PBB “bodoh” karena mengkritik langkahnya dalam memerangi narkoba. "PBB dengan begitu mudahnya membuat pernyataan bodoh. Lagi pula, kenapa PBB ikut campur dengan urusan dalam negeri di republik ini," ujar Duterte.
            Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengancam untuk "memisahkan diri" dari PBB setelah organisasi tersebut mengkritik upayanya memerangi narkoba sebagai tindak kejahatan menurut hukum internasional. Duterte mengatakan akan meminta China dan beberapa negara Afrika untuk membentuk badan baru. Dia juga menuduh PBB gagal menangani terorisme, kelaparan dan mengakhiri konflik.
Dalam kemarahannya yang penuh umpatan terhadap PBB, Duterte menyebut para pakar tersebut "bodoh" dan mengatakan bahwa mereka harus menghitung jumlah nyawa tak berdosa yang hilang akibat narkoba. "Saya tidak mau menghina Anda. Tapi mungkin kita harus memutuskan untuk berpisah dari PBB. Keluarkan kami dari organisasi Anda. Anda belum melakukan apa-apa. Kapan Anda terakhir kali di sini? Tidak pernah. Kecuali untuk mengkritik," katanya (bbc.com/indonesia, 21/08/2016).
Darurat Narkoba
Pemerintah Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini menyatakan “negara daurat narkoba”. Pertanyaannya, apanya yang darurat? Adakah tindakan-tindakan “luar biasa” untuk mengatasi kedaruratan tersebut? Nyaris tidak ada. Jika ada eksekusi hukuman mati, itu merupakan produk vonis lama bertahun bahkan puluhan tahun lampau.
 Narkoba masih mudah ditemukan di sekitar kita, di gang-gang, di jalanan, perumahan, di tempat hiburan, dan sebagaianya. Para pemakainya juga merambah dari pejabat hingga rakyat kebanyakan. Bocah-bocah SD pun sudah kecanduan narkoba. Para pengedar masih bebas berkeliaran di tengah masyarakat, bahkan ada yang mampu berkolaborasi dengan aparat penegak hukum.
Pengakuan Freddy Budiman terpidana kasus narkoba yang telah dieksekusi mati beberapa waktu lalu, kemudian dipublikasikan di media sosial oleh Koordinator Kontras Haris Azhar, bukanlah isapan jempol belaka. Memang tidak ada jaminan testimoni itu benar 100 persen, tapi menyatakan itu tidak benar 100 persen, juga patut diragukan.
Maraknya peredaran narkoba di negeri ini tak lepas dari tangan-tangan tak terlihat “the invisible hand” para oknum aparat. Sudah menjadi rahasia umum tentang istilah “tangkap-lepas” terhadap para pengedar narkoba, biasanya pengedar kelas teri yang tak terpantau pers. Atau uang sogokan dari bandar besar kepada oknum perwira kepolisian agar “bisnisnya” tak diganggu.
Pemerintah boleh saja berkoar “negara darurat narkoba”, tapi itu kemudian hanya menjadi slogan dan simbolis belaka. Negara darurat narkoba tanpa “perang” terhadap narkoba, tanpa operasi khusus yang luar biasa untuk memberantas narkoba sampai ke akar-akarnya.
Presiden Filipina Duterte, menyatakan “negara darurat narkoba” dan langsung melancarkan “perang” terhadap para pengedar narkoba. Sudah lebih dari 1.500 orang yang terlibat narkoba tewas dalam perang tersebut dalam tempo 3 bulan. Berarti ada 500 orang setiap bulan, berarti pula setiap hari ada sekitar 17 orang yang dilenyapkan dari muka bumi karena dituduh meracuni rakyat Filipina dengan narkoba.

Janganlah kita berharap pemerintah menghidupkan kembali “petrus” untuk menghabisi para penjahat narkoba. Negara ini tidaklah mungkin punya pemimpin seberani dan senekat Presiden Filipina Rodrigo Duterte. *** 

http://harian.analisadaily.com/opini/news/petrus-narkoba-dan-duterte/258703/2016/08/25