Fenomena ‘Vickinisasi’ dan Kekacauan Bahasa Kita
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan, 23 September 2013
Pada
suatu waktu, saya pernah mengalami kebingungan memahami sebuah cuplikan
wawancara dalam tayangan infotainment. Coba saja anda simak dan kaji apa
maksud kata-kata berikut: “Usiaku
saat ini, twenty
nine my age yaa. Tapi
aku tetap merindukan apresiasi, karena basicly saya seneng musik, walaupun
kontroversi hati aku lebih menunjukkan pada konspirasi kemakmuran yang kita
pilih yaa. Nggak,
kita belajar, apa
yaa. Harmonisisasi dari hal yang terkecil
sampai yang terbesar. Kupikir
kita gak boleh egois terhadap satu kepentingan dan kudeta terhadap apa yang
menjadi kita keinginan. Dengan adanya hubungan ini bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi
kemakmuran keluarga dia.
Tapi menjadi confident.
Tapi tetep bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap
lebih baik dan aku sangat bangga.”
Hanya
dalam beberapa hari, nama Vicky Prasetyo yang menuturkan bahasa ‘amburadul’ tersebut
langsung menjadi fenomena di dunia maya. Potongan wawancara
berdurasi 59 detik diunggah ke Youtube dan hingga Rabu (18/9/2013) sudah
ditonton sedikitnya 2.138.607 kali. Saat itu, Vicky diwawancara terkait pertunangannya dengan
penyanyi dangdut Zaskia Shinta yang punya nama panggung Zaskia Gotik alias
goyang itik.
Yang membuat video itu menyedot penonton adalah gaya berbahasa
Vicky yang gado-gado, mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Kedua bahasa itu tidak dipergunakan dengan kaidah yang benar sehingga akhirnya terkesan sok pintar. Pada saat yang sama,
ia sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang dia omongkan. Dalam satu menit
itu, Vicky melontarkan istilah yang unik, tetapi janggal, seperti kontroversi
hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, kudeta, mempertakut, statusisasi kemakmuran, mensiasati kecerdasan, dan labil ekonomi. Penggunaan bahasa Inggris juga terdengar
janggal, seperti menyebut usianya "twenty nine my age".
Video tersebut menyebar luas di media sosial, dibicarakan di
Facebook, Twitter, Kaskus, Kompasiana, Wordpress, dan Blog. Gaya bahasa Vicky
lantas ditiru di dunia maya dalam konteks candaan. Ada puluhan video di Youtube yang
memparodikan gaya bahasa Vicky. Acara-acara komedi di televisi juga tidak
ketinggalan membuat parodi dan candaan dengan gaya bahasa ala Vicky.
Tak ketinggalan pula, mantan
Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang turut ‘latah’ menuturkan gaya bahasa ini
sebagai bahan candaan. Saat menyampaikan sambutannya dalam deklarasi organisasi
masyarakat Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Anas mengutip kata-kata
Vicky. Dia menyebut kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, dan labil ekonomi.
"Lahirnya PI (Pergerakan Indonesia) tidak perlu menyebabkan kontroversi
hati karena ini bukan konspirasi kemakmuran jadi tidak perlu ada yang labil
ekonomi dan labil psikologi," ujar Anas (15/9/2013). Ucapan ini langsung disambut gelak tawa dan sorak sorai para undangan.
Vickinisasi
Budayawan Goenawan Mohamad membuat istilah ‘vickinisasi’ untuk fenomena ini
dan memandangnya sebagai puncak gunung es dari gejala kemalasan berbahasa, baik
menelaah maupun menerjemahkan kata asing. ”Saya senang cara bicara Vicky
dicemooh ramai-ramai. Supaya orang tak lagi omong asal bunyi dan menulis tanpa
berpikir,” ujarnya melalui akun @gm_gm.
Sementara penyair Sitok Srengenge melalui akun @1srengenge menulis,”Akhirnya
saya sempat lihat wawancara Vicky. Hehe bahasanya tak jauh beda dg banyak
pejabat yg sok intelek tp amburadul.”
Sutradara Iman Brotoseno menyebut gaya bahasa seperti Vicky
sudah lama diterapkan di dunia politik. Misalnya ada reinstall Indonesia atau
Restorasi Indonesia. Sebelum mengolok-olok gaya bahasa Vicky, ada baiknya kita
berkaca bahwa gaya berbahasa seperti itu sebenarnya kerap diucapkan oleh pejabat publik kita agar dianggap cerdas. Barangkali merekalah pengikut ajaran ‘vickinisasi’ itu.
Wabah bahasa 'vickinisasi' yang ditularkan
oleh Vicki Prasetyo alias Hendaryanto dinilai termasuk penyakit bahasa. Menurut Kepala Pusat Pengembangan dan
Perlindungan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Sugiyono, istilah khusus
pada penyakit bahasa tersebut memang tidak ada. Namun, ada orang yang merasa
menggunakan bahasa untuk prestise. ''Nah,
itulah penyakit bahasanya. Di dalam ilmu bahasa, istilahnya intervensi. Orang
menggunakan bahasa Indonesia dicampur asing walaupun tidak pas,'' ujar Sugiyono.
Menurut
Sugiyono, apa yang terjadi pada fenomena 'vickinisasi' sebanarnya lebih pada penyakit gejala sosial
daripada gejala linguistik. Ia menciptakan istilah bahasa-bahasa baru, agar
dipandang pintar oleh masyarakat yang lain. ''Ya kalau tidak masuk ke
ranah baku, mau berkreativitas tidak apa-apa. Tak akan kami batasi,'' katanya.
Sugiyono mengatakan, vickinisasi
ini merupakan pembentukan istilah yang tidak benar. Namun, hanya digunakan di
lingkup tertentu. Kemudian, diikuti oleh lingkungan tersebut.
Vickinisasi
ini, kata dia, nanti pun bisa hilang begitu saja. Tapi, tidak menutup
kemungkinan, kalau ada pemahaman bersama, bisa menjadi varian baru dalam bahasa
baku. Sugiyono mencontohkan,
imbuhan “isasi dan isme” pernah marak. Misalnya, menanam pohon
Turi jadi Turinisasi, dominan warna kuning jadi kuningisasi. Akhirnya, isme dan isasi dianggap sebagai imbuhan bahasa
Indonesia (Republika, 12/9).
Penulis juga pernah bersentuhan
langsung dengan istilah ‘isasi’, dulu ketika warga kampung banyak yang tidak
memiliki WC atau kakus (jamban) dan ruangan dalam rumah hanya lantai tanah.
Maka ada pejabat yang mempopulerkan istilah ‘jambanisasi’ dan ‘lantainisasi’
dengan ‘semenisasi’. Tak hanya itu, ketika berpidato di balai desa, sang
pejabat menghimbau agar warga saling melakukan ‘intimidasi’ agar sesama warga
masyarakat tetap intim dan akrab. Kemudian agar lingkungan tetap asri harus
melakukan ‘hijaunisasi’. Rupanya sang pejabat menganggap ‘intimidasi’ mempunyai
arti ‘membuat hubungan semakin intim’, sedangkan ‘hijaunisasi’ menurut saya
barangkali penghijauan.
Bahasa Intelek
Penulis pernah melakukan survei
kecil-kecilan terhadap rekan kerja sesama guru SD, apakah mereka menyukai acara
di televisi berupa talk show politik atau hukum, acara perdebatan, dan
sebagainya. Sebagaian besar menjawab, mereka tidak menyukainya. Alasan mereka
karena para pembicara di acara tersebut sering menggunakan kosakata atau
istilah yang tidak mereka mengerti.
Jika kita tinjau, para pembicara di
acara talk show, acara debat, perdebatan di gedung DPR, pidato, atau orasi para
politikus memang sering menggunakan kosakata atau istilah-istilah asing agar
intelektualnya dianggap lebih tinggi. Hal ini sebenarnya adalah fenomena
masyarakat Indonesia yang ingin terlihat pintar tanpa mau tahu apa maknanya. Ia hanya ingin
orang-orang terkagum-kagum ketika mendengar perkataannya yang ‘tinggi’.
Mereka tidak perduli, apakah para
penonton di rumah mengerti atau faham dengan apa yang mereka tuturkan. Beberapa
contoh kelatahan
penggunaan kata yang sering digunakan para artis dan politikus adalah kata
“schedule” (diucapkan dengan
bunyi ‘skedul’) yang digunakan untuk menunjukkan rencana aktivitas di
waktu yang akan datang. Padahal kata “schedule” berarti jadwal perjalanan. Penggunaan kata “weekdays” dimaknai
sebagai hari kerja. Padahal hari kerja sudah ada istilahnya sendiri, yaitu
“workdays”.
Mereka
menggunakan kata-kata tersebut agar terlihat lebih “inggris” tanpa terlebih
dahulu menelaah maksud dari kosakata tersebut. Masalahnya,
kesalahan kosakata ini hanya terjadi sesekali saja sehingga cenderung tidak
terdekteksi dan bahkan menjadi kosakata yang digunakan pada masyarakat umum. Hasilnya, masyarakatpun sering
menggunakan kata-kata yang rancu dalam kalimatnya tanpa memahami apa makna sebenarnya.
Jika kita cermati dalam
kehidupan sehari-hari, cara
berbahasa dan penyebutan berbagai istilah bukanlah hal yang baru. Hampir setiap
hari, kita dibombardir dengan cara berbahasa yang amburadul oleh berbagai media
massa. Sebagai konsumen, kita dipaksa untuk menyaksikan komentar dari
orang-orang yang kerap mengeluarkan istilah-istilah canggih yang justru
berjarak dari pemahaman sebagian orang. Sebagai rakyat biasa, kita sering tidak mengerti dengan bahasa
para pejabat atau orang yang menamakan dirinya intelektual.
Demikian pula
para artis/musisi Indonesia, biar tampak keren membuat judul lagu dengan bahasa
Inggris atau bahasa
asing, tapi lirik atau syairnya memakai bahasa campuran Indonesia dan asing. Kekacauan berbahasa ini malah
menjadi sebuah tren di kalangan anak muda.
Fenomena
Pada era Orde
Baru, berbagai istilah canggih memang
sengaja dipakai pemerintah untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya dengan penghalusan makna
atau bahasa. Kita masih ingat istilah ‘kenaikan harga’ yang diganti oleh
pemerintah dengan istilah ‘penyesuaian harga’. Istilah ‘penjara’ diganti dengan ‘lembaga pemasyarakatan.’
Bahasa memang menjadi salah satu alat penguasa untuk propaganda politik.
Melalui penggunaan bahasa yang canggih itu, satu kelompok memperkuat
cengkeraman dominasinya pada kelompok lain.
Fenomena ‘vickinisasi’ ini setidaknya
mencerminkan karakter, budaya, dan kepribadian bangsa kita yang latah, suka ikut-ikutan, suka
menggampangkan masalah tanpa
mau memecahkannya secara tuntas, suka jalan pintas,
malas, sok pintar, dan
suka menuturkan istilah asing agar terlihat lebih hebat tanpa menelaah makna
sebenarnya.
Tapi untung saja, ternyata masih ada
pejabat semisal Jokowi
(Joko Widodo), Ahok
(Basuki Tjahaya Purnama), Dahlan Iskan, Mahfud MD, Abraham Samad, dan sebagaianya. Mereka tidak
perlu banyak menuturkan
istilah atau bahasa asing untuk dimengerti dan mengerti keinginan
masyarakat. Bahasa mereka menyatu dengan masyarakat. Bahasa mereka tidak
dipoles. Bahasa mereka asli bahasa masyarakat, bahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dimengerti siapa saja.
Mereka tidak malu
menunjukan aksen atau logat Jawa, Belitung, Madura, atau Makassar. Seharusnya begitulah kita.
***