Guru Bersertifikasi versus Guru Profesional
Oleh : Fadil Abidin
Barangkali sedikit yang
tahu bahwa beberapa tahun terakhir ada penggelontoran uang rakyat yang
jumlahnya mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun diperuntukkan bagi
guru-guru yang telah mendapat sertifikat profesi (guru sertifikasi). Program
sertifikasi guru merupakan proyek instan yang bertujuan untuk mendongkrak
kualitas guru di Indonesia agar menjadi guru profesional sehingga mutu
pendidikan di Indonesia meningkat.
Pembicaraan tentang profesionalisme guru saat ini menjadi
sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Oleh banyak kalangan, mutu
pendidikan Indonesia dianggap masih sangat rendah dan terus-menerus mengalami kemunduran.
Peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index) masih sangat rendah, demikian pula mutu akademik
sekolah di Indonesia. Menurut data tahun 2004-2010, dari
117 negara yang disurvei Indonesia selalu berada pada peringkat
110 ke bawah, dan pada tahun 2005 peringkat Indonesia dikalahkan oleh Vietnam yang berada di peringkat 108.
Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca
sesuai hasil penelitian Programme for
International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41
negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk
Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39 (Octavianus: 2007). Sebagai
konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan
terhadap Iptek, dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti
Malaysia, Singapura, Thailand bahkan Vietnam.
Guru (dosen) akhirnya menjadi salah satu faktor yang menentukan
dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia
yang berkualitas, karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung
dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan
yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi
yang dimiliki. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan
sebuah keinginan
sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru, yaitu
kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran.
Sertifikasi vs Peningkatan
Mutu
Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program
sarjana S1 atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi
sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji
sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang
guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok (Dirjen
PMPTK, 2007).
Intinya, UU Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi
guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Persoalannya sekarang,
adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikat profesi,
guru akan lebih bermutu dan profesional di bidangnya? Apakah peningkatan kesejahteraan guru akan
seiring dengan peningkatan kualitas mereka dalam mengajar?
Banyak kalangan yang mulai pesimis bahwa
program sertifikasi guru yang menghamburkan uang negara hingga puluhan
triliunan rupiah akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.
Realitas di lapangan memang menunjukkan demikian, banyak guru yang telah
menerima tunjangan sertifikasi sebesar 1 bulan gaji setiap bulannya, justru
tidak menunjukkan peningkatan kualitas profesinya.
Program sertifikasi guru justru mempunyai kecenderungan menciptakan “kasta” di antara para guru. Jika sebelumnya
tercipta kasta guru PNS dengan non-PNS, maka sekarang tercipta kasta baru, guru
bersertifikasi dengan guru belum sertifikasi. Kedua kasta tersebut hanya
dipisahkan oleh besarnya gaji dan penerimaan materi. Sungguh ironis, jika
“kasta” guru ditentukan oleh besarnya pendapatan, bukan oleh kualitas sang
guru.
Sistem kasta ini ini sudah menjadi kenyataan, di beberapa tempat terjadi
kecemburuan secara horisontal antar guru yang berhasil lolos sertifikasi dan
yang belum. Jika hal ini tidak segera diatasi maka akan merambat pada konflik
yang berkepanjangan dan situasi yang tidak kondusif dalam pembelajaran di sekolah.
Melenceng
Kesenjangan pelaksanaan sertifikasi guru antara pegawai negeri
sipil atau PNS dan honorer juga terlalu jauh. Selain
itu, sertifikasi ini juga masih membuka peluang sekadar meningkatkan pendapatan
daripada kualitas mengajar. Pelaksanaan sertifikasi
cenderung melenceng dari niat semula mewujudkan sosok guru profesional. Ada kecenderungan pelanggaran terhadap UU
melalui Permendiknas (dan hal ini seharusnya bisa digugat melalui MK), peserta
sertifikasi yang menurut UU adalah guru yang berkualifikasi S1 atau D4, tapi
dalam kenyataannya bisa diikuti oleh guru-guru yang cuma tamatan SLTA sederajat
(SPG), DI hingga DIII. Kemudian UU juga mengamanatkan, sertifikasi guru
dilaksanakan melalui pendidikan profesi. Tapi dalam kenyataannya pendidikan
profesi itu hanyalah diklat (PLPG) yang tak lebih dari 10 hari. Bisakah diklat
tersebut meningkatkan kualitas profesi guru?
Jika dulu di
kalangan guru muncul perlombaan membeli ijazah S1 agar bisa ikut sertifikasi. Kemudian muncul kegemaran sebagai kolektor piagam dan
sertifikat seminar
dari forum ilmiah dan pelatihan agar bisa lolos sertifikasi. Maka
sekarang hal tersebut tidak diperlukan lagi. Tak perlu ijazah S1, tak perlu
ikut seminar. Program sertifikasi kini telah berubah menjadi program charity, kalau Anda sudah tua dan telah
mengajar sekian puluh tahun, maka otomatis Anda akan diangkat menjadi guru
profesional dan layak mendapat tunjangan profesi. Apakah profesionalisme
ditentukan oleh umur seseorang?
Sementara prinsip profesionalitas guru dan dosen dalm UU No.14
tahun 2005 pasal 7 ayat 1, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip sebagai berikut; 1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa,
dan idealisme; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia; 2) Memiliki kualifikasi akademik atau latar
belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; 3) Memiliki kompetensi yang
diperlukan sesuai dengan bidang tugas; 4) memiliki tanggung jawab
atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; 5) Memperoleh penghasilan yang
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; 6) Memiliki kesempatan untuk
mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang
hayat; 7) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan;
dan 8) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Penutup
Program
sertifikasi bagi guru mesti dipahami sebagai sebuah sarana untuk
mencapai tujuan yaitu meningkatkan kualitas guru. Sertifikasi
bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benar tentang
hakikat sertifikasi akan melahirkan aktivitas yang benar dan elegan,
bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru harus kembali
masuk kampus untuk kualifikasi akademik supaya S1, maka
proses belajar kembali mesti dimaknai dalam konteks peningkatan kualifikasi
akademik yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan keterampilan
baru.
Demikian pula kalau guru yang mengikuti uji sertifikasi, tujuan
utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat
menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana
diisyaratkan dalam standar kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi
logis yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan menyadari
hal ini maka guru tidak akan mencari jalan pintas guna memperoleh sertifikat
profesi kecuali dengan mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun menyongsong
sertifikasi. Idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung
jawab mesti menjadi ciri guru yang profesional. ***