“Blusukan”, Pencitraan atau
Pengabdian?
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam OPINI Harian Analisa
Medan, 10 Januari 2013
Istilah
‘blusukan’ tampaknya akan menjadi kosa kata baru dalam bahasa Indonesia.
Istilah ini populer berkat Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang lebih dikenal
dengan Jokowi, yang kerap melakukan kunjungan mendadak tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu ke kampung-kampung menjumpai warga masyarakat. Kebiasaan Jokow
ini sudah dilakukan sejak menjadi Walikota Solo.
Istilah
ini semakin mencuat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga ikut-ikutan
‘blusukan’. Presiden SBY mengunjungi kampung nelayan di Tanjung Pasir, Tangerang (4/1/2012). Presiden ditemani oleh Ibu
Negara Ani Yudhoyono, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko
Kirmanto, Mendikbud M Nuh, Mensesneg Sudi Silalahi, Seskab Dipo Alam,
Menteri Kelautan dan Perikanan Syarif C. Soetardjo, Dirut Pertamina Karen
Agustiawan.
Bagi
penulis sendiri, ‘blusukan’ bukanlah sebuah kosa kata yang baru dikenal.
Sebagai orang Jawa yang tinggal di Sumatera Utara, ketika kecil dahulu sering bermain
atau menjelajahi sawah, sungai, semak belukar, dan padang rumput untuk mencari
ikan, telur puyuh, dan buah rambusa yang kini sudah punah. Walaupun baju jadi kotor,
kaki digigit pacat, terkena duri, dan badan gatal-gatal, tapi blusukan itu
menjadi petualangan yang menyenangkan. Akibatnya, ketika pulang selalu ditanya
oleh orang tua dengan pertanyaan, ”Kowe
blusukan neng endi?” atau “Kamu blusukan
di mana?”
Blusukan
merupakan bahasa khas Jawa ngoko (bahasa Jawa yang dituturkan masyarakat umum) yang
artinya jalan-jalan bebas atau masuk, tapi bisa juga menjelajahi masuk ke tempat-tempat yang
belum pernah dikunjungi. Kunjungan ini lebih
bersifat tak terencana dan ke tempat-tempat yang tidak biasa (jorok, kumuh,
liar). Jadi berbeda dengan istilah plesiran
yang bermakna mengunjugi tempat-tempat yang menyenangkan atau indah.
Dalam sejarah, pemimpin yang kerap melakukan blusukan memang hanya segelintir. Nabi
Muhammad SAW dan Khalifah Umar bin Khattab adalah contoh pemimpin (pemimpin
negara dan pemimpin agama) yang kerap melakukan blusukan. Kisah Khalifah Umar
bin Khattab dalam ‘blusukan’ menjumpai seorang ibu yang merebus batu agar anak-anaknya
menyangka sedang merebus makanan, merupakan kisah yang penuh hikmah dalam
khazanah Islam.
Khalifah Umar sendiri yang memanggul karung berisi
terigu dan kurma untuk memberi makan ibu dan anak-anaknya agar tidak mati
kelaparan. Ketika pengawalnya mencoba membantu, setengah marah Khalifah Umar
berseru,”Apa kamu sanggup memikul dosa saya di akhirat!” Bagi Umar, setiap ada
rakyat yang kelaparan merupakan dosa yang harus ditanggungnya sebagai pemimpin.
Sebagai pemimpin Umar melakukan blusukan seorang diri
dan tanpa pengawal. Ia mengunjungi pasar atau perkampungan kumuh. Umar
merupakan satu-satunya pemimpin negara yang bajunya penuh tambalan, dinding
rumahnya terbuat dari pelepah kurma, ia lebih sering berpuasa daripada
menyantap makanan. Padahal pada masanya, ia adalah pemimpin yang kekayaan dan
wilayah kekuasaannya menyampai kekaisaran Romawi. Kaisar Romawi gemetar mendengar
namanya. Tapi ia lebih memilih sebagai pemimpin yang sederhana dan tidak mau
tinggal di istana.
Pencitraan vs Pengabdian
Seorang pemimpin memang seharusnya
dekat dengan rakyatnya, baik secara fisik terlebih lagi secara psikologis. Ia
tidak bisa berdiam diri di menara gading istana atau hanya duduk di belakang
meja menerima laporan dari para bawahan. Tidak semua bawahan memberi laporan
yang jujur, tapi lebih sering memberi laporan ABS (asal bapak senang),
mentalitas menjilat menjadi jurus sakti agar cepat naik pangkat. Untuk itu
melihat kondisi rakyat secara langsung harus dilakukan.
Presiden RI sejak dahulu sebenarnya
adalah ‘orang-orang terpilih’ yang benar-benar mencintai rakyatnya. Sebelum
istilah blusukan ada, jaman awal
kemerdekaan, Presiden Soekarno, sering melakukan kunjungan incognito kepada rakyatnya. Ia kerap mengunjungi rakyat dan petani
miskin. Konon istilah ‘Marhaenisme’ diambil dari petani miskin yang bernama
Marhaen yang ia temui ketika kunjungan incognito.
Incognito berasal dari bahasa Latin, incognitus, yang
artinya ‘unknown’ atau tidak diketahui. Jadi Presiden Soekarno melakukan
kunjungan secara diam-diam dan menyamar sehingga tidak diketahui identitasnya.
Presiden
Soeharto pada tahun-tahun awal kepemimpinannya konon juga sering melakukan
kunjungan incognito, istilah pada
waktu itu disebut ‘turba’ atau turun ke bawah. Pengakuan ini diungkapkan oleh mantan
ajudan Soeharto yang juga
mantan wakil presiden, Try Sutrisno, dalam peluncuran buku 'Pak Harto,
The Untold Stories' di Museum Sasana Purna Bakti, Jakarta (8/6/2011).
Saat ini muncul istilah ‘blusukan’
untuk menggambarkan para pemimpin yang turun ke bawah untuk melihat, mendengar,
menyerap, ataupun sekadar untuk mengetahui kondisi rakyat yang sebenarnya di
lapangan. Kebetulan yang mempopulerkan adalah Jokowi yang notabene adalah orang
Jawa ketika masih menjadi Walikota Solo, maka ketika menjadi Gubernur DKI
istilah ini tetap melekat juga menjadi ‘trade merk’-nya.
Jadi ketika Presiden SBY juga turun
ke bawah mengunjugi kampung nelayan tempo hari tanpa protokoler istana yang
resmi, maka hal tersebut juga dikatakan blusukan. Juru bicara presiden, Daniel
Sparingga dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, menolak hal tersebut
dikatakan meniru Jokowi. Ia lebih senang jika kunjungan tersebut dinamakan
‘turun ke bawah’, dan Presiden akan lebih sering turun ke bawah untuk melihat
kondisi rakyat secara langsung di tahun 2013 ini.
Kita berprasangka baik saja, semoga
yang dilakukan para pemimpin kita adalah sebagai salah satu bentuk pengabdian
kepada rakyat, bukan pencitraan semata. Dan semoga saja semakin banyak kepala
daerah atau pejabat yang sering turun ke bawah melihat kondisi rakyatnya secara
langsung, menginspeksi kinerja bawahan secara mendadak, mengunjugi
tempat-tempat pelayanan publik seperti puskesmas, rumah sakit, pasar, terminal,
kantor-kantor dinas, kantor camat, kantor lurah, dan sebagainya.
Oleh karena
itu, alangkah lebih baik jika agenda
turun ke bawah atau blusukan ala pemimpin
tersebut lebih diorientasikan untuk mendengar dan mencari solusi
permasalahan rakyat. Kunjungan
tersebut harus menjadi semacam cambuk kepada aparat pemerintahan yang ada untuk
bekerja lebih baik dalam melayani masyarakat. Jadi semacam warning, “Awas! Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota sering
datang mendadak!”
Gaya blusukan atau turun ke bawah dalam
bingkai komunikasi sosial-politik
hendaknya dimaknai sebagai mendengar, menyelami, dan mencarikan solusi permasalahan
rakyat yang ada. Jika pun tidak dapat mencarikan
solusi secara langsung di lapangan, sebenarnya ikut perduli, turut berempati,
dan ikut merasakan permasalahan yang ada, sebenarnya sudah membesarkan hati
rakyat.
Blusukan harus bisa dinikmati secara
ikhlas dan menyenangkan oleh pejabat yang bersangkutan dengan tujuan untuk
melayani rakyat, bukan sekadar seremonial belaka. Blusukan yang dipaksakan untuk mengejar
popularitas atau pencitraan semata akan berakhir tanpa makna, sama saja dengan menggarami
air laut, sia-sia tidak ada
artinya. ***