Menyoal Implementasi Pidana Kerja Sosial



Menyoal Implementasi Pidana Kerja Sosial
Oleh : Fadil Abidin

Salah satu pemicu kerusuhan berujung kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta, Medan beberapa waktu lalu adalah kapasitas narapidana yang berlebihan. Berdasarkan laporan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP), jumlah hunian di Lapas Tanjung Gusta per 11 Juli 2013 adalah 2600 orang, terdiri dari 2594 orang napi dan 6 orang tahanan. Jumlah itu melebihi kuota sampai 247 persen, dari kapasitas maksimal lapas yang seharusnya hanya 1054 orang.

Persoalan kapasitas yang berlebih itu, bukan hanya terjadi di Medan. Tetapi rata-rata lapas kota-kota besar di Indonesia juga mengalami kelebihan kapasitas. Maklum saja, di Indonesia, semua pelanggaran atau kejahatan berujung pada vonis penjara. Tidak peduli kejahatan ringan atau berat, pencuri sandal atau koruptor kelas kakap. Narapidana (napi) yang mempunyai uang dan kekuasaan bisa ‘membeli’ privilege dalam penjara. Sementara napi yang tidak berpunya harus berdesak-desakan dalam sel yang sempit, layaknya ayam dalam kandang.
Padahal pemidanaan yang bersifat modern, vonis tidak harus berupa penjara. Sebab, jika seorang warga negara masuk penjara, maka ia akan menjadi beban negara. Negara harus menyiapkan ruangan dalam penjara, menggaji sipir penjara, menyediakan makanan, dan fasilitas lainnya. Kemudian timbul pemikiran, bahwa pemidanaan tidak harus berupa vonis penjara, tapi bisa berupa kerja sosial yang jauh lebih bermanfaat.       
Mantan Striker Manchester City, Carlos Tevez yang kini membela klub Juventus, pernah merasakan betapa tidak enaknya menjalani kerja sosial sebagai petugas kebersihan di Inggris. Ia terbukti bersalah karena mengendarai mobil tanpa jaminan asuransi mengemudi, dan dihukum kerja sosial selama 250 jam. Sebagai seorang jutawan dan pesepakbola top, tentu saja Tevez sangat kesulitan mengerjakan tugasnya sebagai petugas kebersihan, ditambah lagi rasa malu yang menderanya. Rasa malu inilah yang menumbulkan penjeraan, sehingga tujuan dari penghukuman tercapai.
Di Inggris pelaksanaan pidana kerja sosial biasanya dijatuhkan untuk kejahatan ringan, misalnya mengebut di jalanan, tidak mempunyai SIM sewaktu mengemudi, mabuk dan mengganggu orang, serta kejahatan ringan lainnya. Pelanggar pidana tersebut tidak masuk sel penjara, tapi menjalani pidana kerja sosial pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Bentuk pidana kerja sosial biasanya menjadi petugas kebersihan, membersihkan jalan, parit, atau fasilitas umum lainnya.
Di Rusia atau China, kerja sosial adalah hal yang wajib dijalankan oleh seluruh narapidana. Berbeda di Indonesia di mana para napi hanya menjalani hukuman dalam ruangan sel, makan, tidur, dan sebagainya yang terbatas di penjara. Maka di negara tersebut para napi harus ‘bekerja’ membangun, merawat, dan membersihkan fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum. Mereka harus ‘membayar’ makan-minum di penjara dengan bekerja.  Bahkan dahulu, pelaksanaan kerja sosial tersebut hampir mirip dengan kerja paksa.    
Kerja Sosial
Pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana penjara jangka pendek, yang bisa dijalankan oleh orang yang melakukan kejahatan ringan. Saat ini timbul pemikiran bahwa pidana penjara kurang efektif sebagai lembaga rehabilitasi untuk memasyarakatkan kembali para narapidana.
Pidana penjara juga menimbulkan dampak negatif seperti over kapasitas, dehumanisasi, pendidikan kejahatan oleh penjahat, penyebaran penyakit, perilaku seks menyimpang, dan sebagainya. Oleh karena itu, narapidana pidana penjara jangka pendek tidak dapat digabungkan dengan narapidana pidana penjara jangka panjang. Alternatif untuk pidana penjara jangka pendek, salah satunya adalah pidana kerja sosial yang sesuai dengan tujan pemidanaan yang bukan hanya melindungi kepentingan masyarakat tetapi juga melindungi kepentingan individu narapidana yang bersangkutan.
Saat ini lapas di Indonesia lebih mirip ‘universitas kejahatan’ di mana para napi justru mendapat pendidikan kejahatan oleh napi lainnya. Ketika masuk lapas ia hanya seorang maling ayam, setelah dalam penjara ia ‘belajar’, dan setelah keluar ia akan menjadi maling kelas kakap atau perampok. Di banyak kasus, penjara justru membuat seseorang menjadi lebih banyak teman, lebih jahat atau lebih ahli dalam menjalankan kejahatannya.
Seseorang yang sebenarnya ‘tidak terlalu’ jahat, tapi karena tekanan dan indoktrinasi dari sesama napi maka akhirnya ia pun terpengaruh menjadi lebih jahat. Padahal seandainya ia tidak dimasukkan ke penjara karena hanya melakukan kejahatan ringan, tapi hanya menjalani pidana kerja sosial, maka ceritanya akan lain.
Wacana pemberlakukan pidana kerja sosial sebenarnya adalah wacana lama yang tak kunjung juga diimplementasikan. Wacana ini sudah ada dalam konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006. Konsep ini dianggap sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995. Kita patut menyoal dan mendorong agar konsep pemidanaan jenis ini agar segera diimplementasikan dalam KUHP.
Pidana kerja sosial sebenarnya memenuhi unsur pembinaan (treatment) yang jauh lebih efektif dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (social defence) secara menyeluruh. Pidana kerja sosial itu merupakan sanksi pidana, bukan sanksi tindakan. Pidana kerja sosial merupakan alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial bisa dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana yang tidak terlalu berat. Menurut Pasal 86 Rancangan KUHP Tahun 2006, pidana kerja sosial akan dijatuhkan terhadap pelaku yang divonis pidana yang tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak lebih dari kategori I.
Masih Konsep
Pidana kerja sosial di negara lain telah menjadi jenis hukuman pokok yang diatur di dalam KUHPnya. Dan ada juga negara lain yang menjadikan pidana kerja sosial hanya sebagai pengganti tetapi tidak dimasukkan ke dalam jenis hukuman pokok atau hukuman tambahan. Sedangkan di Indonesia, masih merupakan konsep di dalam RUU KUHP sejak Tahun 2006. Lamanya pelaksanaan pidana kerja sosial juga berbeda di tiap negara. Tetapi pidana kerja sosial di tiap negara hampir sama, yaitu pelaksanaannya tidak diberi upah, tidak dapat diwakilkan, tidak dapat diganti denda, dan pekerjaannya mempunyai manfaat bagi masyarakat.
Pidana kerja sosial sama tujuannya dengan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 yang bertujuan untuk membina narapidana dan menjadikan manusia yang baik dan berguna bagi dirinya, sesamanya dan bagi nusa bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan pidana kerja sosial ini hanya akan dapat dilakukan apabila didukung sistem nilai yang ada di masyarakat, maka perlu kebijakan legislatif dan pemerintah.
Pemerinta harus lebih cermat melihat nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dimasukkan ke dalam hukum positif di masa akan datang, seperti halnya pidana kerja sosial atau bentuk pidana baru lainnya yang sesuai dengan perasaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat juga perlu diberi pemahaman untuk menerima kehadiran narapidana yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan tidak menghalangi pelaksanaan pidana kerja sosial.
Koruptor Juga
Pada wacana selanjutnya, wacana pidana kerja sosial juga perlu diterapkan untuk para napi koruptor. Ketimbang mereka ‘enak-enakan’ menikmati privilege di sel penjara dengan uang dan pengaruh mereka. Maka lebih baik mereka juga diwajibkan melakukan kerja sosial. Upaya ini layak ditempuh untuk membangkitkan sisi kemanusiaan para pelaku korupsi. Selama ini, mungkin mereka telah terbiasa dilayani sehingga menjadi kurang peka pada problematika masyarakat. Padahal, umumnya para koruptor ini duduk di pemerintahan yang seharusnya memahami dan bekerja melayani rakyat, bukan malah mengkhianati amanat rakyat yang telah dipercayakan kepadanya.
Terdapat bermacam kerja sosial yang dapat dijadikan sebagai hukuman bagi para  koruptor. Misalnya, membersihkan toilet umum stasiun, membersihkan parit, menyapu jalanan, dan sebagainya. Kerja sosial ini dilakukan secara rutin selama periode waktu hukuman berlangsung. Hakim harus memvonis sekian tahun penjara ditambah pidana kerja sosial sekian waktu. Selama melakukan kerja sosial, para napi koruptor ini harus memakai seragam napi, diawasi, dan tidak diberikan perlakuan istimewa supaya mereka benar-benar melakukan tugasnya dengan baik. Kegiatan kerja sosial yang mereka lakukan juga hendaknya dipublikasikan oleh media massa agar memberikan efek jera bagi para calon koruptor lainnya.
Jadi, hukuman pidana sosial lebih manusiawi dan lebih efektif jika dijatuhkan kepada pelaku jenis kejahatan ringan tanpa perlu masuk sel penjara. Hukuman jenis ini pun perlu dijatuhkan kepada napi pelaku korupsi sebagai hukuman tambahan agar menimbulkan efek jera.  ***